Soloraya
Rabu, 15 Juni 2011 - 06:37 WIB

Diusulkan, Rp 12 Miliar untuk kembangkan klaster Sangiran di Dayu

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pengunjung menikmati panorama kawasan Sangiran dari gardu pandang. Pengembangan kawasan wisata tersebut masih terus diperlukan demi mendukung karakteristik uniknya sebagai salah satu situs kehidupan prasejarah. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Sragen (Solopos.com) – Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMPS) mengusulkan anggaran Rp 12 miliar untuk pengembangan Klaster Dayu, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, 2012 mendatang.
Dana sebesar itu akan digunakan untuk pengembangan pusat informasi terkini Situs Sangiran berdasarkan hasil-hasil penelitian. Lahan yang disediakan sekitar 9.000 meter persegi.

PENGEMBANGAN KAWASAN -- Pengunjung menikmati panorama kawasan Sangiran dari gardu pandang. Pengembangan kawasan wisata tersebut masih terus diperlukan demi mendukung karakteristik uniknya sebagai salah satu situs kehidupan prasejarah. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Advertisement
Penjelasan itu disampaikan Kepala BPSMPS, Harry Widianto, ditemui Espos di ruang kerjanya Selasa (14/6/2011). “Setelah Klaster Krikilan rampung September tahun ini kami akan lanjutkan pengembangan Klaster Dayu. Total dana yang kami usulkan Rp 12 miliar,” katanya.
Menurut Harry site plan pengembangan Dayu sudah ada. Detail Engineering Design (DED) disusun oleh Ditjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Setelah Klaster Dayu akan dikembangkan Klaster Ngebung dan Bukuran, Kalijambe, Sragen. Klaster Ngebung dikembangkan merujuk pada klaster historis penemuan situs. Sebab kali pertama penemuan alat-alat bantu manusia purba terjadi di perbukitan Desa Ngebung, Kalijambe, pada 1934. Setelah itu titik penemuan menyebar di wilayah Kalijambe, Plupuh, Gemolong dan Gondangrejo, Karanganyar.

Luas area Situs Sangiran sekitar 56 km persegi atau 5600 hektare meliputi 22 desa di Kalijambe, Plupuh, Gemolong dan Gondangrejo. Klaster terakhir yaitu Klaster Bukuran khusus untuk penjelasan proses evolusi manusia.

Advertisement

Di sisi lain Harry Widianto mengungkapkan pergeseran pola pikir masyarakat di kawasan Situs Sangiran. Dulu warga mencari dan menjual fosil kepada orang luar untuk mendapatkan pemasukan. Sekarang justru warga sering melaporkan adanya temuan fosil kepada petugas. “Warga melapor nanti petugas yang menggali dan memindahkannya ke Balai,” terangnya.

Fenomena tersebut menurut Harry merupakan buah dari gencarnya sosialisasi perlindungan benda cagar budaya (BCB) sejak tahun 2009. Lantaran saking banyaknya penyerahan fosil ke Balai, tempat penyimpanan kian penuh. Petugas sudah menambah rak penyimpanan dengan cara membuat bagian tambahan rak. Hebatnya lagi fosil yang diserahkan warga bukan lagi berupa fragmen saja melainkan potongan besar. Bahkan pernah ada warga yang mendapat imbalan jasa Rp 10 juta karena menyerahkan fosil temuannya. “Paling lama dana imbalan jasa cair dua pekan sejak penyerahan fosil,” janji dia.

kur

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif