SOLOPOS.COM - Tundjung W. Sutirto (Istimewa)

  Tundjung W. Sutirto tunjung_ws@yahoo.co.id   Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Dewan Pengawas Yayasan Jenang Indonesia


Tundjung W. Sutirto
tunjung_ws@yahoo.co.id
Dosen Ilmu Sejarah
Universitas Sebelas Maret
Dewan Pengawas
Yayasan Jenang Indonesia

Baru saja ada peristiwa budaya yang perlu diapresiasi oleh semua elemen masyarakat Kota Solo. Yaitu deklarasi pendirian Yayasan Jenang Indonesia (YJI). Tepatnya pada Kamis, 21 November 2013, bertempat di Omah Sinten Heritage. Yyasan jenang itu dideklarasikan dengan visi dan misi yang berorientasi pada keluhuran budaya.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Ini sebuah fenomena yang sangat unik karena di Solo sekarang ada yayasan yang mengurusi jenang.      YJI diharapkan menjadi wadah dan pelindung produk budaya masyarakat yang berrnama jenang atau bubur. Jika jenang dibiarkan tanpa proses transformasi antargenerasi, cepat atau lambat jenang akan hilang dan tidak ada lagi yang mengenalnya.

Atau, bisa jadi suatu saat jenang sebagai kearifan lokal itu akan diklaim sebagai milik negara lain seperti beberapa karya seni budaya yang selama ini ditelantarkan yang kemudian kita baru ribut ketika diklaim oleh negara lain. Dengan adanya YJI ini proses pewarisan dan transformasi pengetahuan tentang perjenangan dapat dilakukan.

Pentingnya transformasi pengetahuan tentang jenang didorong realitas faktual generasi muda saat ini sudah tidak banyak tahu soal makanan khas warisan nenek moyang itu. Coba saja dilakukan survei kepada anak-anak muda di Solo dan ditanya soal jenang, hasilnya dapat diprediksi,  yaitu banyak yang tidak tahu.

Mungkin mereka tidak tahu jenis-jenis jenang atau bahkan tidak tahu apa filosofinya. Mereka, para anak muda perkotaan, lebih kenal asparagus soup, zupa soup, qe jukee juk (bubur kerang Korea), atau spaghetti.

Bahkan bukan hanya anak muda perkotaan yang tidak tahu soal jenis dan filosofi jenang. Bisa jadi para orang tua juga sudah lupa tentang jenang yang dahulu menjadi penanda setiap acara terkait siklus hidup manusia.

Sejak kelahiran sampai kematian jenang selalu hadir sebagai penanda upacara tradisi manusia Jawa yang penuh muatan kearifan. Mungkin para orang tua saat ini dan generasi muda perkotaan tidak tahu lagi apa itu jenang sengkala, jenang mancawarna, jenang suran, dan seterusnya.

Padahal kalau dibandingkan dengan jenang yang dimiliki bangsa-bangsa lain di Asia, jenang di Jawa punya nilai keluhuran. Ini bukan hanya soal jenang sebagai budaya tangible tetapi yang inti dari jenang di Jawa adalah sisi integible alias budaya tak benda.

Kalau kita pelajari, hampir setiap bangsa di Asia punya makanan khas yang sama wujudnya dengan jenang. Dalam kosakata banyak bangsa Asia, jenang atau bubur berasal dari istilah Sansekerta yaitu kanjika.

Dari asal kata kanjika itu di beberapa negara Asia dan Eropa ada yang kemudian bernama konje, juk, jook (China), kanja (Portugal), chook (Thailand), chao (Vietnam), dan kanji (Indonesia). Tetapi, jenang-jenang di Asia itu hampir semuanya bersifat tangible saja.

Sementara, di Jawa jenang punya  arti lain sebagai intangible yang syarat dengan filosofi. Orang Jawa membuat sengkalan sebagai simbolisasi permohonan dan doa agar terhindar dari mara bahaya. Dengan jenang sengkala manusia berharap keselamatan dari Yang Maha Kuasa.

Agar lancar dalam persalinan maka orang Jawa punya jenang yang namanya jenang procotan. Agar kondisi badan yang letih setelah selesai bekerja dalam hajatan maka dibuatlah jenang sumsum, kemudian dikatakan dengan sumsuman.

Dengan jenang sumsum diharapkan energi yang terkuras setelah ikut bekerja dalam hajatan seseorang akan segera kembali dan badan menjadi segar. Muncul kemudian idiom lokal ketika ada seseorang yang merasa keletihannya belum hilang setelah ikut bekerja dalam hajatan maka selalu yang dijadikan penyebab adalah karena belum sumsuman.

Dari makna-makna simbolis dan ragam jenang di Jawa ini maka kehadiran YJI menjadi penting fungsinya terutama dalam transformasi pengetahuan kearifan. Jenang dapat dikatakan sebagai kearifan lokal.

Begitu mendalamnya makna-makna terkait kehidupan manusia maka di masa mendatang jenang-jenang di Jawa ini dapat didaftarkan ke  United Nations Education and Scientific Cultiral Organization (UNESCO) sebagai warisan dunia (world heritage) terutama sebagai warisan budaya tak benda.

Bahkan YJI dapat berperan lebih besar lagi dalam konteks Indonesia karena dapat memperluas fungsinya untuk mentransformasikan pengetahuan tentang jenang di Nusantara ini. Seperti kita ketahui banyak suku di Indonesia punya makanan khas serupa jenang.

Misalnya, ada jenang atau bubur pedas Melayu yang aslinya dari Sambas, Kalimantan Barat. Bahkan bubur pedas Melayu ini pernah diklaim oleh Malaysia sebagai bubur khas negara itu.

 

Memukau

Kemudian, di Manado ada tinutuan atau bubur Manado. Di Bali ada jenang atau bubur khas yang namanya bubur mengguh yang aslinya berasal dari Buleleng. Di Betawi dikenal juga bubur ayam Jakarta.

Di Maluku tentu jenang khas yang terkenal dari tepung sagu bernama papeda. Di Madura ada tatjin mera (semacam jenang grendul di Jawa). Di Aceh dijumpai bubur gurih yang lezat dan bubur kanji rumbi spesial saat Ramadan. Tidak kalah lezatnya adalah bubur kampiun khas Kota Padang.

Satu lagi yang unik di Tulungagung, Jawa Timur, adalah jenang yang namanya jenang sabun yang manis.

Jadi, di Nusantara ini jenang atau bubur (Inggris: porridge) adalah sebuah hasil karya kebudayaan yang memukau. Oleh karena itu YJI punya visi dan misi yang mulia dalam rangka pelestarian aset bangsa yang tak ternilai harganya ini.



Dari semua misi itu, yang mungkin paling utama adalah menciptakan sebuah epistimologi transformasi budaya kepada generasi muda yang saat ini gandrung dengan jenang-jenang dari negara manca semacam zupa soup, macaroni schotel, atau asparagus soup.

Epistemologi menyangkut metode. YJI harus memaksimalkan berbagai metode untuk lebih mendekatkan bahkan mengembalikan jenang atau bubur di Nusantara ini sebagai benteng budaya terhadap penetrasi boga dari mancanegara yang ekspansif dan masif.

Kalau tidak ada upaya maka suatu saat kita akan kehilangan makanan khas yang lezat sekaligus punya filosofi tinggi, yaitu jenang atau bubur tersebut. Kekhawatiran akan penetrasi makanan dari mancanegara harus dijawab dengan aksiologi dalam bentuk festival.

Maka festival jenang yang sudah berlangsung dua kali di Solo harus dieksekusi sebagai event ajek di Solo. Festival jenang adalah event yang harus menjadi agenda rutin tahunan Kota Solo yang dikelola YJI.

Tetapi, sebagai sebuah yayasan tentu YJI bisa lebih bermanuver di galaksi perjenangan Nusantara baik melalui diskusi, unjuk gelar, penyusunan buku, pengembangan usaha kuliner jenang, sampai pendirian museum jenang.

YJI harus mampu memberikan edukasi kepada masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya bahwa melestarikan jenang berikut filosofosinya bukanlah aktivitas klenik. Tidak bertentangan dengan agama karena jenang adalah suatu hal yang halal.

Termasuk jika membuat jenang sengkala yang berupa simbolisasi permohonan dan doa agar terhindar dari bencana. Seperti halnya kita telah mengakui merah putih sebagai warna bagi panji-panji negara. Demikian juga yang namanya jenang sengkala yang warnanya abang putih sebagai warna lambang keberanian dan kesucian.

YJI punya misi yang luhur dan harus didukung untuk menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang kaya akan identitas dan kearifan. Kita bangsa Jawi yang kajawi (spesial alias lain daripada yang lain) bukan bangsa yang suka dari njawi (luar).

Melestarikan jenang adalah upaya menguatkan hasil karya yang kajawi (spesial) dalam menghadapi gempuran budaya njawi. Kalau begitu, melestarikan jenang sengkala berarti memberikan penguatan dalam melawan zupa soup (karya dari njawi). Demikian mungkin epstimologi dan filosofinya.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya