Soloraya
Selasa, 8 Agustus 2023 - 10:27 WIB

Festival Benawi Sonten, Aktualisasi Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal di Sragen

Tri Rahayu  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah penari Bedhaya Balontang Kasmaran membawa jarit bermotif batik khas buatan Ki Ageng Butuh dalam Festival Benawi Sonten di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Plupuh, Sragen, Senin (7/8/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Tradisi lisan dan kearifan lokal yang berkembang di seputaran Bengawan Solo diaktualisasikan dalam Festival Benawi Sonten, Senin-Selasa (7-8/8/2023). Festival ini berupa kirab budaya dan tarian yang digelar di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Sragen.

Rangkaian cerita lisan itu pun terhubung dengan kegiatan Pasar Tambak Kumandang di wilayah Desa Sribit, Kecamatan Sidoharjo, yang bakal digelar Kamis (10/8/2023) besok.

Advertisement

Festival Benawi Sonten dimulai Senin lalu dengan prosesi Kidung Agung Ki Ageng Butuh dan Bedhaya Balontang Kasmaran Ki Ageng Butuh. Selain itu, ada parade beduk dan hadrah, rekontruksi kuliner kuno ketan punar, dan fashion show batik Usaha Kecil Menengah (UKM) Butuh.

Kegiatan itu berlanjut pada Selasa ini dengan kirab gunungan Ki Ageng Butuh, Sawur Warni Si Tom-tom, dan kegiatan lainnya yang dibuka Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati.

Subkoordinator Cagar Budaya dan Koleksi Museum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Sragen, Andjarwati Sri Sayekti, menjelaskan Kidung Agung Ki Ageng Butuh merupakan prosesi bagaimana Ki Ageng Butuh menjadi ulama dan melepaskan keningratanny. Ia kemudian membaur bersama masyarakat untuk mensyiarkan Islam di Butuh.

Advertisement

Kedatangan Ki Ageng Butuh ini disambut Mbah Gedong yang kemudian belajar ilmu keagamaan setelah melepas kepangkatannya. “Selama di Butuh, Ki Ageng Butuh juga membuat motif batik yang dikenal dengan Batik Balontang Kasmaran. Dalam festival ini juga disajikan bagaimana merekonstruksi ulang motif-motif batik tersebut,” ujarnya saat ditemui wartawan di Butuh.

Andjarwati menambahkan, kirab gunungan diikuti 18 rukun tetangga (RT). Ada pula satu gunungan dari Keraton Solo. Semua gunungan itu diarak dari jembatan gantung sampai ke lapangan dan didoakan. Setelahnya gunungan itu menjadi rebutan warga.

“Setelah kirab gunungan ada Sawur Warni Si Tom-tom. Si tom-tom ini sebutan untuk pewarna indigovera, yakni pewarna alami batik Balontang Kasmaran. Sawur warni itu menjadi simbol penyatuan Ki Ageng Butuh dengan masyarakat dalam sebuat kegotong-royongan yang disimbolkan dengan warga nila, merah, dan kecokelatan,” ujarnya.

Advertisement

Dalam perjalanannya Ki Ageng Butuh juga melarung jubahnya untuk meneruskan keilmuan di Bengawan Solo. Jubah itu nanti diterima Ki Tambakyudo yang ada di Tambak Sribit untuk melanjutkan syiar agama Islam. Setelah itu muncul generasi berikutnya yang melanjutkan syiar Islam, yakni Ki Girinoto.

“Prosesi datangnya Ki Girinoto dengan menggunakan getek dan sendra tari. Semacam drama turgi. Ini bergantung pada tradisi lisan yang ada kemudian diaktualisasikan dalam bentuk drama. Kegiatan di Tambak itu nanti berakhir dengan acara uber ulam,” jelasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif