SOLOPOS.COM - Ariwan K. Perdana azraeldana@gmail.com Penulis independen, pengamat musik, dan gaya hidup

 

Ariwan K. Perdana azraeldana@gmail.com Penulis independen, pengamat musik, dan gaya hidup

Ariwan K. Perdana
azraeldana@gmail.com
Penulis independen,
pengamat musik,
dan gaya hidup

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Beberapa waktu lalu saya diminta membuat artikel untuk sebuah majalah. Tema artikelnya sebenarnya bisa dihamparkan secara lebih luas. Mereka berpesan agar tulisannya jangan terlalu panjang karena sekarang orang-orang tidak suka membaca tulisan yang panjang.

Saya kerjakan artikel itu. Tidak butuh waktu terlalu lama artikel pun selesai karena hanya pendek. Setelah dimuat di majalah itu, saya melihat tulisan saya menjadi tulisan yang instan. Instan nulis-nya, instan juga membacanya.

Instan punya konotasi langsung dan cepat. Sebuah proses yang tidak memberikan ruang kepada terlalu banyak waktu. Pokoknya yang seharusnya setengah jam bisa dipangkas jadi 15 menit, bahkan kalau perlu lima menit. Semakin pendek dan semakin cepat semakin baik.

Sekarang ini instan menjadi seperti agama. Dipeluk dan dilakoni banyak orang. Ditemukan di berbagai peradaban. Dulu orang mencurahkan isi hati (curhat) pakai batu atau daun. Hasilnya hanya bisa dilihat oleh orang itu dan orang-orang di sekitarnya.

Menulis atau menggambarnya pakai pahat atau pisau dan butuh waktu yang tidak sebentar. Kemudian ada kertas dan tinta. Orang makin mudah dan cepat menulis.

Sekarang pahat berubah menjadi keypad, batu dan daun berubah menjadi media sosial. Sekali pencet tombol langsung ketahuan Darsono sedang memperbaiki atap rumah, Satemi melahirkan anaknya yang kelima, Dolob sedang berada di negeri antah berantah.

Semuanya serba cepat, singkat, mudah. Dari batu ke kertas ke media sosial. Setiap tahapnya semakin memungkinkan proses yang lebih cepat.  Instan juga memiliki nama alias yaitu jalan pintas. Shortcut icon yang ada di desktop background komputer itu jalan pintas.

Tinggal klik saja, kita langsung dibawa ke game atau aplikasi yang kita inginkan. Sarana copy and paste pada komputer juga benar-benar membantu menghemat waktu menyalin, orang tak perlu lagi repot-repot menulis ulang.

Dalam terminologi lanskap kota, kita mengenal istilah jalan tikus atau jalur tikus untuk menyebut ruas jalan kecil yang kerap digunakan untuk menghindari jalan utama yang macet demi mencapai tujuan secara lebih cepat.

Kebudayaan kita sekarang adalah kebudayaan instan. Makanannya instan, minumannya instan, lagu-lagunya instan, kendaraannya instan tinggal pancal gas, ambil duitnya instan, kirim kabarnya instan tinggal SMS atau fasilitas messenger, mau terkenal juga instan tinggal bikin ontran-ontran di media sosial.

Bahkan cari duit juga instan. Tak usah berlama-lama bekerja langsung dapat duit banyak, meskipun harus nyomot duit orang. Tayangan-tayangan di TV juga instan, seinstan caranya memindah channel pakai remote control.

Saat memilih-milih channel televisi, orang hanya punya waktu sedetik dua detik untuk merasa tertarik atau tidak dengan sebuah tayangan. Pokoknya begitu sebuah tayangan tidak menarik, dia akan langsung pindah channel.

Para pekerja rumah produksi pembuat acara TV sebisa mungkin membuat acara-acara yang hanya sedetik dua detik nongol bisa langsung bikin orang tertarik. Maka, pilihannya adalah joget-joget, kostum heboh, rame-rame. Yang begitu pasti langsung menarik perhatian orang.

Kita tidak perlu tahu tentang keluasan ilmu pengetahuan, kekayaan kebudayaan, kualitas, dan seluk-beluk pendidikan manusia atau tentang pemahaman dan penerapan nilai-nilai sosial dalam hidup.

Dengan kebudayaan instan orang menjadi terbiasa langsung menelan apa saja yang disuapkan kepadanya. Sudah hampir tak ada tempat bagi kesediaan berpikir secara luas. Hampir tak bisa menyediakan waktu untuk meletakkan sebuah informasi pada takarannya yang pas. Apa yang disuguhkan langsung dikonsumsi.

 

Kadang Diperlukan

Dalam beberapa situasi, menjadi instan terkadang memang diperlukan. Terutama untuk hal-hal yang dirasakan terlalu bertele-tele. Membuat sebuah proses menjadi lebih singkat memang dimungkinkan karena adanya cipta karya hasil karsa manusia yang memiliki naluri tidak suka menunggu.

Menjadi tidak indah ketika semua hal kemudian diinstankan atau dijalanpintaskan. Padahal hidup selalu memiliki keseimbangan. Di sana terdapat yang namanya proses dan perkembangan. Pada bagian inilah seharusnya segalanya berjalan secara alamiah.

Ada yang bisa dipercepat, ada yang tidak bisa dipercepat. Ada yang bisa dipercepat setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan pada kemanfaatan.

Kita bisa makan dengan hanya mengunyah empat-lima kali dan langsung telan. Tapi alat pencernaan bisa terancam risiko sakit. Konon antara ingin menguji kecepatan atau ingin tiba di tujuan sehari lebih cepat, kapal sebesar Titanic ngebut tapi akhirnya nyenggol gunung es dan tenggelam.

Dengan meletakkan pemikiran pada derajat keindahan, seharusnya profesi tidak bisa berubah menjadi korupsi. Akal seharusnya bertugas mengontrol kemauan-kemauan dan ambisi-ambisi diri yang sifatnya berkecenderungan pada kebendaan, pengakuan, dan penghargaan.

Dalam perkembangan ilmu hitung, Lotfali Zadeh mengungkapkan fungsi keanggotaan di antara interval 0 dan 1. Logika ini memberi kesempatan tampilnya lebih banyak bilangan di mana setiap bilangan mewakili setiap tingkat perkembangan di antara 0 dan 1.

Sebelumnya, Jan Lukasiewicz telah memandang logika ini sebagai nilai kebenaran yang tak terhingga jumlahnya. Bisa dianalogikan seperti proses sebatang lilin yang meleleh sejak berupa batang lilin hingga menjadi genangan lilin.

Terjadi beberapa periode perubahan, perpindahan dan perkembangan di sana. Jika dikaitkan dengan dimensi kehidupan, ikhtisarnya adalah manusia akan bisa belajar dari setiap nilai yang ditemui dalam proses alami hidupnya.

Setiap proses dalam hidup itu seperti menonton video secara gerak lambat atau memotret dengan teknik slow speed. Setiap tahapan transisinya akan bisa terlihat, bisa dipelajari.

Dalam dunia musik, jamak kita dapati penyanyi-penyanyi atau sjeumlah band generasi lawas bisa long-lasting dalam karier. Kalaupun sudah bubar atau meninggal, lagu-lagu mereka masih terus didengarkan orang. Mereka melewati proses perkembangan multinilai.

Melalui proses itu mereka paham bahwa membuat lagu sejatinya adalah sebuah kontribusi kepada kehidupan. Setiap lirik dan nada tidak diciptakan untuk menjadi idiom yang overnight sensation, hanya bersinar semalam setelah itu temaram.

 

Sulit Dijumpai

Ada sebuah titik yang sulit dijumpai saat hidup dengan gaya cepat, yaitu titik jeda atau titik diam. Jeda atau diam memberikan peluang bagi manusia untuk merasakan apa-apa yang tidak tampak, tidak terdengar, atau tidak sempat hadir dalam putaran hidup yang pola pikir dan budayanya serba cepat.



Dengan berdiam kita akan dapat melihat, mendengar, dan mengamati sesuatu dengan lebih jelas ketimbang saat berjalan atau berlari atau naik motor. Pengamatan yang lebih jelas itulah yang bisa dimanfaatkan manusia untuk belajar sekaligus menyelaraskan diri dengan sesama dan lingkungannya.

Masyarakat Barat yang selama ini getol dengan sains dan modernitas yang hiruk pikuk, belakangan mulai menggiring diri mereka menuju kejedaan dan kediaman. Gejala ini sudah muncul sejak lima dekade silam, saat mereka mulai jenuh dengan budaya materialistis yang segalanya melulu dihitung dengan takaran ekonomi.

Pentas musik akbar Woodstock 1969 menjadi tempat anak-anak muda Amerika Serikat saat itu untuk sejenak berhenti dari segala protes dan upaya kolektif mereka dalam menghentikan kepongahan pemerintah negara mereka terhadap komunisme di Asia Tenggara yang mengakibatkan berlarut-larutnya Perang Vietnam.

Remaja-remaja Amerika Serikat angkatan 1969 ini butuh tempat mengaso. Butuh titik jeda. Sesuatu yang alami. Meski juga tak bisa menghindar sepenuhnya dari pengaruh politik dan ekonomi, Woodstock 1969 yang digelar di alam terbuka selama tiga hari dan dan dihadiri ratusan ribu orang itu setidaknya memberikan apa yang mereka cari.

Dalam wujud yang berbeda namun tetap bertujuan sama, masyarakat Barat kini mulai gandrung dengan pendekatan-pendekatan spiritual dan pengembangan kemampuan internal diri. Tujuannya agar mereka tidak terlalu bergantung pada hal-hal eksternal dalam menjalani hidup.

Di belantara gedung-gedung tinggi kawasan Manhattan, New York, di antara kesibukan bisnis yang hampir tak ada hentinya, bermunculan tempat dan kelas untuk meditasi dan yoga.

Di beberapa negara Eropa, Fakultas Filsafat di pergurun tinggi kini semakin banyak peminatnya. Sebagian manusia yang lain mencoba mencari pengalaman spiritual secara pribadi.

Bentuknya bisa macam-macam, dari membangun ”agama-agama baru” hingga mendalami kembali agama-agama yang sudah ada. Spiritualisme dan pencarian hakikat hidup mulai muncul di ranah Barat di tengah-tengah perputaran dan kemajuan sains dan teknologi serta modernitas yang bergerak cepat.

Mereka, masyarakat Barat, sedang mulai membuat siklus hidup mereka menjadi lebih natural karena putarannya sudah terlalu cepat dan instan. Kita di sini sedang sibuk mempercepat siklus hidup kita yang sebelumnya sudah bergerak natural.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya