SOLOPOS.COM - Sejumlah buruh tani memanen padi di Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Selasa (28/2/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Legislator DPRD Wonogiri menyebut batas atas harga pembelian gabah di tingkat petani yang ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) bersama pelaku usaha penggilingan yakni Rp4.550/kg untuk gabah kering panen (GKP) terlalu murah.

Batas atas itu membuat harga gabah di Kota Sukses yang sempat mencapai Rp5.000, bahkan Rp6.500 per kg anjlok. Hal itu membuat posisi petani Wonogiri saat ini jadi serbasulit.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Anggota Komisi I DPRD Wonogiri, Sardi, mengatakan harga gabah basah panen (GBP) di Wonogiri saat ini senilai Rp4.200/kg. Dengan harga itu, petani tidak mendapatkan untung banyak.

Bahkan jika dikalkulasi secara terperinci, mereka tidak mendapatkan untung sama sekali. Apalagi mereka yang memiliki lahan sawah tidak terlalu luas. Sardi menyebut dalam kondisi harga yang seperti itu, petani sebenarnya ingin menahan hasil panen mereka hingga harga gabah naik dan dinilai menguntungkan.

Tetapi hal itu cukup sulit dilakukan apalagi bagi petani-petani kecil yang hanya memiliki luas sawah tidak seberapa, misalnya hanya satu petak sawah berukuran 2.000 meter persegi. Mereka dalam posisi dilematis.

Di satu sisi, jika petani Wonogiri menjual gabah dengan harga sekarang, keuntungan yang mereka dapatkan sangat minim. Tidak jauh berbeda dengan biaya produksi yang mereka keluarkan. Di sisi lain mereka juga butuh modal untuk musim tanam berikutnya.

Sardi yang juga seorang petani mengatakan sudah membuktikan hal tersebut. Dia menggarap sawah seluas dua hektare (ha) yang ia sewa dari sawah bengkok desa. Lahan seluas itu bisa menghasilkan gabah 12 ton dengan biaya produksi mencapai Rp40 juta dalam sekali masa tanam.

“Hasil produksi segitu, paling dapatnya sekitar Rp50 juta. Jadi kalau dikurangi biaya produksi cuma dapat sekitar Rp10 juta dalam waktu lebih dari tiga bulan. Itu belum termasuk biaya sewa,” kata Sardi saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis (2/3/2023).

Dia melanjutkan banyak petani kecil di Wonogiri yang terpaksa menjual gabah mereka dengan harga yang berlaku begitu panen tiba karena butuh modal untuk masa tanam berikutnya di samping tetap menyimpan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Menurutnya, agar petani mendapat keuntungan cukup, harga GBP minimal Rp5.000/kg.

Posisi Petani Sulit dan Terdesa

Dia menyoroti kebijakan pemerintah yang hanya menentukan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat senilai Rp4.550/kg. Hal itu sangat merugikan petani, terutama petani-petani kecil. “Kebijakan penentuan harga batas atas gabah seharusnya memperhatikan hulu dan hilir. Sehingga tidak ada yang dirugikan,” ujar dia.

Ketua Komisi II DPRD Wonogiri, Titik Sugiyarti, menyampaikan petani di Wonogiri saat ini dalam posisi sulit dan terdesak. Ketika panen raya tiba, harga gabah di Wonogiri langsung jatuh. Hal itu seperti sudah menjadi siklus tahunan.

Sementara pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak. Sebab kebijakan harga gabah dan beras ditentukan pemerintah pusat. “Apalagi, di Wonogiri ini petaninya bukan petani besar, melainkan hanya punya luas lahan sawah satu-dua kopyok [2.500-5.000 meter persegi],” kata Titik.

Sebelumnya, petani asal Kecamatan Jatisrono, Tuwuh Widodo, mengatakan harga gabah baik GBP maupun GKP turun sejak petani mulai panen masa tanam I 2023 ini. Menurut dia, di Kecamatan Jatisrono harga GBP bahkan turun jadi hanya Rp4.000/kg.

Padahal sebulan lalu harga GBP mencapai sekitar Rp5.000/kg. Turunnya harga GBP juga berpengaruh pada harga GKP yaitu senilai Rp5.000/kg di tingkat petani. “Kalau sekarang ini, berat sekali jadi petani. Untungnya enggak serupa. Belum lagi kuota pupuk bersubsidi juga dikurangi banyak. Jadi biaya produksi naik, tapi penghasilannya enggak ikut naik, kasihan kalau jadi petani,” ucap Widodo.

Widodo menggarap sawah seluas lebih kurang 3.000 meter persegi dengan hasil produksi sebanyak 1,5 ton GBP. Dengan harga gabah seperti sekarang ini, pendapatan kotor dari hasil menanam padi sekitar Rp6 juta.

Padahal biaya produksi dalam sekali panen selama lebih dari tiga bulan hampir mencapai Rp5 juta. “Untungnya enggak seberapa. Malahan enggak bisa dibilang untung. Soalnya itu belum menghitung biaya tenaganya,” ucap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya