Soloraya
Minggu, 29 April 2018 - 17:35 WIB

Gaung Hari Tari Dunia sampai ke Pelosok Desa Wonogiri

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<p><strong>Solopos.com, WONOGIRI</strong> — Puluhan pemuda Wonogiri Selatan lalu lalang di pintu masuk kawasan <a title="5 Bulan Tutup karena Kebanjiran, Museum Karst Wonogiri Dibuka Lagi" href="http://soloraya.solopos.com/read/20180428/495/913178/5-bulan-tutup-karena-kebanjiran-museum-karst-wonogiri-dibuka-lagi">Museum Karst</a>, Dusun Mudal, Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Sabtu (28/4/2018) siang. Mata mereka fokus mencermati tiap detail guna kesukesan menyambut Hari Tari Dunia 2018 yang berslogan Solah Raga Nggayuh Rasa.</p><p>Tepat pukul 12.00 WIB, tiga penari mulai menari. Mereka menari selama 12 jam hingga pukul 00.00 WIB. Mereka adalah Nanda Fellana, Oxananda, dan Novian Dwi Yoga.</p><p>Acara itu diinisiasi Sanggar Seni Shaka Budaya. Sebanyak 100 penari ditampilkan untuk menyambut Hari Tari Dunia yang diperingati setiap 29 April. Tari <em>Midat Midut, Kukilo, Golek Manis, Layang-Layang, Gambyong, Kelinci, Lilin, Tor-Tor, Bajidor Kahot</em>, dan masih banyak lagi, ditampilkan pukul 16.00 WIB.</p><p>Ribuan orang berbondong-bondong datang untuk menonton ketika pementasan tari dimulai. Mereka datang dalam rombongan bersama keluarga dan tampak terhibur dengan penari-penari yang mulai menggerakkan tubuh dan tangan secara perlahan mengikuti irama musik.</p><p>Kaki-kaki penonton pun secara tidak sadar ikut bergerak mengikuti irama musik yang berbunyi kencang. Penjual makanan dan minuman kebanjiran berkah berkat acara ini.</p><p>&ldquo;Menyambut Hari Tari Dunia kami ingin membuat kemeriahan, menggeliatkan masyarakat di ruang desa untuk memberikan edukasi dan hiburan. Kalau di tempat lain mungkin melibatkan penari dari berbagai daerah hingga berskala internasional, kami mencoba memaksimalkan sumber daya manusia desa, dari desa untuk desa,&rdquo; ujar salah satu anggota panitia, Faris Wibisono, yang juga pelukis wayang beber mewakili ketua panitia Siti Fatonah saat ditemui <em>Solopos.com</em> di kawasan Museum Karst, Sabtu.</p><p>Faris ingin menggeliatkan kebudayaan akar rumput seperti dahulu yakni budaya kolektif. Ketika ada kegiatan desa seperti bersih dusun, warga akan secara kolektif memberikan hasil bumi agar bisa dinikmati bersama-sama. Pada Hari Tari Dunia kali ini, warga memberikan sumbangsih berupa penari dan dokumentasi.</p><p>Ia mengatakan tujuan menampilkan <a title="Pecahkan Rekor, Pemkab Wonogiri Gelar Pentas Campursari 100 Jam" href="http://soloraya.solopos.com/read/20180424/495/912300/pecahkan-rekor-pemkab-wonogiri-gelar-pentas-campursari-100-jam">pementasan </a>&nbsp;tari di desa itu untuk membangun karakter bangsa. Desa adalah garda depan pembangunan karakter karena masih memiliki unggah-ungguh, tata krama, kesenian lokal, dan lain-lain. Hal ini lah yang melecut masyarakat desa dan sebagai pengingat bagi masyarakat luas.</p><p>&ldquo;Kami melibatkan seratus penari lokal antardusun bukan antarnegara. Kami ramu dan maksimalkan potensi anak-anak dari Pracimantoro, Eromoko, dan Wonogiri bagian selatan dan kebetulan mereka adalah anak didik sanggar Shaka Budaya di Dusun Jenar, Kecamatan Pracimantoro,&rdquo; ujar Faris Wibisono.</p><p>Menurut Faris, tidak ada rasa malu menampilkan penari-penari muda usia sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan kebanyakan masih tahap belajar. Justru hal ini memberi kelebihan dalam memperkokoh kerukunan dan kesatuan warga desa.</p><p>&ldquo;Ini sebagai langkah kecil kami, namun konkret. Kami sebagai yang pertama di Kabupaten <a title="WGM Wonogiri Jadi Lokasi Lomba Layangan Nasional" href="http://soloraya.solopos.com/read/20180425/495/911860/wgm-wonogiri-jadi-lokasi-lomba-layangan-nasional">Wonogiri</a>, saya tidak berpikir bagus dan jeleknya namun acara ini sebagai embrio, inisiator melalui lingkup terkecil,&rdquo; ujar Faris Wibisono.</p><p>Faris berharap dengan acara ini pemikiran masyarakat dapat terbuka mengenai desa, bahwa desa adalah tempat yang indah dan tempat kembali pulang. Detak kebudayaan desa kembali bergeliat menunjukkan segala kearifan lokal.</p><p>&ldquo;Generasi muda banyak yang peduli dengan kebudayaan, namun hanya sebatas peduli, saat ini kami tidak butuh memperkenalkan budaya ke mana-mana tetapi harus bergerak secara konkret. Benarkah masih ada kesenian lokal, adat tradisi atau sebatas pemanis, mari kita pertahankan identitas bangsa apa pun bentuknya,&rdquo; pesan Faris.</p><p><br /><br /></p>

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif