SOLOPOS.COM - Pementasan Ketoprak Prodi Teater ISI Solo lakon Payung Lumbung Srawung di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo, Jumat (18/8/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Pementasan Ketoprak Prodi Teater ISI Solo lakon Payung Lumbung Srawung di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo berhasil menarik perhatian puluhan penonton, Jumat (18/8/2023).

Gelaran ketoprak itu semakin dramatis dengan iringan musik kerawitan oleh Paguyuban Kusumaningrat pimpinan Agung Lungsi. Saban kali ganti babak cerita musik turut mengiringi, bahkan ketika adegan semakin menegangkan, iringan musik juga turut mempertebal.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Cerita dibuka oleh tokoh bernama Lestari yang diperankan seniman cilik Kalisa, yang menari dan menyanyikan tembang Pocung. Disusul tokoh lain yakni Wahyuni (diperankan Cempasari) memperdengarkan tembang Kinanthi Sandhung.

Maksud hati Lestari dan Wahyuni yang ingin melestarikan tradisi Jawa, namun malah ditentang pamannya, yakni Sardi yang menganggap anak-anak hari ini sudah lupa dengan tradisi. Sehingga menyanyi tembang Pocung dan Kinanthi Sandhung dianggap sia-sia.

Penulis naskah, sutradara, dan Dosen Prodi Teater ISI Solo, Achmad Dipoyono, menyebut pada dasarnya cerita yang dibuat merupakan refleksi dari permasalahan sehari-hari. Dia juga turut meresahkan anak-anak yang semakin jauh dengan kesenian tradisi.

“Tapi yang saya lihat ketika melatih seni di kampung-kampung itu, anak-anak antusias, berarti kan yang tidak ada ruangnya atau tempat mereka untuk belajar. Nah ini butuh uluran tangan supaya budaya itu bisa dirasakan betul,” kata dia ketika ditemui Solopos.com selepas pentas, Jumat (18/8/2023).

Ketoprak yang kadang kala menghadirkan satire itu turut menyoroti anak-anak yang lebih hafal lagu-lagu di TikTok ketimbang tembang dolanan Jawa. Hal itu juga disebut secara langsung dalam dialog. 

“Tadi kan ada dialog bagaimana ini mengakulturasi budaya yang datang dari Barat dengan budaya Timur [Jawa], tapi tanpa kehilangan ruh. Saya tidak menolak budaya Barat, tapi harus dikolaborasikan dengan budaya kita,” lanjut dia.

Lakon Payung Lumbung Srawung juga mengisahkan kelompok seniman yang bertikai lantaran ‘rebutan’ pekerjaan atau panggung. Hal itu berkaitan dengan panggung apresiasi yang kurang didapatkan oleh seniman-seniman muda

Penggambaran itu berangkat dari pengamatan Achmad yang melihat beberapa kelompok seniman tidak cukup memiliki panggung. Padahal menurutnya para seniman itu juga butuh ruang untuk mengekspresikan buah karyanya dan diapresiasi oleh publik.

“Ini hanya bentuk keresahan kami sebagai seniman dan saya sebagai pengajar. Ini ceritanya tentu tidak ngawur tapi berangkat dari data yang kami punya,” kata dia.

Maka para seniman itu perlu diwadahi dalam bentuk Payung Lumbung Srawung. Menurut dia, payung itu merepresentasikan sebuah pengayoman, lumbung itu sebuah tempat, dan srawung adalah silaturahmi.

“Nah ini berkaitan dengan HUT Taman Budaya. Jadi semoga ke depannya Taman Budaya bisa mengakomodasi semua tipe-tipe kesenian dan kelompok-kelompok seni,” kata dia.

Menurut dia, banyak di pinggiran kota seperti Sukoharjo dan Klaten banyak memiliki komunitas seni yang hanya tampil di desanya sendiri. Ini membuat potensi dan bakat seni yang ada di daerah pinggir tidak terakomodasi dengan baik.

“TBJT sebagai panjang tangan pemerintah provinsi harus bisa mengakomodasi kesenian-kesenian di Jawa Tengah,” kata dia.

Dosen Prodi Teater ISI Solo yang turut tampil,  Eko Wahyu mengatakan memang naskah yang dipentaskan bersama itu merupakan pengambaran dari keresahan dan masalah siniman sehari-hari.

“Saya sebagai seniman melihat sebuah karya seni itu gambaran manusia hidup. Jadi apa yang kita pentaskan itu memang situasi dan kondisi kehidupan manusia,” kata dia ketika berbincang selepas pentas di TBJT, Jumat.

Menurut Eko, sudah sewajarnya seniman ketika menelurkan karya harus membaca lingkungan sekitar. Tidak melulu berangkat dari internal dirinya sendiri, melainkan dari pengamatan yang mendalam tentang situasi kekinian.

“Dimana setelah menonton pertunjukan, penonton akan mendapat sebuah sangu [pelajaran dari sebuah pertunjukan]. Ternyata saya seperti ini salah, berikutnya harus seperti apa. Jadi ada umpan balik,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya