Soloraya
Minggu, 18 Juli 2021 - 08:03 WIB

Dipercaya Ada Penunggunya, Sumur Kawak Jadi Lokasi Upacara Sakral Bersih Desa di Sragen

Tri Rahayu  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga menaburkan bunga dan berdoa di pinggir sumur kawak yang dianggap sebagai cikal bakal Dukuh Jipangan, Desa Jambanan, Sidoharjo, Sragen, Jumat (16/7/2021).(Tri Rahayu/Solopos)

Solopos.com, SRAGEN--Sebuah sumur kawak terletak di Dukuh Jipangan RT 010, Desa Jambanan, Sidoharjo, Sragen. Sumur itu dikeliling pagar setinggi 1,5 meter dengan dua pintu masuk. Sumur itu dibangun dengan permukaan tembok segi empat namun pada lubang sumur itu terlihat tidak lazimnya sumur. Ada empat rongga berukuran besar pada setiap sudut segi empat itu.

Para warga dukuh setempat dari RT 008-RT 015 hilir mudik memasuki lokasi sekitar sumur kawak itu. Mereka menaburi bunga mawar pada empat sudutnya. Sebelum menabur bunga, ada sejumlah warga yang berdoa untuk keselamatan dan seterusnya.

Advertisement

Tabur bunga itu dimulai dari sudut barat daya kemudian bergerak ke sudut tenggara, timur laut, dan terakhi di barat laut. Ritual itu dilakukan hampir setiap warga serasa membawa aneka makanan tradisional yang dikumpulkan di tanah lapang di sebelah selatan sumur kawak itu.

Baca Juga: Sisi Lain Kades Jenar Sragen yang Kontroversial, 2 Tahun Tanggung PBB Warganya

Advertisement

Baca Juga: Sisi Lain Kades Jenar Sragen yang Kontroversial, 2 Tahun Tanggung PBB Warganya

Sumur kawak itu tak memiliki nama. Warga mempercayai bila sumur kawak itu ada sejak zaman wali. Bahkan ada juru kunci yang mengurus sumur itu secara spiritual karena ada sosok sepasang orang tua yang mendiami sumur itu dengan sebutan Kaki Sumber dan Nyai Sumber. Sumur itu juga dianggap sebagai cikal bakal atau punden di Dukuh Jipangan.

Para warga mengumpulkan makanan yang dibawa dari rumah di dua lokasi yang ditandai dengan pohon pisang. Di bagian atas terdapat aneka hiasan bewarna merah dan putih. Paling ujung terdapat bendera merah putih dari kertas.

Advertisement

Baca Juga: Pemdes Krikilan Sragen Bagi-Bagi Sembako untuk Jadup Warga Isoman

Tetap Taat Prokes

Itulah rangkaian ritual bersih desa yang dilakukan rutin warga Jipangan setelah habis panen dengan mengambil weton Jumat Pon (16/7/2021) siang. Meskipun dalam situasi pandemik Covid-19, para warga tak berani meninggalkan acara sacral tersebut. Para warga tetap berusaha menjaga protokol kesehatan dan menghindari kerumunan dengan cara mempercepat rangkaian upacara adat.

Bayan Jambanan, Jumadi, 56, tak henti-hentinya mengingatkan warga untuk memakai masker dengan benar. Bagi warga yang tidak pakai masker pun langsung diminta Jumadi untuk meninggalkan tanah lapang itu.

Advertisement

“Sadranan ini wujud bersih dukuh atau sedekah bumi yang diadakan setiap habis panen. Tadi pagi juga dilakukan kenduren di makam cikal bakal Kaki Klipo dan Nyai Klipo. Kalau kenduren di makam itu dilakukan setelah tanam sehingga setahun tiga kali. Kalau sadranan ini sekali dalam setahun,” kata Jumadi.

Tokoh agama setempat, Rohmat Hidayat, 60, menyampaikan upacara adat ini sudah menjadi tradisi sejak zaman simbah-simbah dulu. Rohmat tak mengetahui sejarahnya karena para simbah tidak pernah mengisahkan cerita tentang sumur kawak itu.

Baca Juga: Dialog Dengan Bupati Sragen Soal Pasokan Oksigen, PT Samator Ungkap Fakta Ini

Advertisement

“Kalau dari nama Dukuh Jipangan itu kemungkinan ada hubungannya dengan Jipang Panolan [asal Haryo Penangsang pada masa Kasultanan Pajang]. Kalau sumur kawak itu terjadi dulunya dari empat tongkat wali yang ditancapkan kemudian menjadi mata air. Lorong di empat sudut di dalam sumur itu seperti lorong bekas tancapan tongkat,” katanya.

Selain itu, ada peringatan yang tidak boleh dilanggar, yakni saat warga menggelar hajatan dengan menanggap wayang atau campursari atau karawitan maka sindennya dilarang memakai pakaian warna hijau.

Dia mengatakan dulu pernah ada yang melawan peringatan itu dan ternyata kejadian sinden itu tidak bisa bernyanyi dan suara gamelan juga tidak berbunyi. Anehnya, setemlah sindek itu ganti pakain yang tidak bewarna hijau, sinden itu bisa bernyanyi dan gamelan pun bunyi. Peringatan itu masih berlaku sampai sekarang.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif