SOLOPOS.COM - Ilustrasi proses belajar-mengajar SMP. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)

Full Day School, wacana FDS yang dicanangkan Mendikbud kemungkinan belum bisa diterapkan sekolah di perdesaan.

Solopos.com, SRAGEN–Sekolah-sekolah di perdesaan belum siap menerapkan sistem pendidikan full day school (FDS) karena tenaga siswa masih dibutuhkan untuk membantu orang tua seusai sekolah. Di sisi lain, jarak rumah guru ke sekolah relatif jauh sehingga menyulitkan guru.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Kepala SMPN 2 Jenar, Sapto Wasono, mengaku sudah mendapat pengenalan model pembelajaran dari Australia tentang full day school tersebut. Dia menilai model pendidik satu hari penuh itu berorientasi pada pembentukan karakter anak dan menomorduakan IQ. Sampai sekarang, Sapto masih wait and see atas kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut karena belum ada instruksi langsung dari Dinas Pendidikan (Disdik) Sragen.

“Model pendidikan full day school itu kurang pas diterapkan di perdesaan. Kebanyakan anak-anak desa itu masih membantu orang tua setelah pulang sekolah, seperti merumput atau ke sawah. Saya kira di perkotaan lebih siap,” tutur dia.

Secara pribadi, Sapto menilai tidak semua sekolah di perdesaan menerapkan Kurikulum 2013 apalagi ada model pembelajaran baru full day school. Dia menyampaikan SMPN 2 Jenar selama ini masih menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dia merasa sarana dan prasarana menjadi full day school di perdesaan masih jauh. “Belum lagi biaya selama full day school juga pasti membengkak. Itu yang menanggung siapa?” tutur dia.

Kepala SMPN 1 Sumberlawang, Sumarno, juga sependapat dengan Sapto. Dia menyatakan para siswa di perdesaan belum siap untuk full day school karena pola pikirnya belum bisa mengikuti, termasuk guru-gurunya. Dia mengatakan sarana dan prasarana belum memadai sehingga membutuhkan persiapan yang panjang menuju full day school.

“Manajemen sekolah perlu ditata. Kalau dipaksakan ya susah. Kalau di kota kan anak-anak tidak dibebani pekerjaan orang tua jadi bisa menerapkan full day school. Biaya juga pasti memberatkan orang tua. Kalau semua disuplai pemerintah mungkin beda. Kemudian beban guru bertambah. Manajemen lebih rumit,” tutur Sumarno yang juga Kepala SMP Satu Atap Sumberlawang itu.

Terpisah, Wakil Bupati Sragen Dedy Endriyatno menyampaikan konsep full day school yang berjalan di sekolah swasta itu hanya berjalan lima hari. Kendati demikian, pembelajaraan full day school itu memang membebani guru. Konsep terpadu, kata Dedy, bisa diterapkan dalam full day school.

“Konsep terpadu yang dimaksud menjadi rumah sebagai sekolah kedua dan menjadikan sekolah sebagai rumah kedua. Artinya, ada sinergitas antara sekolah dan orang tua di rumah. Konsep pembelajaran di sekolah juga diajarkan oleh orang tua di rumah. Konsep ini bisa untuk full day school. Kalau di Sragen pola ini belum bisa sepenuhnya kecuali di daerah perkotaan,” ujar dia.

Dia menyatakan sekolah di perdesaan belum bisa menerapkan full day school karena memang beban guru lebih berat dan butuh waktu untuk sampai ke sekolah karena jarak rumah guru ke sekolah relatif jauh. Dedy mengatakan perlu ada evaluasi sistem pendidikan di sekolah-sekolah perdesaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya