SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Seno Samodro

BOYOLALI–Kasus dugaan pemalsuan dokumen alih status Desa Kemiri dan Mojosongo, Kecamatan Mojosongo, memasuki babak baru. Bupati Boyolali, Seno Samodro, mengklaim Ketua RT dan RW sebagai pihak paling bertanggung jawab atas dugaan pemalsuan tanda-tangan warga.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Seno mengaku Pemkab telah menurunkan tim untuk mendalami masalah ini. Hasilnya tim tidak menemukan indikasi ada pegawai negeri sipil (PNS) yang terlibat dalam rekayasa atau pemalsuan tanda tangan di dokumen alih status Desa Kemiri dan Mojosongi. Menurut Bupati, pihak yang terlibat dan bertanggung jawab adalah Ketua RT dan Ketua RW.

“Kasus ini sudah berlangsung selama beberapa pekan. Dari hasil pendalaman, sampai detik ini belum ada indikasi seorang pun PNS yang terlibat “rekayasa” atau “pemalsuan”. Kalau ada PNS yang terlibat, saya tinggal menurunkan Inspektorat. Lalu siapa yang terlibat? Dari hasil penelusuran, yang diduga terlibat adalah RT dan RW. Tidak ada instruksi dari kecamatan atau di atasnya,” ujar Seno, yang ditemui wartawan seusai acara pelantikan Dewan Pengurusan Cabang Partai Amanat Nasional (PAN) di Gedung Haji, Boyolali, Minggu (26/2/2012).

Bupati memahami jika RT dan RW adalah ujung tombak seluruh program pemerintah. Oleh karena itu, Pemkab berjanji memberi bantuan hukum jika nantinya Ketua RT/RW terseret dalam proses hukum yang kini tengah diusut oleh Polres Boyolali. Namun di sisi lain, Bupati dengan tegas menyatakan tidak akan menonolerir segala rekayasa atau pemalsuan.  “Kalau ternyata ada pemalsuan akan saya sikat habis,” tegasnya.

Di sisi lain, Bupati mendapat laporan dugaan pemalsuan dokumen atau tanda tangan masih bisa diperdebatkan. Pengambilan keputusan di tingkat RT atau RW biasanya memang jarang sesuai dengan hukum yang berlaku. Misalnya terkait tanda-tangan di acara rapat. Kadang kala seseorang warga sengaja titip tanda tangan. Menurutnya tanda tangan seperti itu memang palsu. Tapi dia mempertanyakan apakah hal seperti itu perlu dibawa ke jalur hukum.

“Yang jelas alih status ini hanya membutuhkan dukungan warga sebanyak dua pertiga atau sekitar 67%. Padahal dukungan yang kami dapatkan sebanyak 80%. Jadi kalau tanda-tangan palsunya hanya lima, 10 atau 300, hah!. Kecuali kalau bisa menemukan yang palsu sekitar 2.000. Jika ada 2.000 pun kami masih bisa menempuh proses hukum selanjutnya. Misalnya banding, kasasi, hingga peninjauan kembali dan itupun butuh waktu bertahun-tahun. Saya tidak perlu melakukan dialog, pelaksanaan Perda unstopable (tidak bisa dihentikan). Kalau tidak melaksanakan Perda, Bupati malah bersalah,” tegas Seno.

Sementara itu Ketua RT 003/ RW 13, Tempurejo, Desa Kemiri, Trimakno mengaku tidak bisa menerima jika kesalahan terkait pemalsuan dokumen ditimpakan kepada ketua RT dan RW. Dia mengakui jika tanda tangan beberapa warga memang dipalsukan. Tapi semua dilakukan atas instruksi dari atas.

“Lalu kenapa kesalahan hanya ditimpakankepada kami ketua RT/RW.padahal kami melakukan itu karena ada instruksi. Kalau memang hanya kami yang disalahkan, mending tidak usah ada ketua RT atau ketua RW,” ujarnya ketika dihubungi Espos.

Disisi lain Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Boyolali, Bramastia, mendesak DPRD Boyolali segera memanggil Bupati Boyolali. Hal itu terkait munculnya sejumlah bukti bahwa tanda-tangan warga di dokumen alih status Desa Kemiri dan Mojosongo banyak yang palsu. Menurut Bramastia, DPRD punya wewenang meminta pertanggungjawaban kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya.

JIBI/SOLOPOS/Yus Mei Sawitri    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya