Soloraya
Jumat, 13 Desember 2013 - 11:47 WIB

GAGASAN : Menjaga Autentisitas Nalar Beragama

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Danang Muchtar Syafi’i be_muhtar@yahoo.com Alumnus Pondok Hj. Nuriyah Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta Peneliti di Komunitas Baca-Tulis Ideas

Danang Muchtar Syafi’i
be_muhtar@yahoo.com
Alumnus Pondok Hj. Nuriyah Shabran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Peneliti di Komunitas Baca-Tulis Ideas

Semua yang di balik selubung semesta raya bisa menjadi daya tarik. Dia, Allah SWT, tampak lebih terang di dada. Jangan remehkan muslimat yang tampaknya tak berjilbab. Siapa tahu, dia lebih setia selalu kepada Allah SWT dibanding kesetiaanmu yang temporal itu.

Advertisement

Begitulah kira-kira hati saya “bersuara” kali pertama setelah membaca esai  karya M. Dalhar di Solopos edisi Jumat, 29 November. M. Dalhar dalam esainya yang berjudul Dari Gaya Menuju Makna mengimbau perempuan berjilbab untuk tidak sekadar bergaya, tapi lebih memaknai pemakaian jilbab mereka.

Ada satu hasrat yang menurut saya berlebihan dalam imbauan terkait pemakaian jilbab itu. Untuk itu, saya merasa perlu menanggapi sekaligus bermaksud melengkapi, tentu sebatas pemahaman dan kekayaan referensi saya.

M. Dalhar terkesan berambisi menggiring muslimat supaya mengenakan jilbab dengan bentuknya yang longgar, dalam bahasa M. Dalhar adalah jilbab syar’i. Menurut saya, kehidupan ini terasa lebih dewasa dan sejuk apabila variasi jilbab kreatif diterima dan dihargai sebagai intelektual (modal) kapital era kini.

Advertisement

Pemaknaan jilbab sebenarnya sangat beragam. Berjilbab bukan hanya suatu cara berpakaian, tapi sebagai suatu simbol agama. Berjilbab bisa dikaitkan dengan suatu tataran spiritualitas tertentu. Namun, kini berjilbab juga membawa kecenderungan ke arah ideologi popularitas. Ikut mewarnai kecacatan modernitas yang akut.

Ideologi berimajinasi popularitas mampu dengan cepat mengubah derajat religiositas. Membiaknya imajinasi-imajinasi populer mudah mengaburkan batas antara imanensi dengan transendensi, melenyapkan jarak antara yang profan dengan yang sakral.

M. Quraish Shihab pernah menangkap gejala ideologi popularitas itu, tapi seolah tak mengerti mau apa dan bagaimana. Dia (mungkin) mmeilih pasrah dengan terus menggerakkan penanya. Kondisi modernitas adalah proyek yang tak pernah selesai.

M. Quraish Shihab dalam buku karyanya Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah (Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiwan Kontemporer) pernah membentangkan aneka pendapatnya mengenai hukum memakai jilbab, yang dalam pandangan dia hukum berjilbab tak sampai wajib. Banyak pihak yang mengkritik buku itu, tak sedikit pula muslimat yang merujuknya.

Advertisement

Buku-buku (bernuansa) agama adalah berkah. Menghadiahi pengetahuan agama yang melimpah. Pembaca cerdas pasti tak mudah terdikte oleh buku. Saya pun pernah mendoakan mudah-mudahan di masa mendatang M. Quraish Shihab bersedia meralat pendapatnya tentang ”fatwa” jilbab itu.

Akan tetapi, sikap menghargai nalar kritis para ulama juga perlu dilakukan sebagai ikhtiar pendewasaan. Ayah presenter Najwa Shihab itu menyatakan upaya menghidangkan dalil dan argumentasi ihwal jilbab tersebut bertujuan supaya umat (Islam) tidak saling mengafirkan dan tuduh-menuduh terkait ada muslimat yang belum mengenakan jilbab.

Pada gilirannya, eksistensi muslimat yang belum mengenakan jilbab, atau yang berjilbab kreatif dan modis, mudah-mudahan tidak langsung dipahami sebagai ”cacat” umat. Sayang sekali, di berbagai ruang publik sudah terlalu banyak perdebatan hingga konflik antara kubu hijabers berbentuk besar dengan kubu hijabers berbentuk, katakanlah, biasa-biasa saja.

Para hijabers seharusnya menggeser perdebatan itu dengan mendudukkan makna jemaah untuk kesejahteraan umat dan teguh melawan kezaliman akibat kapitalisme global.

Advertisement

Modernisasi yang diusung teknologi informasi menggiring umat beragama pada alam skizofrenia. Semacam kesadaran yang labil, dan terus berubah sesuai produksi simbol-simbol yang mengelabuhi nilai-nilai suci agama. Lantaran itu, negeri ini butuh lebih banyak muslimat kritis seperti Aisyah RA, Al-Syaikhah Syuhrah, Al-Khansa’ dan Rabi’ah Al-Adawiyah.

 

Keuntungan Kapitalistik

Masalah perkembangan jilbab modis (hanya) salah satu perkara yang terjadi tatkala budaya populer dibiarkan merusak nilai-nilai esensial dalam beragama. Budaya populer dilahirkan oleh para agen kapitalis dari relasi ekonomi-politik, yaitu kebudayaan yang dibentuk berdasarkan pola-pola produksi industri dan komoditas.

Advertisement

Nilai jilbab masa kini telah bergeser dari laku menjalankan tuntunan agama menuju ”keramaian” dan ”kebrutalan”. Musyafak, esais di Open Mind Community Semarang, pernah menyatakan semua simbol agama, salah satunya jilbab, bisa meniscayakan kegembiraaan sekaligus kemurungan dan mendorong euforia sekaligus ”kebrutalan”.

Medan simbol inilah yang dimainkan ideologi popularitas yang berselingkuh dengan kapitalisme. Motif utama penciptaan produk-produk budaya populer adalah keuntungan kapitalistik. Simbol diproduksi sesuai selera massa, lantas ditarungkan guna meraih dominasi dan iman publik.

Perayaan simbol-simbol menjebak umat beragama pada nalar konsumerisme: memanjakan hasrat dengan euforia belanja. Siapa pun boleh berargumen bahwa agama dan penafsirannya bersifat kontekstual.

Namun, sampai kapan pun dalil agama tidak akan pernah bisa dikompromikan dengan selera budaya pop yang cacat. Tak mengherankan, tapi sangat menyebalkan, perempuan berjilbab di lingkaran aparatur negara gemar korupsi.

Yasraf Amir Piliang dalam buku karyanya, Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, menerangkan bahwa ritual-ritual agama yang mulanya menjadi ajang perayaan untuk menguatkan religiositas telah bergeser menjadi selebrasi yang memperturutkan hawa nafsu belaka.

Ramalan matinya agama memang belum terbukti, bahkan jamak orang memuhalkannya. Namun, pelbagai fakta kebangkrutan agama semakin gawat. Kesetiaan manusia beragama terhadap nalurinya, hati dan perasaan jernihnya, serta mungkin terhadap pikiran bodohnya, adalah kepatuhan yang murni terhadap Penguasa dirinya.

Advertisement

Setiap karya manusia menjadi medium kesetiaan. Demikian juga sarana-sarana modernitas lain, dan saluran-saluran religiositas lain, yang menjadi pengantar kesetiaan pelbagai macam orang dalam pelbagai tugas hidup mereka. Kesetiaan berupa sikap teguh, konsisten, idealis, atau disebut autentisitas (takwa).

Agama kini telah asyik masyuk dalam skema ideologi berimajinasi populer. Ideologi ini memihaki realitas jahiliah dan bersifat semu, yakni nalar yang memuja bentuk daripada isi. Logika fetisisme mengagungkan citra daripada makna. Beruntunglah mereka yang bersedia memegang kendali keagenan kapitalistik itu, dan sengsaralah berjuta lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif