Soloraya
Sabtu, 18 Januari 2014 - 13:54 WIB

GAGASAN : Kecemasan Ihwal Golongan Putih

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sauqi Futaqi masuqi2@yahoo.com Mahasiswa Pascasarjana Universitas Isalem Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Advertisement

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kalangan kepala daerah gencar mendorong masyarakat agar menggunakan hak pilih mereka.

Beberapa iklan, pamflet, dan baliho antigolput ditempel di beberapa tempat untuk mendorong masyarakat agar berpartisipasi dalam Pemilu 2014 nanti. Harapannya, angka golput bisa ditekan sedikit mungkin.

Golput atau golongan putih merujuk kepada jumlah warga negara yang dengan kesadaran sendiri enggan menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu dengan berbagai alasan.

Publikasi antigolput semacam itu memperlihatkan kegelisahan pemerintah soal angka golput yang terus meningkat. Direktur Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri, Luthfi M.T.A., di Surabaya, Selasa 26 Maret 2013, menyatakan sejak 10 tahun terakhir angka golput di pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) meningkat dari hanya 20% menjadi 60%-70%.

Terkait Pemilu 2014 nanti, fenomena peningkatan jumlah golput tentu saja menimbulkan kecemasan karena belum bisa diperkirakan angkanya, bisa jadi naik, bisa jadi sebaliknya. Angka golput dikhawatirkan akan mengejutkan tanpa diduga-duga.

Pada tingkat ini, angka golput telah menciptakan beban psikis berupa ketakutan. Para elite penguasa, politikus, dan pemerintah sepertinya sedang mengalami krisis percaya diri sehingga terpaksa merayu, mendorong, dan meyakinkan publik untuk menggunakan hak suara mereka dalam pemilu.

Ketakutan semakin menjadi-jadi karena fenomena golput sering kali dijadikan sebagai salah satu indikasi keberhasilan pemerintahan dan secara subtansial sebagai salah satu ukuran manifestasi berjalannya demokrasi.

Advertisement

Sebagai negara yang menerapkan sistem demokrasi, fenomena golput tentu saja menjadi tugas tersendiri bagi para elite dan penyelenggara negara. Ini bukan sekadar menyangkut soal kesuksesan pemilu, melainkan soal keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam menyukseskan agenda kenegaraan selanjutnya.

Jika dalam agenda pembangunan ke depan, minimal dalam lima tahun periode kepemimpinan, masyarakat kurang menaruh kepercayaan kepada para figur yang menjalankannya, dimungkinkan akan berimplikasi pada struktur dan sistem kenegaraan lebih luas.

Yang tampak sampai hari ini bahwa pemerintah masih sebatas sosialisasi untuk memperkenalkan kepada publik pentingnya selebrasi politik lima tahunan itu. Sosialisasi yang dilakukan melalui media massa seperti media cetak, elektronik, dan portal berita di Internet setidaknya menggambarkan kecemasan sekaligus kesungguhan pemerintah dalam mendorong partisipasi masyarakat.

Namun, pada taraf kesadaran (kerelaan dan kepedulian), sosialisasi semacam itu belum bisa dikatakan efektif.

   

Rasionalisasi

Fenomena besarnya angka golput sering kali diduga sebagai indikasi  meningkatnya kecerdasan masyarakat dalam melihat praktik politik saat ini.

Advertisement

Anggapan ini sebenarnya cukup berbahaya karena masyarakat akan menggunakan alibi sebagai ”masyarakat cerdas” dengan melepaskan hak pilih atau hak suara mereka begitu saja.

Padahal kita mengharapkan kecerdasan masyarakat sebagai potensi peningkatan kualitas penilaian terhadap figur yang mereka pilih. Besarnya angka golput tidak bisa disederhanakan begitu saja karena bisa jadi disebabkan oleh banyak faktor lain.

Pertama, apatisme masyarakat terhadap politik. Masyarakat tidak begitu menggelisahkan soal siapa yang kelak akan menjadi wakil rakyat dan pemimpin mereka.

Bagi masyarakat tipe ini, politik hanya permainan para elite yang tidak ada pengaruhnya sama sekali dengan diri mereka sebagai pemilik hak suara. Politik hal lain, dan kepentingan mereka adalah hal yang lainnya lagi.

Apatisme masyarakat terbangun bisa jadi disebabkan rendahnya kesadaran bernegara, kurangnya akses informasi, minimnya pengetahuan, dan bisa juga tiadanya keteladanan para elite sendiri.

Kedua, kekecewaan masyarakat terhadap para elite dan pemimpin yang telah mereka pilih. Dalam hal ini, masyarakat kecewa, marah, dan bahkan ”muak” dengan para wakil mereka (DPR) dan pejabat negara lainnya yang terbukti banyak yang melakukan korupsi, penyelewengan kekuasaan, dan kebejatan moral.

Mereka berkhianat terhadap rakyat yang dulu memilih mereka. Ketika satu dua kali dikecewakan, mungkin pada putaran selanjutnya hak suara mereka diabaikan begitu saja karena dikhawatirkan akan mengalami kekecewaan serupa.

Advertisement

Ketiga, kemudahan akses ke tempat pemungutan suara (TPS). Ini terkait soal manajemen TPS. Tingginya angka golput bisa dimungkinkan disebabkan pendirian TPS yang terlalu jauh dari tempat pemilih berdomisili.

Hal ini mengingat banyak orang yang merantau dan belum kekacauan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Meski telah diberlakukan kebijakan pemungutan suara bisa dilakukan di beberapa tempat bagi warga yang merantau dan didukung dengan sistem informasi logistik (silog) untuk memudahkan dalam mendapatkan informasi, namun pelaksanaannya tetap bergantung kepada penyelenggara pemilu.

Kemudahan akses ini bisa dikembangkan secara lebih efektif dengan menggunakan teknologi, semisal pencoblosan secara digital (e-voting).

 

Bukan Agenda Dadakan

Menekan angka golput semestinya tidak diperlakukan sebagai agenda dadakan yang bersifat seremonial setiap menjelang pemilu. Fenomena golput lebih merupakan dampat ikutan dari serangkaian pembacaan masyarakat terhadap fakta politik (political reader).

Oleh karena itu, merespons fenomena golput harus dikembalikan pada sejauh mana elite politik menjaga kepercayaan masyarakat dan memberikan karya nyata bagi masyarakat.

Advertisement

Dalam hal ini, kita mestinya semua pihak lebih mendahulukan keseimbangan antara elite politik dengan masyarakat. Para elite politik bekerja untuk mewujudkan harapan bersama, sedangkan masyarakat mendukung dan menaruh kepercayaan kepada para wakil mereka (baca: elite politik).

Dengan begitu masyarakat dengan sendirinya akan bersikap simpatik dan aktif dalam memberikan respons terhadap pelaksanaan pemilu. Di samping itu, pendidikan politik bagi masyarakat sampai saat ini pun masih sebatas retorika.

Pendidikan politik bukan soal bagaimana harus memilih, yang dalam kaitan ini sering kali dilakukan dengan cara sosialisasi menjelang pemilu, melainkan dengan membentuk program pengembangan kesadaran bernegara.

Praksisnya bisa dilakukan dalam lingkup sangat kecil, seperti desa atau kelurahan. Pengembangan kesadaran politik dalam hal pembangunan desa memungkinkan setiap individu dapat terlibat langsung dalam tema-tema pembangunan yang bersentuhan langsung dengan politik.

Dengan kesadaran semacam ini masyarakat tidak hanya menggunakan hak suara mereka, melainkan juga memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan terbaik mereka bagi pembangunan dalam konteks yang lebih luas.

 

Advertisement

1024×768

THR Sriwedari, OM. Rendysta (Karanganyar), mulai 20.00 WIB

Grand 21

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck(Grand 1) 12.00, 15.10, 18.20, 21.30

Malam Suro Di Rumah Darmo (Grand 2) 12.00, 14.10, 16.20, 18.30, 20.40

Slank Nggak Ada Matinya(Grand 3) 12.15, 14.25, 16.35, 18.45, 20.55

Kau dan Aku Cinta Indonesia (Grand 4) 12.30, 14. 40, 16.50, 19.00, 21.10

Advertisement

 

Solo Square XXI

Jack Ryan: Shadow Recruit (Studio 1) 12.15, 14.25, 16.35, 18.45, 20.55

Devil’s Due (Studio 2) 13.00, 15.00, 17.00, 19.00, 21.00

Police Story 2013 (Studio 3) 12.00, 14.15, 16.30, 18.45, 21.00

Paranormal Activity: The Marked Ones (Studio 4) 12.00, 14.00, 16.00, 18.00, 20.00

Welcome To The Punch  (Studio 5) 18.40, 20.45

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck(Studio 5) 12.30, 15.35

 

Solo Paragon XXI

Jack Ryan: Shadow Recruit (Teater 1) 12.30, 14.40, 16.50, 19.00, 21.10

Paranormal Activity: The Marked Ones (Teater 2) 13.00, 15.05, 17.10, 19.15, 21.20

The Secret Life of Walter Mitty(Teater 3) 12.15, 14.35, 16.55, 19.15, 21.35

Universal Soldier: Day of Reckoning (Teater 4) 12.30, 14.45, 17.00, 19.15, 21.30

47 Ronin (Teater 5) 18.45, 21.00

Tarzan (Teater 5) 12.45, 14.45, 16.45

Normal
0

false
false
false

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif