SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

kusun

Kusun Dahari
koesoen@yahoo.co.id
Guru Pendidikan Agama Islam
di Madrasah Aliah Negeri
Sukoharjo

Sosok pengemis Walang dan rekannya Sa’aran ketika ditangkap petugas Sudin Sosial Kota Jakarta Selatan dengan bawaan uang Rp25juta memunculkan penafsiran bermacam-macam.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Peristiwa ini bisa saja dijadikan inspirasi bagi orang miskin atau orang yang merasa miskin di negeri untuk melakukan hal yang serupa (=mengemis) meskipun uang Rp25 juta itu ternyata memang—menurut pengakuan mereka—bukan hasil murni mengemis selama 15 hari di Jakarta.

Namun, kesan yang tertangkap masyarakat adalah menjadi mengemis itu bisa kaya, bisa mempunyai mobil, bahkan hebatnya lagi bisa menunaikan ibadah haji, seperti Walang itu.

Bagaikan selebritas, “Haji” Walang beberapa hari lalu menghiasi media massa dengan beragam sudut pandang liputan dan wawancara. Walang sendiri mengaku justru senang karena menjadi sosok terkenal se-Indonesia.

Pemerintah terus-menerus berusaha menekan jumlah pengemis dengan berbagai cara. Pada 2009, Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur yang didukung MUI Pusat mengeluarkan fatwa haram mengemis. Para ulama, khususnya di daerah Sumenep, Madura, mulai khawatir dengan aktivitas  mengemis yang menjadi mata pencaharian sebagian besar warga itu.

MUI DKI Jakarta juga mengeluarkan fatwa haram atas segala aktivitas yang menganggu ketertiban umum seperti mengemis, berdagang dengan cara mengasongkan, mengelap mobil di jalan, atau memberi uang kepada pengemis di jalan raya karena berpotensi merugikan banyak orang dan menimbulkan kerawanan sosial.

Kemiskinan yang menjadi bagian kehidupan negeri ini dalam ruang dan rentang waktu yang panjang memastikan bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai realitas ekonomi. Artinya kemiskinan tidak sekadar gejala keterbatasan lapangan kerja, kekurangan pendapatan, minimanya pendidikan, dan rendahnya kualitas kesehatan masyarakat.

Kemiskinan ini sudah menjadi realitas sistem atau struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Kemiskinan juga menjadi suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap gampang menyerah kepada keadaan. Pengemis adalah pengemis. Fatwa MUI dan kebijakan pemerintah tentang larangan mengemis tidak berdampak meruntuhkan mental pengemis dan kemudian tidak lagi meminta-minta.

Perlu langkah mengurai penyebab utama orang mengais rezeki dengan cara  mengemis. Paling tidak ada lima hal yang menyebabkan orang menjadi pengemis. Pertama, menganggur. Orang yang menganggur tidak memiliki etos kerja (sense of work), tidak memikirkan jalan lain untuk mengisi kekosongan waktu mereka dengan hal-hal positif yang dapat memenuhi kebutuhan harian mereka.

Dampak menganggur ini yang kemudian menumbuhkan anggapan atau pemahaman bahwa mengemis merupakan jalan satu-satunya yang dapat mereka tempuh. Padahal Nabi Muhammad SAW telah mewasiatkan kepada kita untuk bekerja keras karena bekerja itu lebih baik daripada mengemis.

Kedua, serakah. Keserakahan menjadikan mengemis sebagai pekerjaan sampingan (secondary work). Ketiga, bobroknya pendidikan di lingkungan rumah tangga dan sekitarnya yang terdekat. Seseorang yang hidup dalam lingkungan rumah yang di dalamnya hidup para pengangguran dan pengemis akan tumbuh dan besar sebagai pengangguran dan pengemis.

Keempat, biaya pendidikan yang kian mahal. Mahalnya biaya bersekolah menjadi faktor penghalang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Sekolah yang berkualitas hanya bagi orang yang kaya, dan sudah diakses orang yang tidak mampu. Padahal salah satu  tolok ukur kemajuan bangsa adalah kualitas sumber daya manusia (SDM), dan kualitas SDM dibangun melalui  pendidikan.

Kelima, kerusakan moral masyarakat. Kerusakan moral masyarakat menjadi salah satu penyebab utama munculnya pengemis. Penyebab kerusakan moral sangat banyak, sementara lapangan kerja positif sangat kurang. Di sisi lain terdapat kelompok masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan dan kesenangan dengan menggunakan berbagai cara, termasuk salah satunya dengan cara mengemis.

Solusi

Umami dalam tesisnya (2005) yang disusun berbasis penelitian dengan sampel tujuh anak dari keluarga yang tinggal di perkampungan sekitar Sungai Gajah Wong, Kota Jogja,  menyatakan mengemis bukanlah sekadar persoalan mengisi perut.

Mengemis belakangan berkembang menjadi pekerjaan dengan melibatkan anak-anak. Orang tua kerap kali memanfaatkan anak-anak untuk mencari nafkah di jalanan dan memberikan hukuman atau penghargaan dengan ukuran jumlah uang yang dibawa pulang anak-anak itu ke rumah.

Gejala demikian tampak pada didi Walang yang bermimpi punya rumah bagus dan mobil, serta mampu melunasi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Harus diakui bahwa keberadaan pengemis dan pengamen adalah masalah sosial. Dan masalah pengemis adalah domain pemerintah, baik pemerintah daerah (provinsi, kabupatan, kota) maupun pemerintah pusat serta tanggung jawab kita bersama.

Pemerintah melalui Kementerian Sosial sejatinya telah melakukan  berbagai cara untuk menangani pengemis. pengemis telah diberikan bekal pendidikan dan keterampilan serta tempat tinggal di panti sosial dengan harapan mereka tidak lagi turun ke jalan untuk mengemis.

Dalam konteks fikih Islam perlu menyadarkan masyarakat dan mengembangkan zakat menuju ke zakat produktif. Penggunaan zakat untuk tujuan produktif bagi kepentingan pemberdayaan mustahik juga terjadi di jaman Rasulullah SAW. Ketika itu Rasulullah memberikan zakat kepada orang miskin dan memintanya untuk mengembangkan dan menyedekahkannya lagi.

Ada dua makna dalam riwayat Nabi Muhammad SAW terkait zakat itu.  Pertama, dalam pengelolaan zakat ada sebagian dana yang digunakan untuk mengembangkan usaha produktif bagi kepentingan mustahik. Kedua, orientasi utama pendistribusian zakat adalah untuk mengubah status seorang mustahik menjadi muzaki.

Badan Amila Zakat Basional (Baznas) termotivasi dengan riwayat Nabi SAW tersebut dengan mengimplementasikan pengelolaan zakat dalam bentuk lima program unggulan yaitu Indonesia Cerdas, Indonesia Sehat, Indonesia Makmur, Indonesia Takwa, dan Indonesia Peduli.

Program ini diharapkan dapat memunculkan entrepreneur mikro yang memiliki daya tahan dan daya saing. Dr. Yusuf al-Qardhawy dalam Fiqh Prioritas menjelaskan sudah saatnya umat Islam menjalankan skala prioritas ibadah. Kewajiban yang perlu dilakukan dengan segera harus didahulukan atas kewajiban yang bisa ditangguhkan.

Misalnya, menangguhkan ibadah haji yang kali kedua dengan mengalihkan biaya haji untuk dimanfaatkan demi kepentingan sosial. Al-Ghazali mengaggap aib bagi orang kaya yang melakukan ibadah haji berkali-kali sementara meninggalkan tetangganya yang kelaparan. Penanaman jiwa kedermawanan dan membangun semangat solidaritas adalah menjadi prioritas utama (afdlalul a’mal) bagi kaum muslim saat ini.



Faktor keteladanan pemimpin negeri ini mutlak bahkan wajib. Kasus-kasus korupsi, kolusi, nepotisme yang menjerat para pemimpin menunjukkan kebobrokan moral pejabat dan menjauhkan masyarakat dari sikap empati menuju sikap apatis.

Namun, keteladanan bukan hanya dari pemerintah atau para pejabat. Para pengusaha dan orang-orang kaya juga harus jadi teladan. Sikap mempertontonkan kemewahan, berebut kekuasaan, tidak punya rasa malu ketika bersalah,  merupakan fenomena yang menghilangkan roh kultur bangsa yang menjunjung etika bangsa yang beradab dan lemahnya iman seseorang.

Nabi SAW bersabda yang mengandung makna kurang lebih barangsiapa yang tidak peduli kepada saudara-saudaranya, terhadap persoalan-persoalan saudara-saudaranya, maka orang tersebut bukan termasuk golongan umat beliau.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya