SOLOPOS.COM - Saeful Achyar iful.achyar@yahoo.co.id Pengelola Majalah Papirus Pemerhati masalah sosial budaya Tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah

Saeful Achyar iful.achyar@yahoo.co.id   Pengelola Majalah Papirus Pemerhati masalah sosial budaya Tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah

Saeful Achyar
iful.achyar@yahoo.co.id
Pengelola Majalah Papirus
Pemerhati masalah sosial budaya
Tinggal di Sukoharjo
Jawa Tengah

Modernisasi kehidupan menghasilkan beragam pekerjaan. Pelbagai profesi dan pekerjaan tercipta seiring terus melajunya peradaban. Dengan bekerja manusia mengalami pencapaian-pencapaian maksimal.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Bekerja menjadikan manusia mengalami titik pemahaman bahwa ia bukanlah sekadar ”binatang berbicara”. Di sisi lain, ketika manusia keasyikan bekerja, sampai melebihi ambang batas waktu normal, sejatinya mereka telah mengeleminasi makna waktu itu sendiri.

Ketika organisme tubuh merasa tersiksa luar biasa tentu saja manusia justru melukai tubuh sendiri sebagai bagian dari harta yang dititipkan Tuhan kepadanya.

Kabar meninggalnya Mita Diran, copywriter yang diduga bekerja selama 30 tanpa istirahat adalah satu peristiwa dari sekian peristiwa di balik glamornya modernitas. Mita menulis di akun Twitter @mitdog yang membuat riuh dunia maya: 30 hours of working and still going strooon (Solopos, 17 Desember).

Kita tentu saja menikmati hasil peradaban yang mencengangkan buah modernitas itu. Alat-alat produksi dihasilkan secara masif dengan pertaruhan waktu dan tenaga manusia yang bersatu dalam nama: kerja.

Ketersediaan pelbagai ragam barang-barang penunjang mengalami eskalasi fungsi tidak sekadar membantu hidup, tetapi juga menandai kelas sosial di masyarakat.

Ambisi materialisme yang dibalut hedonisme membuat manusia terus berlomba-lomba menentukan siapa yang paling makmur dari segi material, sedang jiwa tersingkirkan.

Mereka menghabiskan waktu dan energi untuk menggapai kemakmuran egois. Kemakmuran yang sampai hari ini hanya dinikmati sebagian kecil manusia yang terus berambisi mengekploitasi.

Alhasil, alam berantakan, jiwa manusia tergadaikan dengan kepentingan-kepentingan bekerja yang selalu memunculkan masalah baru yang lebih kompleks.

Sampai-sampai Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman itu, melontarkan kritik pedas kepada modernitas bahwa “Tuhan telah mati”. Tuhan manusia modern adalah benda-benda yang dihasilkan itu sendiri yang disembah dan dipuja dengan kucuran keringat tiada henti tiap hari.

Memaknai Kembali

Kita memang belum sampai final menilai Mita meninggal akibat bekerja yang melampaui batas. Kompetitifnya dunia pekerjaan terkadang pula menimbulkan kecemasan-kecemasan yang dapat membuat gejala destruktif psikologis pada diri seseorang.

Tidak semua orang dapat mengaktualisasikan secara maksimal potensi diri dalam segala tuntutan pekerjaan. Bisa jadi ketika orang merasa malas bekerja, saat-saat itulah justru aktivitas produksi dapat tumbuh kembali.

Kemalasan justru tergantikan aktivitas produksi dengan ide-ide segar yang mencerahkan. Dapat kita saksikan bersama bahwa di kota-kota besar kebosanan justru menjadi buah dari rutinitas yang menimbulkan depresi berat.

Budaya populer sedikit banyak menjauhkan kualitas karya-karya yang ”ramah” pada manusia, alam, dan Tuhan. Sinisme yang dapat dikatakan barangkali ”selama dapat mendatangkan uang, produksi apa pun bisa dilakukan”.

Pada saat beriringan, selama berada dalam waktu senggang manusia terjerembab pada eksistensi konsumtif di mal-mal dan taman hiburan yang berbiaya besar.

Manusia harus lebih adil terhadap tubuhnya. Meminjam istilah Plato, keadilan itu adalah seseorang yang membatasi dirinya pada kerja dan tempat dalam hidup yang sesuai dengan panggilan kecakapan dan kesanggupannya. Ini yang menimbulkan siklus bekerja tiada henti tanpa memikirkan keadilan berwaktu senggang secara manusiawi.

Hiburan Bermakna

Pada zaman Yunani kuno, suati ketika Aristoletes menghendaki rakyat memiliki waktu senggang yang cukup. Waktu senggang adalah waktu yang diisi dengan cara berdiskusi tentang kebenaran dan upaya-upaya menjunjungnya, berefleksi tentang pelbagai gelagat peristiwa kehidupan yang telah, sedang, dan akan ada.

Saat itu waktu senggang telah di ambang kepunahan (Fransiscus Simon, 2007). Secara masif manusia modern memang terjebak ”gila kerja”, suatu ekstase yang menghendaki manusia terus-menerus menggerakan mesin kapitalisme.

Waktu senggang adalah pengorbanannya. Untuk itu, ekstase pada puncak bekerja mesti berimplikasi pada esensi jiwa yang damai, sense of meaning. Keadaan itu memang seolah memimpikan kegilaan yang dapat ditanggapi beragam kesinisan maupun antusiasme.

Budaya mutakhir kita, yang saat ini dikendalikan laju kapitalisme,  menangkap hiburan dengan logika pasar. Hiburan adalah lahan menggiurkan buat mengeruk keuntungan.

Sasarannya tak lain adalah manusia pelahap kerja, yang hari-hari mereka sebagian maupun sepenuhnya merupakan waktu yang bermuatan ”kesibukan kapital”.



Kita memerlukan konsekuensi dari apa yang dinamakan waktu senggang. Bekerja adalah keharusan. Berwaktu senggang menjadi kemestian. Berkeadilan berarti memanggil jiwa yang selaras dengan tubuh.

Dalam modernisasi yang setidaknya menuai pencapaian teknologi mutakhir yang mencengangkan, waktu mesti mendapat kehormatan. Di situ kita (manusia) sanggup merasai diri yang meditatif, romantis bagi jiwa terhadap alam semesta.

Bagi manusia yang gila pekerjaan, ingatlah kehidupan tidaklah sekadar gairah “mata uang”. Kebutuhan-kebutuhan eksistensial yang esensial bagi tubuh juga memerlukan perhatian.

Tidakkah obrolan-obrolan ringan, diskusi-diskusi di jalanan, di pasar-pasar, di masjid, di sekolah, membaca buku, dan juga mendengar lagu adalah hiburan yang memenuhi hasrat waktu senggang berkeadilan?

Selain berbiaya murah, ia juga ramah pada alam. Anda mungkin dapat menambah pemikiran atas hal-hal yang belum disebutkan. Jangan sampai waktu senggang kita dibunuh oleh kehidupan sesaat yang pelan-pelan terjauhkan dari nilai-nilai, etika, estetika, dan menghasilkan individualisme masif yang melahirkan manusia penuh ambisi tetapi miskin arti.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya