SOLOPOS.COM - Ubed Abdilah Syarif abdeeki@gmail.com Pemrakarsa Solo Research Network

Ubed Abdilah Syarif abdeeki@gmail.com Pemrakarsa Solo Research Network

Ubed Abdilah Syarif
abdeeki@gmail.com
Pemrakarsa Solo Research Network

Sejak agenda Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 ditetapkan beberapa bulan lalu, para calon anggota legislatif (caleg) langsung mulai menyosialisasikan diri lewat alat peraga kampanye (APK) seperti spanduk dan baliho agar dikenal publik.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Memasang spanduk atau baliho merupakan cara konvensional yang umumnya memuat foto diri caleg, gambar partai, nomor urut, dengan warna yang selaras dengan warna dan ideologi partai.

Ada beberapa persoalan yang ditimbulkan dari maraknya pemasangan spanduk dan baliho caleg yang bertebaran tak beraturan itu. Spanduk, baliho dan alat peraga lainnya dianggap mengotori estetika wajah kota atau kawasan.

Di beberapa lokasi di kawasan jalan raya, baliho berukuran besar dapat mengganggu konsentrasi pengendara kendaraan bermotor sehingga berpotensi menyebabkan terjadi kecelakaan lalu lintas. Dan, dalam beberapa hal, spanduk dan baliho itu menabrak aturan sosialisasi dan aturan kampanye.

Namun, hal yang menjadi perhatian saya adalah banyak caleg di Kota Solo yang mengamuflase pemasangan spanduk atau baliho bergambar diri mereka dengan membuat dan memberi nama spanduk untuk warung wedangan, kios kecil, warung makan kaki lima, atau warung kecil yang bertebaran di pinggir jalan, di tengah perkampungan, di area strategis dan di ruang publik lainnya.

Di beberapa lokasi di Kota Solo, seperti di Jl. Popda, Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari, Solo, dan area di sekitar Alun-Alun Selatan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, spanduk dan baliho para caleg dari berbagai partai politik itu mewarnai warung-warung angkringan (hik) dan gerobak penjual minuman.

Dalam konteks sosial budaya Solo, warung wedangan atau warung hik adalah ruang yang menyejarah dan identik dengan masyarakat kelas bawah, sebut saja wong cilik.

Kini, warung hik dan wedangan yang berkembang dengan berbagai modifikasi juga menjadi antitesis dari ruang sosial ”elite” seperti warung kopi (kafe) yang juga menjamur di Kota Bengawan ini.

Tempat wedangan biasanya berupa gerobak beroda yang bisa dipindahkan, diberi atap terpal, dan menyajikan makanan berupa nasi bungkus ukuran kecil, aneka macam gorengan, dan minuman.

Pelanggan wedangan, warung hik, atau warung kaki lima datang tidak hanya untuk mengisi perut saat sarapan pagi, waktu makan siang, atau malam. Mereka utamanya menikmati wedang (minuman) sambil bersantai bersama teman, berbagi ide, atau bergosip.

Wedangan menjadi media bersosialisasi, bertemu, dan menikmati hidangan sederhana dan kuliner lokal. Wedangan telah menjadi simbol kedekatan dan bagian dari kehidupan wong cilik.

Wong cilik seperti yang saya kutip dari Prof. Kuntowijaya di tulisan saya sebelumnya di harian ini yang berjudul Hikayat Politik Wong Cilik (Solopos edisi Senin, 10 Februari 2014), mengacu pada kelas bawah dalam struktur masyarakat Solo.

Wong cilik adalah kelas sosial yang selalu berada di pinggir, menjadi penonton dan terasing dari budaya elite, dalam hal ini kalangan raja, budaya keraton, priayi, golongan Tionghoa, dan saudagar.

 

Kontradiksi Makna Simbolik

Alat peraga kampanye semacam spanduk dan baliho jika dikaji dalam kacamata semiotik, ilmu tentang tanda, bisa dibaca sebagai reklame atau iklan.

Dalam hubungan semiotik (semiotic relation) reklame atau iklan itu adalah tanda yang membawa pesan (konteks), menjadi perantara, penanda dan memberi pengaruh bagi kondisi (rujukan) yang dituju, dalam hal ini calon pemilih.

Ada makna asosiatif antara tanda dengan objek yang ditujunya. Jadi, iklan caleg di ruang-ruang wong cilik itu itu dapat berbunyi atau bermakna asosiatif ”saya bersama kalian”, atau “saya mewakili kalian”, atau “saya juga bagian dari wong cilik”.

Iklan caleg yang bertebaran di suatu area seperti kampung atau kelurahan bisa pula membawa makna asosiatif teritorial. Iklan caleg di suatu teritori/wilayah dapat dibaca sebagai sebuah penegasan ”ini wilayahku”, ”ini basis pendukungku”.

Menjadi ironis ketika melihat caleg yang memberikan dan memasang spanduk dirinya di warung kaki lima, wedangan, dan kios-kios yang pada umumnya berlokasi di area publik yang terlarang untuk diokupasi seperti trotoar untuk pejalan kaki dan fasilitas umum lainnya.

Contohnya, di sepanjang Jl. Popda, Kampung Tapen, Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari, Solo, berdiri banyak warung makan dan bangunan semipermanen dengan iklan caleg menghiasi.

Padahal area pinggir jalan itu jelas tanah milik negara yang di atasnya tidak boleh didirikan bangunan. Beberapa papan peringatan yang jelas menerangkan larangan mendirikan bangunan dengan ancaman pidana tampaknya tidak dihiraukan.

Iklan caleg yang menempel di warung makan, wedangan (hik), atau lambang partai yang berkibar di area seperti itu bisa dibaca sebagai bentuk dukungan terhadap pelanggaran itu.



Si caleg, atau bahkan partai politik, seolah ingin mengatakan ”saya di belakang Anda, meski kehadiran Anda di sini sebetulnya tidak diperkenankan karena mengokupasi tanah negara”.

Barangkali, si caleg atau partai politik itu juga ingin merayu ”kami bersama kalian, jangan takut, kami akan melindungi jika terjadi apa-apa atas pelanggaran yang dilakukan”.

Mungkin saja antara si caleg dan si pelanggar, pemilik ruang wong cilik itu, ada komunikasi tak terbahasakan. ”Ya, bahwa saya (caleg) akan mewakili kalian wong cilik jika kalian memilih saya, dan kalian akan saya ’amankan’ meski kalian melanggar aturan”.

Tafsir simbolis ini mungkin terkesan mengada-ada. Namun, hubungan simbolis itu bisa saja menjadi kenyataan mengingat pola transaksional yang masih mendasari sebagian warga dalam menggunakan hak pilih mereka saat pemilu nanti.

Jika itu terjadi, akan ada potensi berlangsungnya ketidakpatuhan terhadap aturan atau pelestarian dan perlindungan terhadap bentuk-bentuk pelanggaran oleh masyarakat.

Misalnya, bisa saja terjadi ketika pemerintah hendak mengeluarkan aturan daerah mengenai keberadaan warung wedangan, hik, dan sejenisnya di ruang publik, konstituen yang memilih si caleg berdasarkan model transkasi di atas akan menagih kepada anggota legislatif akan janji melindungi keberadaan mereka di ruang publik meski menyalahi aturan.

Si anggota legislatif juga akan terbebani oleh ”politik balas budi” kepada konstituen yang memilihnya. Maraknya iklan caleg di ruang-ruang wong cilik juga menggambarkan pesan lain, yaitu ketatnya persaingan dan kontestasi antarcaleg dalam meraih dukungan wong cilik.

Mengambil contoh kasus di sekitar Alun-Alun Selatan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, beberapa iklan caleg dari beberapa partai politik yang berbeda seolah berebut ingin menunjukkan kehadiran mereka.

Sementara di Jl Popda, Nusukan, beberapa iklan caleg dari partai yang sama menghiasi beberapa warung makan, kios, dan warung wedangan yang berjajar sepanjang jalan.

Gambaran ini menjadi penanda bahwa persaingan antarcaleg di partai yang sama itu sangat ketat dalam upaya meraih simpati calon pemilih.   Hal ini tidak begitu mengherankan karena suara wong cilik menjadi magnet bagi para caleg untuk mendulang suara di Kota Bengawan yang merupakan salah satu basis partai yang identik dengan wong cilik ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya