SOLOPOS.COM - Ratusan abdi dalem berkumpul saat tradisi Wilujengan Surud Dalem Sultan Agung Hanyokrokusumo ke-390 Tahun di Pagelaran Sasana Sumewa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Minggu (20/8/2023). (Solopos.com/Joseph Howi Widodo)

Solopos.com, SOLO–Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo) kembali menggelar upacara adat Wilujengan Suruddalem kaping 378 M/390 J Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, Minggu (20/8/2023).

Upacara adat itu diawali dengan membawa uborampe/sesajen dari Kori Kamandungan kompleks Keraton Solo menuju Pagelaran Keraton Solo.  Puluhan  sentana dalem membawa sesajen dengan mengenakan pakaian adat Jawa putih serta jarit.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Sejumlah orang di antaranya membawa papan berupa nama-nama Raja Keraton Solo terdahulu. Ada juga keluarga raja yang membawa payung pada barisan menuju Pagelaran Keraton Solo.

Pasukan Prajurit Keraton Solo mengiringi barisan pembawa sesajen. Sesajen diletakkan di meja lalu ratusan orang berdoa. Mereka mendapatkan uborampe serta bubur Sura.

Upacara adat dilanjutkan dengan selawatan serta penyampaikan materi dari ulama asal Yogyakarta, KH Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq. Gus Muwafiq menjelaskan materi tentang semangat perjuangan Sultan Agung.

Salah satu kerabat Keraton Solo, KP Eddy Wirabhumi, menjelaskan haul Sultan Agung berdekatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk itu, Keraton Solo mengusung tema spirit perjuangan Sultan Agung pada upacara adat ini.

“Kami meminta Gus Muwafiq memberikan tausiah dengan tema spirit perjuangan tersebut. Materinya sesuai perjuangan Sultan Agung,” paparnya.

Menurut dia, Keraton Solo melibatkan para keluarga setiap raja sebelumnya supaya para raja abadi di surga. Sementara para keluarganya mendapatkan pangestu.

Dinas Kebudayaan Jogja menjelaskan Sultan Agung adalah  raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada 1613-1645. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Sultan Agung naik tahta pada  1613 atau pada usia 20 tahun.

Sultan Agung dikenal sebagai salah satu raja yang berhasil membawa kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan pada 1627, tepatnya setelah empat belas tahun Sultan Agung memimpin kerajaan Mataram Islam.

Periode 1613 hingga 1645 wilayah kekuasaan Mataram Islam meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Kehadiran Sultan Agung sebagai penguasa tertinggi, membawa Kerajaan Mataram Islam kepada peradaban kebudayaan pada tingkat yang lebih tinggi.

Sultan Agung memiliki berbagai keahlian baik dalam bidang militer, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sultan Agung  merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran melakukan perlawanan dengan Belanda yang kala itu hadir lewat kongsi dagang Vereenigde Ooos Indische Compagnie (VOC).

Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat membahayakan kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa. Dia melakukan perlawanan kepada VOC di Batavia pada 1628 dan 1629.

Selain itu, kehadiran VOC dinilai bakal menghambat penyebaran agama Islam di Jawa yang dilakukan Sultan Agung. Sultan Agung memiliki prinsip untuk tidak pernah bersedia berkompromi dengan VOC maupun penjajah lainnya.

Namun serangan Mataram Islam terhadap VOC yang berkedudukan di Batavia mengalami kegagalan disebabkan tentara VOC membakar lumbung persediaan makanan pasukan kerajaan Mataram Islam pada saat itu.

Selain bidang politik dan militer, Sultan Agung mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan, antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Karawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas dan subur.

Sultan Agung juga meneruskan pendahulunya untuk meletakan dasar perkembangan Mataram Islam dengan memberikan pengajaran dan pendidikan kepada rakyat Mataram Islam sehingga pada masa pemerintahannya, menempatkan ulama dengan kedudukan terhormat, yaitu sebagai pejabat anggota Dewan Penasihat Tinggi Kerajaan.

Selain itu dalam struktur pemerintahan kerajaan didirikan Lembaga Mahkamah Agama Islam, dan gelar raja-raja di Mataram Islam meliputi raja Pandita. Selain menjadi penguasa, raja sebagai kepala pemerintahan dan kepala agama (Islam).

Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya grebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang saat ini dikenal sebagai garebeg Puasa dan Grebeg Maulud.

Adapun keberhasilan Sultan Agung dalam bidang kebudayaan yaitu dapat mengubah perhitungan peredaran Matahari ke perhitungan peredaran bulan, sehingga dianggap telah menuliskan tinta emas pada masa pemerintahannya.

Sultan Agung memperoleh gelar Susuhunan (Sunan) yang selama ini diberikan kepada wali berkat usaha yang dilakukan dalam memajukan agama dan kebudayaan Islam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya