Soloraya
Rabu, 18 Desember 2013 - 16:40 WIB

GAGASAN : Soekarno, Seni, dan Solo

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejarawan muda Kota Solo Heri Priyatmoko (JIBI/Solopos/Dok.)

Heri Priyatmoko
heripri_puspari@yahoo.co.id
Alumnus Pascasarjana Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

Ingatan, perasaan, dan kecenderungan Halim H.D. bernostalgia tergambar jelas dalam esainya berjudul Solo dan Jaringan Kebudayaan (Solopos, 12 Desember) meski dirinya menyangkal sejak kalimat pembuka.

Advertisement

Setiap orang bebas bernostalgia dengan menguliti kisah manis masa lalu yang membekas di benak dan pikiran. Dengan berpulang pada sejarahlah kadang optimisme menyembul dan membuat kepala jadi tegak menatap masa depan.

Dalam esainya yang menarik itu, networker kebudayaan dan pengelola Studio Plesungan ini meniup peliut peringatan karena elite birokrasi Pemerintah Kota (Pemkot) Solo—dan juga pemerintah secara umum—kini cenderung berpatgulipat dengan event organizer (EO) yang menurut Halim cenderung ngawur kala menggarap acara kesenian dan kebudayaan.

Halim menyajikan data historis bahwa dulu Kota Solo pernah menjadi magnet bagi seniman Indonesia dan mancanegara. Mereka datang ke Solo untuk menjajal kemahiran mereka. Kota bekas ibu kota kerajaan ini ibarat sirkuit perlombaan para seniman untuk melompat lebih tinggi.

Advertisement

Dari Solo, sarang para penekun seni tradisional jempolan, mereka akan berenang ke samudera yang lebih luas demi menggapai mimpi dan pengakuan dalam kancah seni dan budaya.

Pembahasan tambah menarik apabila periodesasinya ditarik sedikit  lebih mundur, tepatnya setelah kemerdekaan Indonesia. Pada era itulah kesenian tradisional Jawa bersumber Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran dipilih Presiden Soekarno untuk rujukan masyarakat Indonesia.

Soekarno tak memilih kesenian tradisional Jawa langgam Jogja atau langgam daerah lainnya. Soekarno melalui Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Ki Mangun Sarkoro, memberi stempel resmi bahwa karawitan Jawa menjadi elemen utama dalam program pembangunan kebudayaan nasional. Sebuah titah yang tak terbantah.

Bung Karno pada masanya bak raja Jawa yang memakai budaya Jawa untuk mendukung unjuk kekuatan si jabang bayi Indonesia di mata dunia. Realitas ini menegaskan kekuasaan Indonesia kala dipegang Soekarno bersifat Jawasentris, bukan Betawisentris, Madurasentris, atau yang lainnya.

Advertisement

Guna memelihara dan mengenalkan kesenian Jawa ala Solo kepada masyarakat luas, Soekarno setuju memanfaatkan jalur pendidikan formal yang sistematis. Menurut Rahayu Supanggah (2002), pendidikan merupakan wahana penting untuk menjaga kelangsungan hidup dari suatu jenis kesenian, khususnya seni tradisi.

Pendidikan ialah kegiatan pengalihan, penularan, penyebaran, serta peningkatan keahlian, kemampuan, keterampilan, pengetahuan, dan sikap berkesenian dari satu pihak ke pihak yang lain, generasi satu ke generasi berikutnya, yang dikerjakan oleh individu atau kelompok, lembaga formal maupun informal.

Dalam karyanya bertajuk Riwayat Hidup dan Pengabdian Ki Sindoesawarno, Suhatno dan Suhartinah memaparkan pemerintah membentuk panitia yang ditugasi menyelidiki segala kemungkinan mendirikan Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) di Solo.

Mereka yang ditugasi itu antara lain Ki Sindoesawarno, R.M. Hardjosubroto, K.R.T. Warsadiningrat, R.Ng. Goenopangrawit, dr. R. Soeharso, R.Ng. Mlayareksaka, R.Ng. Djarwopangrawit, R.Ng. Tjokrowarsito, K.R.M.T. Judodiningrat, R.Ng. Tarmowijoto, dan G.P.H. Soerio Hamidjojo.

Advertisement

Pemerintah pusat memercayakan sepenuhnya ide pendirian sekolah seni itu kepada segenap empu mumpuni di bidang itu. Pada tarikh 22 Juni 1950, berlokasi di Pendapa Soerio Hamidjayan, Baluwarti,  Pasar Kliwon, Solo, panitia mengumumkan hasil rembukan yang telah digodog matang.

Pertama, karawitan merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang berwujud seni dan berkedudukan di dalam medan seni suara di seluruh dunia. Kedua, karawitan adalah kesenian yang bersifat mutlak atau universal, yaitu keindahan di dalam karawitan sesungguhnya tinggi dan lebih luhur daripada suara berirama.

Panitia sepakat menentukan bentuk dan sifat Kokar yang akademis, tidak seperti sanggar dan padepokan. Setelah keputusan disusun dan dilengkapi rencana kerja, panitia meminta menteri agar cepat-cepat membuka Kokar di bekas wilayah swapraja itu.

Pemerintah tak perlu kerepotan mencari tenaga pengajar atau dwija. Saat itu, jantung Kokar adalah staf pengajar yang ulung mempresentasikan musik gamelan tradisional gaya Solo. Latar belakang para pendidiknya adalah abdi dalem niyaga istana.

Advertisement

Kokar (kini menjadi SMKN 8 Solo) selain menjadi sumber utama eksperimentasi dan sintesis sebagaimana misi yang diusung, juga sebagai salah satu institusi aktif yang melestarikan tradisi keraton. Hadirnya lembaga seni ini diumpamakan api unggun dalam keremangan.

Dia ditunggu kedatangannya oleh pencinta seni tradisi. Ketika dua keraton di Solo digulung sejarah, detak aktivitas kesenian tradisional melemah. Para bangsawan kerepotan mengurusi nasib dan hidup mereka yang terkoyak oleh badai revolusi.

Kerajaan bukan lagi maesenas seperti tempo doeloe. Kondisi keuangan melorot drastis, untuk menggaji abdi dalem saja kurang. Tak berselang lama setelah Kokar berdiri, kegiatan kesenian kembali gayeng dan semarak.

 

Musuh

Situasi ini kembali meneguhkan citra Kota Solo masa itu sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di lain pihak, elemen kebudayaan berupa kesenian lambat laun makin memperoleh ruang di hati masyarakat.

Advertisement

Bukti riuhnya suasana berkesenian warga Solo salah satunya dikemukakan Dr. Ernst Heins, ahli gamelan dari Belanda. Dia mengunjungi Solo pada 1966 guna mendalami ilmu tentang gamelan.

Heins diantar ke beberapa tempat yang berkaitan dengan gamelan dan musik karawitan, misalnya Kokar, Radio Republik Indonesia (RRI) Solo, pabrik piringan hitam Lokananta, dan pabrik gamelan Leppon Karyasasa.

Saat mengunjungi ”jantungnya pulau Jawa” itu ia menyatakan kekagumannya menjumpai penduduk penuh gairah dan banyak tempat orang nabuh gamelan. Panorama itu sama sekali tak pernah ia bayangkan sebelum tiba di Indonesia. Itu membuatnya berdecak kagum.

Satu realitas menarik periode ini–dan mohon dibaca dengan kepala dingin–yaitu sentimen kultural antara Solo-Jogja yang masih hangat. Cara menabuh gamelan orang Jogja dinilai sangat kuat, sehingga mengundang ejekan wong Solo bahwa cara menabuh ini layaknya pandhe (pandai besi).

Gaya nabuh gamelan wong Solo halus yang lalu dicemooh orang Jogja bahwa gaya main niyaga Solo bikin para pendengar mengantuk. Harus diakui secara sportif bahwa saling ”ejek” itu menelurkan energi positif bagi penganut kebudayaan di dua kota itu sehingga kian tekun dan bersemangat mengasah keahlian seni.

Buahnya adalah dinamika kesenian tradisional di Solo melaju dan memesona publik untuk singgah dan ngangsu kawruh. Barangkali benar ada opini bahwa hidup di jagad seni harus selalu berpikir punya ”musuh” untuk berkompetisi.

Kondisi ini menggelembungkan optimisme, melahirkan kreativitas dan gagasan brilian dalam untuk mengembangkan apa yang dimiliki agar tidak tertinggal. Bila lekas puas dengan apa yang digarap, tidak menutup kemungkinan bakal disingkirkan sang lawan di sirkuit lomba.

Ketika terjadi kemacetan regenerasi seniman dan menggelar acara seni secara asal-asalan tanpa dilandasi pemikiran maka masa depan kesenian kota pun akan suram.

Agar terpacu sekaligus berkaca sejauh mana titik kemerosotan kita sekarang, Pemkot Solo perlu melongok kenyataan sejarah bahwa Kota Solo pernah membuat jatuh hati Presiden Soekarno dan jadi kiblat kesenian secara nasional setelah kemerdekaan.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif