SOLOPOS.COM - Peternak memberi pakan rumput hijau untuk sapi miliknya di kandang komunal di Dukuh Tenggak, Desa Tenggak, Kecamatan Sidoharjo, Sragen, Kamis (19/1/2023) lalu. (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Maraknya penyakit lumpy skin disease (LSD) yang disebabkan virus berakibat pada turunnya harga sapi betina baik indukan maupun anakan di Sragen. Beda halnya dengan sapi pejantan yang harganya masih stabil.

Dari sekian jenis sapi, yang jenis brangus yang khas Sragen yang selama ini tahan terhadap penyakit terutama LSD dan penyakit mulut dan kuku (PMK).

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Belantik sapi asal Dukuh Dawung, Desa Sukorejo, Kecamatan Gondang, Sragen, Sukarjo, menyebut wilayah Gondang masih steril dari penyakit LSD. Kendati demikian, ia tetap waspada terhadap penyakit menular itu, misalnya dengan menjaga kebersihan kandang.

“Selama ini asal dapat dagangan langsung dijual. Biasanya jualnya ke Pasar Hewan Paingan Nglangon, Sragen. Bahkan sampai ke Bekonang, Sukoharjo. Tetapi harus berhati-hati karena risiko penyakit itu,” jelas Sukarjo saat dihubungi Solopos.com, Sabtu (21/1/2023).

Maraknya penyakit LSD, sambung dia, berpengaruh pada harga jual sapi, khususnya yang betina. Dia menyebut sapi indukan super hanya laku Rp12 juta-Rp12,5 juta. Padahal, biasanya bisa Rp15 juta-Rp16 juta per ekor.

Sapi anakan atau pedet betina harganya juga turun. Biasanya harga pedet betina Rp8 juta, sekarang dibeli Rp6 juta saja sudah bagus. “Kalau pejantan masih normal. Pedet jantan juga normal. Sapi dewasa jantan itu sekarang di harga Rp17 juta-Rp19 juta,” ujarnya.

Sekretaris Kelompok Peternak Sapi Sumber Subur di Dukuh Kemangi, Desa Wonorejo, Kecamatan Kedawung, Sragen, Sutarman, 54, mengungkapkan belum ada sapinya yang terkena LSD. Meski begitu, ia khawatir juga penyebaran LSD akan seperti PMK.

Sutarman pun mengiyakan bahwa harga sapi sekarang sedang anjlok. “Di saat harga turun, justru pakan ternak sapi naik, seperti komboran sapi, polar, dan sejenisnya. Para penggaduh sapi tinggal kuat-kuatan. Yang penting penanganan jangan sampai terlambat,” katanya.

Delapan ekor sapi yang dimiliki Sutarman jenisnya brangus dua ekor, metal lima ekor, dan limosin satu ekor. Dari tiga jenis sapi itu, Sutarman mengatakan jenis brangus yang sejak dulu tahan terhadap penyakit dan cuaca.

Agar tidak terserang penyakit, ia rutin menyuntikkan vitamin ke sapi-sapinya secara berkala. Ia pun segera melaporkan ke petugas bila mendapati ada sapinya yang bergejala sakit.

Sutarman berharap pencegahan penyebaran penyakit itu dilakukan secara serempak bersama peternak lain. Dia tidak ingin pengalaman pahit saat kasus PMK terulang. Saat itu harga sapi turun drastis, dari Rp15 juta menjadi Rp11 juta. Menjelang Hari Raya Kurban lalu, Sutarman harus rela menjual sapi seharga Rp28 jutanya dengan harga Rp9 juta karena wabah PMK.

Harus ada SKKH

Kepala Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan (DKP3) Sragen, Eka Rini Mumpuni Titi Lestari, menerangkan untuk mencegah penularan LSD,  ada petugas yang memantau di pasar hewan. Sapi yang terkena LSD itu bisa diketahui dari gejalanya yakni biasanya demam, ada air liur, nafsu makan turun, dan muncul benjolan.

“Lalu lintas hewan lintas daerah dipantau langsung dari Pemerintah Provinsi Jateng. Kami tidak mengeluarkan SKKH [surat keterangan kesehatan hewan]. Sapi yang boleh masuk kalau ada SKKH atau ada penanda di kuping bahwa sapi sudah divaksin,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya