Soloraya
Kamis, 14 Juli 2011 - 23:35 WIB

Efisiensi anggaran, pos irasional diminta dikurangi

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Klaten (Solopos.com) – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten bisa mengurangi belanja pegawai dengan mengurangi alokasi anggaran sejumlah pos yang tak rasional. Demikian dikemukakan anggota DPRD Klaten, Marjuki, ketika ditemui Espos, Kamis (14/7/2011).

”Alokasi biaya operasional untuk pengadaan alat tulis kantor (ATK) sebenarnya bisa ditekan, bisa dikurangi. Alokasi anggaran ATK ada di ratusan SKPD sehingga nilai relatif tinggi. Kalau itu dikurangi tentu akan menghemat belanja. Belanja ATK ini salah satu pos belanja pegawai yang tak rasional,” tandasnya.

Advertisement

Dia menambahkan, Pemkab Klaten harus mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dari berbagai sektor guna mengantipasi terjadinya kebangkrutan. Menurutnya, potensi PAD yang belum tergarap dengan maksimal adalah sektor pajak dari penambangan pasir dan batu atau tambang galian golongan C.

Dia menilai terjadi kebocoran pengelolaan pajak galian golongan C yang mengakibatkan sumbangan PAD tidak maksimal. “Di Kabupaten Magelang, PAD dari sektor galian golongan C bisa mencapai miliaran rupiah,” kata dia.

Sementara di Kabupaten Klaten, PAD dari sektor ini hanya mencapai Rp 200 juta hingga Rp 300 juta per tahun. Marjuki mempertanyakan mengapa ketika sama-sama mengelola penambangan galian golongan C di lereng Merapi, perbedaan pendapatan antara Pemkab Klaten dan Pemkab Magelang sangat besar. Perbedaan itu, menurut Marjuki, hanya mungkin terjadi akibat kebocoran.

Advertisement

Anggota Badan Anggaran DPRD Klaten, Sunarto mengatakan hal senada. Menurutnya, untuk mengantisipasi terjadinya kebangkrutan, Pemkab Klaten harus mendongkrak PAD dari semua sektor.
”Cukup banyak sektor yang belum menyumbangkan PAD secara optimal. Salah satunya dari sektor pariwisata, yakni Objek Wisata Mata Air Cokro (OMAC). Semua sektor lainnya juga harus segera dievaluasi,” kata dia.

Lebih lanjut Marjuki mengatakan kebijakan pemerintah pusat menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) setiap tahun juga dinilai menjadi salah satu pemicu potensi kebangkrutan pemerintah daerah (Pemda). Kebijakan pemerintah pusat menaikkan gaji PNS tidak dibarengi dengan kenaikan dana alokasi umum (DAU).

Padahal, kenaikan gaji PNS setiap itu membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dikelola secara otonom oleh Pemda. “Sebagian besar APBD berasal dari DAU. Kalau 90% DAU digunakan untuk belanja pegawai, lalu dari mana lagi anggaran untuk pembangunan daerah?” tukas Marjuki.

Advertisement

Marjuki yang merupakan anggota Komisi IV DPRD Klaten itu juga menyoroti terlalu gemuknya PNS di sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemkab Klaten. ”Keberadaan PNS belum memperhatikan faktor efektivitas dan efisiensi karena jumlahnya melampaui kebutuhan,” tandasnya.

mkd

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif