Soloraya
Kamis, 5 Mei 2011 - 22:40 WIB

Gebyar Desa Budaya Langenharjo, simbol kolektivitas

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - RITUAL DOA -- Rombongan Paguyuban Desa Budaya menyerukan doa berbahasa Jawa dalam ritual di pendapa Pesanggrahan Langenharjo, Grogol, Sukoharjo, Rabu (4/5) malam. (Espos/Oriza Vilosa)

Rombongan srikandi putri berbusana kebaya warna merah tampak mulai menari. Dendang lagu-lagu mereka suarakan disertai senyum kepada sejumlah pengunjung acara pembukaan Gebyar Desa Budaya di seputar Pesanggrahan Langenharjo, Grogol, Rabu (4/5) malam.

RITUAL DOA -- Rombongan Paguyuban Desa Budaya menyerukan doa berbahasa Jawa dalam ritual di pendapa Pesanggrahan Langenharjo, Grogol, Sukoharjo, Rabu (4/5) malam. (Espos/Oriza Vilosa)

Advertisement

Sembari bergerak dari pintu masuk menuju pendapa pesanggrahan, langkah mereka kian menghentak selaras dengan rancaknya iringan rampak kentongan oleh rombongan putra pada barisan belakang. Para penabuh kentongan pria berbalut kain sorjan itu masih menjadi satu kesatuan dengan para penari tadi. Mereka tergabung dalam wadah Sanggar Seni Jagad asal Kotakan, Bakalan, Polokarto.

 

Semakin mengeluarkan kesan riang, para penabuh kentongan itu juga turut menari-nari seiring irama lagu yang mereka mainkan. Kehadiran mereka pun disambut oleh tabuhan seperangkat gamelan di pendapa, terdengar kesamaan tembang antara dua jenis perangkat itu. Irama menyatu dalam sebuah lagu.

Advertisement

Musik terhenti dan tepukan penonton pun menyertai. Selanjutnya rombongan lain di depan pendapa berdiri menyusun formasi melingkar. Saat itu, suasana mendadak hening dan anggota rombongan yang mengenakan beskap putih itu menyerukan bait-bait doa dalam bahasa Jawa yang menyebut sejumlah sumber energi alam, yakni air, bumi, angin dan api. Kemudian, dipandu seorang pria berbusana serba hitam, rombongan itu kemudian berjalan mengular menuju lokasi di depan gamelan.

Masing-masing komponen yang ditunjukkan para peraga tadi tak lain sebagai simbolisasi kebersamaan manusia dan sinergisitasnya dengan alam. Salah seorang penggagas acara, Romo Hartono, menjelaskan hal itu. “Alam dan manusia sama saja. Kata-kata dalam ritual tadi merupakan upaya menggugah energi semesta agar membantu sinergisitas dengan manusia,” urainya.

Mengenai kebersamaan, dia menjelaskan pergelaran itu juga sebagai penggugah kesadaran warga atas pentingnya kolektivitas. Hartono juga mengisahkan budaya penyambutan warga desa terhadap warga yang beraktifitas di lingkungannya. Lazimnya, keramah-tamahan menjadi hal yang terdepan dalam hal itu. Namun, dia tak mendapati budaya semacam itu di wilayah perdesaan belakangan ini. “Sekarang sudah umum ada budaya curiga terhadap orang baru yang masuk ke sebuah desa,” ungkapnya.

Advertisement

Setelah atraksi tadi, panitia juga menggelar pentas wayang semalam suntuk dengan tiga dalang muda. Mereka adalah Ki Dalang Aang Wiyatmoko, Ki Dalang Rahadian Wirahatnolo dan Ki Dalang Slamet Wardono.

Oleh: Oriza Vilosa

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif