SOLOPOS.COM - Masduri masduri_as@yahoo.co.id Peneliti teologi & filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Direktur Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM) Surabaya

Masduri masduri_as@yahoo.co.id Peneliti teologi & filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Direktur Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM) Surabaya

Masduri
masduri_as@yahoo.co.id
Peneliti teologi & filsafat
di Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel
Direktur Gerakan IAIN
Sunan Ampel Menulis (GISAM)
Surabaya

Kekerasan bernuansa agama masih sering terjadi. Kekerasan itu terjadi dalam internal agama atau lintas agama. Kebenaran agama bisa menjadi pemicu konflik sosial yang berakhir dengan anarkisme. Seolah-olah agama mendorong pemeluknya berkonflik atau membunuh atas nama Tuhan.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Tuhan yang dalam keyakinan teologis digambarkan sebagai Zat Maha Pengasih dan Penyayang, hadir dalam tafsir kemanusiaan yang direpresentasikan kelompok tertentu melaluli keyakinan keagamaan mereka sebagai Zat Yang Maha Egois dan Maha Membunuh.

Kenyataan ini sungguh sangat kontradiktif dengan spirit agama sebagai perekat kohesi sosial dalam membangun harmoni hidup yang berkeadaban. Tak usah heran jika semakin hari semakin banyak orang yang takut dengan agama.

Agama seperti momok menakutkan yang siap menyantap mereka yang berbeda keyakinan. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan. Hal yang sering dilupakan oleh setiap pemeluk agama adalah realitas kebenaran yang jamak. Bahwa Tuhan itu satu memang benar, tetapi setiap orang memiliki cara dan keyakinan sendiri-sendiri tentang kebenaran Tuhan yang direpresentasikan melalui keyakinan agama.

Cara dan keyakinan masing-masing kelompok sangat beragam. Semua itu lahir sebagai bagian dari dinamika kemanusiaan yang memang dikehendaki Tuhan. Namun, sayangnya manusia sering mengelak dari semua itu. Seolah Tuhan hanya berkehendak melahirkan satu umat.

Sementara sangat jelas firman Tuhan dalam keyakinan umat Islam: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka (Q.S. Hud: 118-119).

Melalui ayat ini, menurut Muhammad Hamdi Zaqzuq, Islam sebenarnya mengapresiasi jenis dan komunitas manusia sebagai realitas yang tidak boleh menjadi penghalang bagi terwujudnya persatuan, kebersamaan, dan etos saling membantu antarmanusia. Pluralitas harus disikapi sebagai potensi yang mampu membuka jalan bagi persatuan dan kedamaian hidup.

 

Agama Warisan

Selama ini pemeluk agama sering menutup diri mereka terhadap kebenaran orang lain yang mereka mantapkan sebagai pilihan hidup. Mereka hanya merasa bahwa kebenaran agama hanya milik diri mereka, dan yang lain adalah salah.

Sementara mereka sebenarnya lupa bahwa agama yang kini mereka anutnya adalah warisan orang tua mereka, yang kemudian tanpa berpikir panjang tentang kebenaran agama itu tiba-tiba saja mereka anut. Bahkan yang sangat mengherankan, mereka begitu fanatik terhadap agama warisan itu.

Tak aneh bila kekerasan atas nama agama sangat sering mewarnai perjalanan bangsa ini. Hampir semua masyarakat di Indonesia menganut agama warisan orang tua mereka. Hanya sedikit orang yang beragama karena pergumulan dan pencarian kebenaran dalam hidup, sehingga kemudian menentukan pilihan tentang kebenaran agama yang dianut.

Orang yang beragama dari hasil pergumulan dan pencarian kebenaran akan sangat berbeda dengan orang yang menganut agama warisan dalam menyikapi perbedaan. Mereka [yang menemukan agama dalam pencarian kebenaran] akan lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan.

Mereka sadar dan paham bagaimana pencarian kebenaran sebagai proses panjang perjalanan hidup. Sedangkan mereka yang menganut agama warisan cenderung tertutup, dan mungkin hanya tahu satu agama dan aliran saja, sementara dalam hidup sangat banyak agama dana aliran keagamaan.

Penganut agama warisan cenderung keras dan sangat fanatik. Mereka sangat mudah menyalahkan, mengecap yang lain sesat, hingga mengafirkan penganut aliran atau agama lain. Fahmi Huwaydi berpandangan warisan pemikiran yang diilhami sejak beberapa abad yang lalu membentuk sebuah paradigma bahwa agama adalah pisau. Agama senantiasa diidentikkan dengan potong tangan, perang, neraka, dan makna lainnya yang menyeramkan. Agama menjadi begitu sangat mudah mendorong lahirnya kekerasan dalam hidup.

 

Membuka Kesadaran

Jalan untuk menyelesaikan problem kekerasan agama adalah upaya diri untuk membuka kesadaran bahwa setiap orang berpeluang untuk berkeyakinan berbeda. Setiap manusia yang lahir dari orang tua, daerah, kebudayaan, tempat tinggal, dan segenap hal yang berpengaruh terhadap karakter dan pilihan hidup yang berbeda memungkinkan satu sama lain akan berbeda dalam hal keyakinan keagamaan.

Karena itu, kita tidak dibenarkan menghakimi kebenaran orang lain. Apalagi kebenaran mutlak hanya milik Tuhan. Biarkanlah di antara kita hidup dengan keyakinan masing-masing, tanpa ada intervensi dan sikap saling menyalahkan. Lebih baik kita berpikir positif bersama-sama dalam rangka membangun harmoni hidup tanpa kekerasan, dengan menempatkan nilai kemanusiaan dan keadilan sebagai penyangga tegaknya kehidupan bersama yang mendamaikan.

Kita tidak mungkin bisa mengelak dari realitas kemajemukan keyakinan yang memang dikehendaki Tuhan. Upaya kita menyatukan keyakinan sama dengan mengelak atau bahkan menentang kehendak Tuhan tentang kemajemukan keyakinan. Kalau kita mau jujur pada diri sendiri dan ajaran agama, adanya agama Kristen, Hindu, Buddha, Katolik, dan Konghucu adalah kehendak Tuhan.

Termasuk adanya Suni, Syiah, Khawarij, Muktzilah, dan ragam aliran lain dalam Islam adalah kehendak Tuhan pula. Tidak mungkin jika Tuhan tidak menghendaki segala sesuatu dalam hidup ini akan terjadi. Maka benarlah pandangan Husein Muhammad, bahwa manusia yang merasa dirinya paling benar, mengagungkan, memuja, dan mengunggulkan diri sendiri atau kelompok pada satu sisi dan merendahkan, apalagi menindas, atau bahkan membunuh orang atau kelompok lain, sama saja dengan memosisikan dirinya sama dengan atau bahkan menandingi Tuhan Yang Maha Besar, Maha Agung, dan Maha Absolut, yang dalam bahasa teologis disebut syirik.

Realitas kemajemukan keyakinan adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa dielakkan dalam kenyataan hidup. Kita hanya perlu menerima semua itu, sebagai keniscayaan yang mungkin terjadi pada setiap orang dan kelompok keyakinan keagamaan.

 



 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya