SOLOPOS.COM - KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus saat membacakan karya-karya puisinya dalam Gelar Sastra Jawa Tengah 2023 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Selasa (31/10/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO–“Dulu waktu Orde Baru, saya pernah buat puisi ini di satu acara dan ketua panitianya diamankan oleh pihak berwenang. Saya baca puisinya. Inilah zaman kemajuan, ada serupa rasa jeruk dan durian, ada keripik rasa keju dan ikan, ada republik rasa kerajaan,” tutur K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus saat berada di podium dalam acara Gelar Sastra Jawa Tengah 2023 di Taman Budaya Jawa Tengah Solo, Selasa (31/10/2023).

Tidak ada keraguan dalam suara lantang Gus Mus malam itu, membuat puisi tersebut terdengar jelas kepada seluruh penonton Gelar Sastra Jawa Tengah 2023 yang hadir di Teater Arena.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Sontak, sebagian penonton tertawa terpingkal-pingkal mendengar bait terakhir puisi Gus Mus itu. Penonton lainnya terpukau dan manggut-manggut menyadari mengapa puisi itu membuat beberapa orang ditangkap meskipun ketiga bait tersebut tidak lain hanyalah puisi balsem.

Namun, malam itu, Gus Mus berjanji hanya akan membawakan puisi cinta, tak melulu puisi yang menohok para pemimpin Indonesia. Itu sebabnya dia pun mulai membacakan sekitar 4 puisi lainnya, termasuk Puisi Islam.

Saat Gus Mus membacakan Puisi Islam, penonton bagaikan tersihir dan hanya diam terpukau. Sebagian menanyakan kembali hubungan diri mereka dengan agama yang mereka percayai.

Kemampuan magis Gus Mus untuk membuat audience ikut merasakan apa yang dia ucapkan berhasil membuat hati penonton bergetar.

Puisi-puisi tersebut lahir di masa muda Gus Mus, dan menceritakan sebagian keresahannya sebagai manusia maupun kerinduannya kepada Nabi Muhammad SAW.

Gus Mus memang tampil terakhir, tetapi penampilannya layaknya mengamini Gelar Sastra Jawa Tengah 2023 bertransformasi menjadi malam ngaji sastra.

Namun, malam itu, karya-karya Gus Mus juga dibacakan oleh pujangga lainnya, termasuk St. Wiyono dan Budi Bodhot Riyanto. Keduanya membacakan cerpen berjudul karya Gus Mus berjudul Gus Jakfar, dan dalam pembacaan keduanya pun rasa magis yang menggetarkan jiwa penikmat Gelar Sastra sangat terasa.

“Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan.”

Saat Budi Bodhot Riyanto duduk berseberangan dengan St. Wiyono untuk membacakan kalimat yang disampaikan oleh Kiai Tawakkal, suaranya lantang dan terdengar jelas tanpa ada gangguan dari penonton yang menontonnya dengan khidmat.

Suara itu kemudian terpatri di benak semua yang hadir di situ, menjadikan karya Gus Mus semakin meresap ke dalam sanubari para penonton.

Budi Bodhot Riyanto dan St. Wiyono menjadi penampil kedua setelah kelompok musik Sound of Poem dari Solo. Setelah keduanya menyajikan cerpen terbaik Kompas tahun 2004 tersebut, panggung dikuasai oleh Abdul Wachid BS dan kemudian beralih pada sastrawan asal Delanggu, Wijang Wharek Al-Mauti.

Tampil dengan rambut panjang yang berkibar, Wijang Wharek Al-Mauti justru mengenakan peci layaknya hendak menjadi santri.

Bagaikan santri yang tengah mengadu kepada gurunya, Wijang Wharek Al-Mauti menyampaikan puisi-puisi cinta dan ironi politik Indonesia. Dia berpesan, pemimpin yang baik tidak menciptakan politik dinasti.

Agaknya keresahan juga dirasakan oleh pujangga lainnya, Anis Sholeh Ba’asin. Kepada para penonton, Anis mengaku dia bukanlah pujangga dan yang disampaikannya tidak lebih dari kata-kata, karena menurutnya bahasa sudah mati. Puisi yang dia bacakan pun merupakan keresahannya mengenai pentingnya Bahasa Indonesia dan kondisi negara.

Meski begitu, harapan tetap diutarakan oleh sastrawan asal Solo, Sosiawan Leak. Berpenampilan dengan kaus putih polos dan celana hitam sederhana serta membawa bendera Indonesia, Leak tampil bagaikan para pemuda Surabaya yang berjuang mengibarkan bendera Merah Putih saat peristiwa 10 November di depan Hotel Yamato Surabaya.

“Semua sudah menampilkan keresahan dan puisi-puisi politik, puisi cinta pun sudah. Saya ingin menampilkan diorama mengenang Hari Pahlawan berjudul Arek-Arek Bonek Surabaya,” ujar Leak.

Saat mendengarkan monolog dan menyaksikan penampilannya, semua penonton memahami Leak menuliskan gagasannya atas cinta dan ironi negara Indonesia di karyanya tersebut. Gerakan dan tariannya di panggung mengajak penonton untuk kembali ke peristiwa itu dan mengenang aksi heroik pemuda-pemuda Indonesia tersebut.

Meskipun tidak mengenakan sepatu, Leak tetap berhasil menggetarkan lantai Gedung Teater Arena malam itu dan hentakan kedua kakinya menjadi iringan tempo dioramanya sendiri.

Acara Gelar Sastra Jawa Tengah 2023 tidak lengkap tanpa kehadiran pujangga muda. Malam itu, mahasiswi asal Semarang Tsaqiva Kinasih Gusti bersama kedua temannya menyajikan musikalisasi puisi-puisi karya berbagai pujangga, antara lain W. S. Rendra, Sosiawan Leak, dan karya Gus Mus sendiri.

Saat tampil, Tsaqiva mengaku jatuh cinta dengan sastra karena orang-orang yang hadir malam itu bersamanya. Baginya mempelajari puisi karya Rendra, Leak, maupun Gus Mus seperti terus belajar dan berkembang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya