SOLOPOS.COM - Alif Basuki alif@pattiro.org Pegiat antikorupsi di Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro)

 

Alif Basuki  alif@pattiro.org  Pegiat antikorupsi  di Pusat Telaah  dan Informasi Regional  (Pattiro)

Alif Basuki
alif@pattiro.org
Pegiat antikorupsi
di Pusat Telaah
dan Informasi Regional
(Pattiro)

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

 

Power tends to corrupt,

and absolute power

corrupt absolutely

(kekuasaan itu cenderung korup,

dan kekuasaan yang absolut

cenderung korup secara absolut).

 

Mengapa kekuasaan cenderung korup? Hal ini pernah disampaikan secara jelas oleh Lord Action sebagaimana adagium di atas bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan sehingga semakin besar kekuasaan yang digenggam maka semakin besar pula peluang untuk disalahgunakan.

Kalau kita menggunakan sudut pandang politik dalam melihat korupsi maka korupsi selalu melekat dalam struktur politik yang ditandai fenomena pemusatan kekuasaan, baik dalam bentuk kuasa oligarki (kekuasaan sekelompok kecil), otoritarian, dan bahkan totalitarian (kekuasaan terpusat).

Dalam struktur politik seperti itu,  korupsi menjadi fungsional karena kekuasaan cenderung korup untuk memperluas, mempertahankan, dan memelihara bangunan kekuasaan yang telah dibangun menjadi cukup besar sehingga menempatkan kekuasaan tersebut pada sebuah etalase yang susah untuk dijamah karena bersifat absolut.

Dalam konteks kenegaraan Indonesia, sistem otonomi daerah dengan pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah telah memunculkan absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.

Menurut data Kementerian Dalam Negeri, dari 536 kabupaten/kota di Indinesia, 291 kepala daerahnya menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dan sudah ada yang menjalani vonis hukuman penjara. Ini data yang sangat memprihatinkan karena di tengah kita sedang membangun demokrasi  dan perang terhadap justru terjadi lonjakan tingkat korupsi yang juga luar biasa.

Tidak salah ketika prestasi kita dalam peringkat indeks persepsi korupsi menurut Transparancy International Indonesia pada 2013 ini Indonesia berada di urutan ke-114 dari 177 negara dengan skor 32. Skor 100 mengindikasikan suatu negara tersebut dikategorikan bersih dari korupsi.

Situasi yang memprihatinkan tersebut diakibatkan kewenangan penuh yang saat ini dimiliki pemerintah daerah tak digunakan secara baik dan benar. Di era otonomi 24 persen urusan daerah ditangani pemerintah provinsi dan 76 persen lainnya ditangani pemerintah kabupaten atau kota yang bermuara pada mutlaknya kekuasaan kepala daerah dalam mengatur pembangunan di daerah.

Di kawasan Soloraya ada beberapa kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah itu antara lain Bupati Sragen Untung Wiyono  yang kini berstatus terpidana kasus korupsi dana kas daerah Kabupaten Sragen 2003-2010 di Bank Perkreditan Rakyat; Bupati Karanganyar Rina Iriani  yang kini jadi tersangka kasus dugan korupsi penyalahgunaan bantuan subsidi perumahan Griya Lawu Asri (GLA) dari Kementerian Perumahan Rakyat melalui Koperasi Serba Usaha (KSU) Sejahtera Karanganyar tahun 2007-2008.

Selain itu, mantan Walikota Solo Slamet Suryanto terjerat kasus dugaan korupsi dana proyek anggaran biaya tambahan (ABT) Kota Solo 2003; mantan Bupati Klaten almarhum Haryanto Wibowo terjerat kasus dugaan korupsi perjalanan dinas ke Jepang saat menghadiri undangan pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan modus anggaran dobel.

Mantan Bupati Boyolali Djaka Srijanta terjerat kasus dugaan korupsi dana purna tugas DPRD Boyolali pada APBD Kabupaten Boyolali 2004. Fenomena para kepala daerah di Soloraya yang terkena kasus korupsi  ini menandakan sejatinya kasus tersebut tidaklah terjadi pada mereka saja.

Sebenarnya bila penegakan hukum berjalan sesuai dengan mekanisme hukum, menurut saya yang pernah ”mendiagnosis” perilaku para kepala daerah di Soloraya ini, saya yakin semua mantan kepala daerah maupun saat ini yang masih menjabat kepala daerah di kawasan Soloraya ini bisa terjerat kasus dugaan korupsi.

Namun, karena para penegak hukum tidak berani dan tak serius menangani dugaan kasus korupsi tersebut, para kepala daerah yang masih menjabat maupun yang sudah tidak menjabat menjadi aman-aman saja.

Persoalan ini bertambah pelik karena para penegak hukum di daerah yakni kejaksaan dan kepolisian mayoritas ”tumpul” saat menghadapi kasus dugaan korupsi. Kasus-kasus dugaan korupsi yang mengemuka tersebut justru hanya menjadi ”lumbung penghasilan” tambahan bagi aparat penegak hukum.

Hal ini bisa dilihat dari realitas penegakan hukum di Kabupaten Boyolali. Di wilayah ini, menurut saya, banyak kasus dugaan korupsi. Tapi, ketika kasus tersebut ditangani oleh kejaksaan maupun kepolisian tidak pernah sampai ke pengadilan. Padahal dari sisi data dan laporan dari masyarakat sudah begitu cukup untuk melakukan tindakan hukum yang bisa jadi menyeret kepala daerah dalam kasus dugaan korupsi.



Perilaku kepala daerah yang korup ini–termasuk di wilayah Soloraya–adalah akibat situasi dan kondisi di mana kewenangan kepala daerah laksana semakin tak terbendung.  Sejak diberlakukannya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi dengan UU No. 32/2004 jo UU No. 12/2008  telah terjadi pemberian kewenangan yang lebih luas terhadap daerah.

Kewenangan yang lebih luas itu mencakup kewenangan untuk melaksanakan pembangunan dan mengelola ke setempat dalam rangka meningkatkan kualitas  dan kuantitas pembangunan daerah. Namun, dalam pelaksanaannya, otonomi daerah lebih cenderung dimaknai sebagai otonomi administrasi dan otonomi finansial yang mengabaikan desentralisasi dalam kerangka politik.

 

Partisipasi

Ada dua hal penting sebagai dampak desentralisasi demokrasi, yakni partisipasi dan akuntabilitas yang tidak menjadi visi dan praktik penyelenggaraan pemerintah daerah. Desentralisasi pemerintahan tanpa desentralisasi demokrasi melahirkan monopoli sumber daya ekonomi daerah oleh elite lokal.

Realitas tersebut mengandung bahaya, yakni penyelewengan kekuasaan dan korupsi sebagaimana data Kementerian Dalam Negeri di atas. Kalau dilihat dari cara dan praktik korupsi yang dilakukan para kepala daerah, mereka menggunakan modus kewenangan yang diberikan otonomi.

Modus tersebut antara lain dengan cara menahan setoran pajak ke pemerintah pusat untuk disimpan di rekening pribadi maupun modus meminjam dana kas ke daerah untuk investasi pribadi. Modus lainnya adalah pemanfaatan sisa dana tanpa pertanggungjawaban dengan memanipulasi penghitungan APBD.

Modus selain itu adalah memanipulasi perizinan, penarikan fee terhadap rekanan yang memenangi lelang proyek yang didanai APBD, gratifikasi dari bank milik pemerintah daerah yang bertindak sebagai penampung anggaran daerah, hingga penggunaan bantuan sosial yang tidak sesuai peruntukannya.

Desentralisasi politik/pemerintahan saat ini berjalan dengan buah desentralisasi korupsi. Realitas desentralisasi korupsi ini membalikkan seluruh logika desentralisasi pemerintahan yang semula dimaksudkan untuk mengurangi kekuasaan pusat secara signifikan. Desentralisasi politik/pemerintahan ini, menurut saya, tidak dipersiapkan dengan baik dan pada akhirnya desentralisasi hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan, dan adminitrasi dari pemerintah pusat ke daerah tanpa disertai pembagian kekuasaan dan pengawasan secara ketat oleh masyarakat.

Selain itu, desentralisasi korupsi terjadi juga akibat kurangnya kapasitas institusi negara yang bertugas mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang kepala daerah. Ini ditambah kegagalan lembaga legislatif menjalankan fungsi sebagai lembaga pengontrol kekuasaan kepala daerah. Kelemahan legislatif ini menambah panjang deretan persoalan desentralisasi pemerintahan yang mengakibatkan desentralisasi korupsi.

Yang diperlukan dalam pencegahan korupsi adalah orang-orang baru untuk tampil menginisiasi perubahan secara radikal. Orang-orang baru secara material tidak memiliki halangan apa pun, terutama menyangkut struktur politik dan ekonomi.

Tanpa perubahan radikal seperti itu, partisipasi masyarakat dalam membasmi korupsi dan sejumlah agenda reformasi tampak tidak banyak artinya. Partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah butuh penguatan masyarakat dalam kemampuan mengontrol proses politik dan administrasi di daerah. Kontrol dari masyarakat ini terutama dalam pemilihan kepala daerah, penyusunan APBD, serta pelayanan publik di daerah.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya