SOLOPOS.COM - Konstruksi fondasi tower yang sudah dibangun di lingkungan RT 06A, Dukuh Jati, Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Sragen, Senin (25/3/2024). (Istimewa)

Solopos.com, SRAGEN — Pembangunan tower base transceiver station (BTS) di Dukuh Jati, Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Sragen, yang ditolak warga setempat ternyata belum mengantongi izin dari Pemkab Sragen. Pembangunan tower di lingkungan RT 06A Dukuh Jati itu saat ini disetop setelah ada aksi unjuk rasa warga yang menolak pada Senin (25/3/2024) kemarin.

Sekitar 30 warga dari dua RT bersikeras menolak setelah ada mediasi dengan investor yang membangun tower tersebut.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Koordinator Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sragen, Ilham Kurniawan, menyampaikan pertemuan warga dengan pihak investor di Pilang belum ada titik temu. “Kami berencana memanggil pihak-pihak terkait untuk memfasilitasi pertemuan lagi di kantor [DPMPTSP],” ujarnya kepada Solopos.com, Selasa (26/3/2024).

Kepala DPMPTSP Sragen, Dwi Agus Prasetyo, juga mengungkapkan berkas permohonan izin pendirian tower itu belum masuk ke mejanya. Dia menjelaskan hanya ada dua perizinan di DPMPTSP, yakni kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) dan izin persetujuan bangunan gedung (PBG). Sementara untuk izin persetujuan tower itu, ujar Agus, berada di Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Sragen.

“Jadi proses yang sudah dilaporkan ke saya itu awalnya investor yang akan mendirikan tower sosialisasi ke warga dan mengurus perizinan lewat Pemerintah Desa (Pemdes). Syarat minimal adalah mendapatkan persetujuan 80-100 kepala keluarga untuk pendirian tower. Nah, persetujuan warga itu sudah didapatkan, akhirnya naik ke kepala desa dan camat,” jelas Agus.

Dari laporan awal itu, Agus mengirimkan petugas mengecek ke Pilang dan ternyata tidak semua warga di radius dekat tower menyetujui. Justru warga yang tanda tangan persetujuan itu berada di luar radius terdekat tower.

“Jadi ternyata ada 30 warga yang komplain dan mengadu tidak setuju dengan pendirian tower tersebut. Entah ada persoalan politik desa atau apa, yang jelas jadi ramai,” jelas Agus.

Ia “akan memfasilitasi pertemuan warga dengan investor di kantor DPMPTSP. Kalau warga tetap bersikeras menolak, investor harus mencari lokasi lain. “Harusnya perizinan beres dulu baru membangun. Jadi investor ini juga terlalu percaya diri. Mentang-mentang sudah dapat tanda tangan kades dan camat kemudian langsung bangun,” ujar Agus.

Kabid Pendayagunaan Teknologi Informasi Diskominfo Sragen, Hartono, mengaku langsung mengecek data setelah membaca informasi di media massa terkait polemik pendirian tower telekomunikasi di Pilang. Hartono memastikan belum ada permohonan perizinan pembanguna tower BTS yang masuk ke Diskominfo.

Terkadang investor itu lebih dulu membangun tower sementara proses perizinan belum tuntas. Dia menjelaskan prosedur perizinan pendirian tower itu diawali dari persetujuan masyarakat di radius sesuai dengan ketinggian tower. Misalnya tinggi tower 70 meter maka pemiliknya harus mengantongi persetujuan mayoritas warga yang tinggal dalam radius 70 meter dari tower.

“Setelah ada persetujuan masyarakat dilanjutkan ke persetujuan lurah/kades dan persetujuan camat. Setelah itu berkas perizinan dibawa ke Diskominfo untuk mendapatkan rekomendasi site plan, kemudian ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) terkait analisis dampak lingkungan, dan ke Dinas Pekerjaan Umum (DPU) terkait dengan konstruksinya,” jelas Hartono.

Dia melanjutkan setelah dari DPU bisa mengurus ke Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, Pertahanan, dan Tata Ruang (Disperkimtaru) berkaitan dengan KKPR. Setelah perizinan lintas dinas selesai, jelas dia, baru ke DPMPTSP Sragen untuk mengurus izin PBG atau pengganti izin mendirikan bangunan (IMB). Setelah semua perizinan selesai, kata dia, investor baru memulai pembangunan tower.

“Semua prosedur perizinan itu diatur dalam Peraturan Bupati. Yang penting itu di lapangan dulu. Sepertinya kasus di Pilang itu ada permasalahan di lapangan. Dalam persetujuan masyarakatan itu tidak harus 100%, tetapi harus mayoritas. Kalau hanya ada 1-2 orang yang tidak setuju bisa ditinggal karena hanya karena 1-2 orang tidak setuju tidak bisa menggagalkan investasi. Pendirian tower itu juga dalam rangka program digitalisasi pemerintah, jadi masyarakat butuh dan investor juga butuh,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya