SOLOPOS.COM - Dwi Supriyadi soeprei@yahoo.com Esais, peminat masalah sosial dan keagamaan Santri di Bilik Literasi Solo

Dwi Supriyadi soeprei@yahoo.com Esais, peminat masalah sosial dan keagamaan Santri di Bilik Literasi Solo

Dwi Supriyadi
soeprei@yahoo.com
Esais, peminat masalah sosial
dan keagamaan
Santri di Bilik Literasi Solo

Kini titel ustaz, kiai, dan alim ulama menjadi julukan prestisius. Dengan julukan itu seseorang memiliki strata sosial yang tinggi di kalangan masyarakat. Dan, sesungguhnya pada zaman lampau pun demikian.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Mereka yang disebut ustaz, kiai, dan alim ulama memiliki hak istimewa memberikan wejangan, siraman rohani, hingga mengobati orang sakit. Tapi, kini ada kecenderungan kepercayaan masyarakat terhadap sosok religius terlampau berlebihan, hingga sering disalahgunakan oleh penyandangnya.

Kepercayaan masyarakat akhirnya ditafsirkan dengan keangkuhan dan keserakahan. Misi pengobatan dan menolong sesama menjadi jalan mengumpulkan harta dan memenuhi nafsu. Kegiatan kemanusian dan sosial yang seharusnya menjadi jalan dakwah justru menjadi sumber mata pencaharian utama.

Keahlihan menyembuhkan penyakit dijadikan dalih menentukan tarif. Pasien diharuskan membayar uang jutaan rupiah. Jika tidak punya bisa diganti dengan aset harta benda, hasil peternakan, pertanian, perkebunan.

Pasien termakan manipulasi bahasa sang ”ustaz” bahwa harta yang dikeluarkan bukanlah biaya namun mahar, infak, sedekah, biaya badal (pengganti), dan sejenisnya. Misi kemanusiaan akhirnya bergeser ke misi bisnis dan keuntungan.

Terkadang untuk meyakinkan sang pasien, ”ustaz” tidak segan-segan menunjukan ”kesaktian” dengan mentransfer penyakit ke tubuh hewan. Ia lalu mengatakan itu adalah ilmu dari Allah. Legitimasi sebagai ustaz ampuh diperkuat dengan banyaknya murid yang berguru, memiliki padepokan khusus, dan kemampuan khusus mengobati berbagai macam penyakit.

Jika masih ragu, pasien akan diberi penjalasan tentang macam-macam penyakit. Bahwa penyakit itu dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu penyakit fisik yang dapat diobati oleh dokter dan penyakit nonfisik yang berasal dari ”kiriman” orang iri dan jahat.

Penyakit nonfisik inilah yang sering dijadikan dalih bahwa  hanya merekalah yang bisa menyembuhkan. Banyak pasien yang termakan omongan sang ”ustaz” yang akhirnya berbuntut petaka.

Ada yang harus menjalani laku tirakat, melakukan amalan-amalan yang tidak wajar dan nyleneh. Jika di tengah jalan tidak sanggup, sang ”ustaz” akan menganjurkan untuk dibadalkan (diwakili) oleh para santrinya.

Tentu tidak ada yang gratis. Uang jutaan rupiah, menyembelih hewan, atau membeli ini dan itu menjadi syarat mutlak keberhasilan pengobatan yang dijalani. Jika tidak bersedia, kata-kata ancaman akan muncul.

Fenomena semacam ini semakin menguat, berbanding lurus dengan jauhnya seseorang dari pemahaman yang benar. Akhirnya, laku pengobatan dan laku perdukunan bercampur baur, menjadi satu paket yang sulit dipisahkan. Rasionalitas bergumul penuh kemesraan dengan nilai-nilai irasional.

Para ustaz yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa dan dapat mengobati berbagai macam penyakit diburu dan dicari. Mereka memiliki nilai tawar tinggi. Bahkan sebagian di antara mereka tidak sungkan berpromosi di media massa dengan iklan berharga fantastis. Puluhan juta rupiah sampai ratusan juta rupiah.

Tentu, harga promosi ini berbanding lurus dengan tarif pengobatan penyakit yang diderita siapa pun yang yakin dengan kemampuan penyembuh sang ”ustaz”. Para pasien yang tergiur dengan tawaran proses pengobatan tanpa rasa sakit dan harapan muluk lainnya, ramai-ramai mendekati.

Mereka meminta diobati dari penyakit yang tidak kunjung sembuh. Akhirnya, kisah pasien dan ”ustaz” yang konon ahli pengobatan menjadi ironis. Terkurung dalam arena perdukunan dan aroma dupa.

Di sinilah kita harus sangat berhati-hati. Orang yang secara lahiriah pintar mengaji belum tentu berkelakuan baik. Orang yang sedikit-sedikit beristigfar dan berselawat belum tentu sesuai dengan substansinya.

Orang yang senantiasi mengenakan peci, baju koko, serban, tasbih, dan atribut islami lainnya belum tentu orang yang saleh. Orang yang sudah tenar dengan julukan ustaz ampuh, dikenal masyarakat, dan sering muncul di layar kaca menyembuhkan penyakit banyak orang, belum tentu juga ia seorang tabib.

Perilaku

Manusia dengan julukan mulia itu belum tentu konstan berperilaku sebagaimana julukannya. Bisa juga–pada situasi, kondisi, dan momentum tertentu, pada hubungan sosial tertentu, pada peristiwa tertentu–ia berlaku sebagai preman, artis, politikus, saudagar, tabib, sampai dukun berserban.

Tidak seharusnya kita mudah percaya pada aksesori yang dikenakan. Orang yang melegitimasi bahwa dirinya adalah ahli pengobatan yang bisa mengobati penyakit ini dan itu, belum tentu begitu adanya.

Bisa jadi ia seorang dukun/paranormal yang mengenkan atribut islami. Jika disebut tabib, belum tentu tabib. Bisa jadi ia seorang bandit serakah yang mengobati pasien dengan niat mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya.

Tentu, model pengobatan seperti ini  jauh dari contoh ulama dan salafus shalih di masa lampau.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Memelihara Kesehatan dalam Hukum Sjara’ Islam (dr. Med. Ahmad Ramali, 1955), Nabi Muhammad SAW memberikan peringatan keras agar seorang tabib yang akan menjalankan pekerjaannya bertindak hati-hati, cermat, dan tidak sembrono.

Dia harus benar-benar menguasai ilmu pengobatan, mahir, dan memiliki tanggung jawab moral. Dalam hal pengobatan, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah berpendapat keberadaan tabib (dokter) yang ahli lebih diutamakan, dengan tidak memandang agamanya.



Ibnul Qoyyim jelas mengemukakan lebih baik berobat kepada orang yang ahli di bidang pengobatan (walau beda agama) daripada berobat kepada orang yang tidak ahli pengobatan (walau ia seorang muslim). Tentu, selama proses pengobatan yang dijalankan tidak melanggar syariat agama.

Maka, pada abad ke-13, Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad memperkenalkan istilah thibbun nabawi (pengobatan nabi) kepada masyarakat luas. Pengobatan itu baik untuk memelihara kesehatan maupun mengobatinya.

Thibbun nabawi bersumber dari wahyu kenabian dan kesempurnaan akal. Secara garis besar, Ibnul Qoyyim membagi tiga jenis thibbun nabawi, yakni pengobatan dengan menggunakan obat-obatan alami (seperti madu, minyak zaitun, habbatussauda, kurma, siwak, kam’ah, bawang, dan sebagainya).

Selain itu, pengobatan dengan menggunakan obat-obatan ilahiah (seperti wudu, bekam, ruqiah syar’iyyah, doa, zikir, muhasabah, tobat, dan pengobatan jiwa lainnya), serta pengobatan dengan menggabungkan kedua unsur tersebut (seperti dibekam ketika sakit, ruqiah untuk menghilangkan sihir, kemudian mandi dengan daun bidara (sidr), serta minum habbatussauda, madu, dan makan kurma ajwa).

Sebuah analisis yang cukup mencengangkan dari Ibnul Qoyyim pada masa itu menyatakan kesembuhan seseorang dari suatu penyakit bukan bergantung pada obatnya namun pada keyakinan si pasien. Apakah si pasien menerima dan meyakini bahwa Allah akan memberikan kesembuhan baginya atau tidak.

Jika seseorang sudah diobati berulang kali namun belum menemukan kesembuhan, Ibnul Qoyyim memberikan penjelasan bahwa hal-hal tersebut bukanlah disebabkan kekurangan pada obat, namun lebih disebabkan buruknya karakter, rusaknya tempat, dan tidak adanya penerimaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya