Soloraya
Selasa, 21 Desember 2021 - 21:23 WIB

Duh, Ribuan Bayi di Klaten Kekurangan Gizi

Taufiq Sidik Prakoso  /  Abu Nadzib  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Oktaviano Nugroho, 5, asal Desa Kebondalem Lor, Prambanan dipangku ayahnya bernama Sugiyantoro, 31, di salah satu bangsal RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro, Rabu (18/2/2015). Bocah tersebut mengalami gizi buruk. (Taufiq Sidik Prakoso/JIBI/Solopos)

Solopos.com, KLATEN — Ribuan balita di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah mengalami stunting atau kekurangan gizi kronis. Faktor utama penyebab balita mengalami stunting yakni pola asuh yang salah.

Di Klaten ada 169.096 balita. Dari jumlah itu, pengukuran dan penimbangan dilakukan kepada 35.091 balita pada Agustus 2021. Dari puluhan ribu balita itu, Dinkes menemukan 11,7 persen atau sekitar 4.105 balita stunting.

Advertisement

Kasi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan (Dinkes) Klaten, Bekti Sayekti, mengatakan ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan tingginya prevalensi stunting di Klaten.

Pandemi Covid-19 sempat membikin kegiatan Posyandu berhenti selama beberapa bulan ketika kasus Covid-19 meninggi. Hal itu membuat pemantauan tumbuh kembang anak tidak bisa dilakukan secara optimal.

Advertisement

Pandemi Covid-19 sempat membikin kegiatan Posyandu berhenti selama beberapa bulan ketika kasus Covid-19 meninggi. Hal itu membuat pemantauan tumbuh kembang anak tidak bisa dilakukan secara optimal.

“Padahal sekali saja ditemukan, harus segera dilakukan intervensi. Saat pandemi, perkembangan balita hanya bisa dipantau via WA,” kata Bekti saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (21/12/2021).

Saat ini, kegiatan Posyandu kembali bergulir seiring menurunnya angka kasus Covid-19. Kegiatan Posyandu digelar dengan pembatasan ketat serta pengaturan jadwal kunjungan posyandu agar tak menimbulkan kerumunan.

Advertisement

Bekti menjelaskan indikator menentukan anak dalam kondisi kekurangan gizi kronis berdasarkan berat badan menurut tinggi badan, tinggi badan menurut umur, dan berat badan menurut umur.

“Ketika tidak sesuai standar, maka mereka berada pada kondisi stunting,” ungkap dia.

Faktor pola asuh sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang balita. Jika dalam pola asuh yang salah, balita rentan mengalami stunting. Pola asuh sendiri diakui Bekti dipengaruhi berbagai faktor.

Advertisement

Salah satunya faktor ekonomi keluarga. Apalagi selama masa pandemi Covid-19, banyak yang terdampak secara ekonomi seperti dirumahkan hingga tak memiliki penghasilan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi balita. Selain faktor ekonomi, buruknya pola asuh dipengaruhi faktor kesibukan orang tua.

“Ada yang balita sebenarnya kondisi keluarganya terhitung mampu. Ibunya sibuk bekerja, sehingga sang anak dalam pengasuhan orang lain dan kurang memperhatikan faktor pemenuhan gizi,” kata dia.

Soal intervensi ketika ditemukan kasus stunting, Bekti menjelaskan ada edukasi serta pemantauan kasus stunting lebih intensif. Jika biasanya pemantauan dilakukan melalui Posyandu, intervensi penanganan balita stunting dari sisi kesehatan dilakukan dengan membuat klaster tersendiri di tingkat puskesmas.

Advertisement

“Dari pemerintah pusat memberikan bantuan biskuit balita. Kemudian dari Puskesmas ada pemberian makanan tambahan dari bahan makanan lokal,” jelas dia.

Namun, sebelum ada pemberian makanan tambahan itu ada pengecekan kondisi kesehatan balita stunting. Beberapa kondisi balita stunting memiliki penyakit penyerta seperti infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kencing, cacingan, dan lain-lain.

“Penyebab-penyebab itu kami atasi dulu sebelum melakukan intervensi pada pemberian makanan tambahan,” kata dia.

Bekti mengatakan selama ini upaya mencegah stunting sudah dilakukan dengan melibatkan berbagai instansi serta lembaga. Pada bidang kesehatan, Bekti menjelaskan sudah ada terobosan dengan mengajak dokter spesialis anak dari rumah sakit ke puskesmas untuk menjaring balita berisiko tinggi.

Baca Juga: Ojek ASI, Cara Desa Kerjo Lor Wonogiri Cegah Stunting 

“Sebenarnya terobosan sudah banyak mulai dari tingkat remaja dengan ada posyandu remaja. Kemudian aksi bergizi di tingkat sekolah. Ada juga kelas calon pengantin bersama Kemenag. Ada juga kelas ibu hamil, kelas balita, serta pendampingan-pendampingan dari dokter spesialis,” kata dia.

Bekti mengimbau meski kondisi pandemi Covid-19, pola pengasuhan bisa dilakukan oleh masing-masing keluarga untuk mencegah balita mengalami stunting. “Selain pengasuhan, pemantauan pertumbuhan dan memberikan anak dengan pelayanan sesuai standar baik itu tetap harus dilakukan,” kata dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Prof. Abdul Kadir, mengatakan angka kasus stunting di Indonesia masih tinggi.

“Stunting di Indonesia sekitar 28 persen dari populasi balita. Bisa dibayangkan misalkan ada 50 juta populasi balita, maka sekitar 14 juta yang stunting. Dan ingat, stunting itu bukan hanya fisiknya yang kecil dan tinggi badan pendek dibandingkan seusianya. Tetapi juga sel otak mereka juga kecil. Dengan demikian, dari segi intelektual dan kecerdasan sangat kurang. Ini tentu bukan menjadi bonus demografi, tetapi beban pemerintah. Oleh karena itu, masi bersama-sama mengusahakan menurunkan angka stunting,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif