SOLOPOS.COM - Museum Dayu di Karanganyar. (Karanganyarkab.go.id)

Solopos.com, KARANGANYAR — Warga desa di kawasan cagar budaya situs Sangiran di Kabupaten Karanganyar meminta pemerintah memberikan kompensasi atas pembatasan pemanfaatan lahan mereka. Mereka ingin pemerintah menyediakan lahan untuk mereka bertani.

Desa di Kabupaten Karanganyar yang masuk dalam kawasan situs Sangiran meliputi Rejosari, Dayu, Krendowahono, Tuban, Bulurejo, Wonorejo, Jatikuwung, dan Jeruksawit. Desa-desa ini berada di Kecamatan Gondangrejo.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Permintaan warga ini mengemuka dalam acara Sosialisasi Hasil Kajian Zonasi Kawasan Cagar Budaya Sangiran di Swiss Bell Hotel Solo, Rabu (19/10/2022). Permintaan yang sama juga diungkapkan perwakilan warga dari Kabupaten Sragen yang tinggal di kawasan Situs Sangiran.

Acara sosialisasi tersebut diselenggarakan oleh Dirjen Perlindungan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Baca Juga: Pemuda Desa Manyarejo Sragen Ingin Kembangkan Desa Wisata, Tak Hanya Fosil

Salah satu peserta dari Kabupaten Karanganyar adalah Kepala Desa Rejosari, Kecamatan Gondangrejo, Agus Supadiyono. Ia menyampaikan selama ini masyarakat mematuhi semua aturan tentang Situs Sangiran. Namun di sisi lain perekonomian warga tidak bisa bekembang karena berbagai aturan atau batasan-batasan.

“Kami diminta untuk bangga dapat menjaga Situs Sangiran. Kami pun menjaga, kami tidak melakukan kegiatan yang merusak. Tapi kami sendiri tidak bisa mengolah tanah dengan leluasa, kami tidak bisa menjual tanah kami dengan mudah. Lalu kami diberi apa oleh pemerintah agar kami bangga? Makanya kami sampaikan hal ini kepada pemerintah kemarin dalam acara itu,” ujarnya, Jumat (21/10/2022).

Tanpa Kompensasi

Ia menyampaikan warga meminta kompensasi dari pemerintah atas upaya menjaga kelestarian Situs Sangiran. Selama ini warga tidak pernah menerima kompensasi apa pun dari pemerintah.

Baca Juga: Politeknik Indonusa Kembangkan Camilan Balung Kethek di Dayu Karanganyar

“Pajak Bumi dan Bangunan [PBB] kami bayarkan, tapi lahannya tidak bisa kami manfaatkan. Makanya kami minta kompensasi atas upaya pelestarian warga ini. Kasihan. Sudah banyak peneliti datang dan pulang ke kampus lalu menjadi profesor. Tapi kami yang di sini yang lahannya menjadi obyek penelitian tidak mendapatkan apa-apa,” imbuh Agus.

Kompensasi yang ia maksud salah satunya adalah penyediaan dan penyiapan lahan pertanian oleh pemerintah untuk warga.

“Ada lahan yang puluhan tahun tidak pernah terjamah manusia. Mungkin malah ada yang sejak zaman Belanda tidak pernah tersentuh. Sebisa mungkin lahan itu dibuka oleh pemerintah, misalnya diratakan. Atau kalau yang tebing ya dibuat terasering sehingga bisa dipakai bertani oleh warga dan hasilnya bisa dinikmati dan bisa buat bayar PBB juga,” papar Agus.

Baca Juga: Mengenal Museum Purba Miri, Museum Daerah Pertama Pemkab Sragen

Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, Iskandar Mulia Siregar, mendukung usulan warga. Namun keputusan untuk mewujudkan aspirasi tersebut ada pada pemerintah pusat.

“Pada prinsipnya kami mendukung apa yang disampaikan warga supaya mereka juga bisa berkembang dan lahan-lahan bisa dimanfaatkan dengan ketentuan khusus. Tapi tentu keputusan dari aspirasi-aspirasi yang disampaikan kemarin itu ada di pemerintah pusat,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya