SOLOPOS.COM - Kios buku bekas di pojok utara Alun-Alun Utara Keraton Solo, Selasa (10/1/2023). (Solopos/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO — Perputaran buku bekas di Solo ternyata berhenti sampai pengepul barang rongsokan. Buku-buku bekas itu dijual lagi secara satuan, salah satunya di Taman Buku dan Majalah atau orang biasa menyebutnya Pasar Buku Gladak di pojok utara Alun-alun Utara (Alut) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Tempat penjualan buku bekas itu kini tersisa 16 kios. Mayoritas pedagang sudah puluhan tahun berjualan di lokasi itu. Salah satu penjual buku, Tini, mengatakan sudah berjualan sejak tiga tahun sebelum kerusuhan 1998 pecah di Solo. 

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Buku-buku bekas miliknya sebagian didapat dari penjual barang rongsokan. Sedangkan buku baru dia dapatkan dari penerbit dan agen buku. Buku baru di kiosnya kebanyakan bertema motivasi atau self development.

Lalu untuk buku bekas temanya acak. Salah satunya buku berjudul Pengantar Ilmu Antropologi karya Koentjaraningrat yang terbit tahun 1970 yang dijual dengan harga Rp25.000.

Di antara tumpukan buku di kios buku bekas di Alut Keraton Solo itu terselip juga tumpukan majalah bekas. Angka tahun terbitnya antara tahun 2004-2014. Tini menjualnya satuan, seperti majalah Tempo yang harganya hanya Rp5.000.

“Kalau edisi khusus saya jual Rp10.000 sampai Rp.15.000,” katanya saat ditemui Solopos.com, Selasa (10/1/2023). Sedangkan penjual lain, Bambang Tri, yang merupakan Ketua Paguyuban Buku Bekas Gladak mengaku sudah berjualan di lokasi itu sejak 1997. 

Dia memulai bisnis jual beli buku bekas karena terdesak kebutuhan ekonomi ditambah keadaan krisis moneter yang melanda kala itu. “Adanya cuma itu,” katanya kepada Solopos.com.

Seperti Tini, sejak awal merintis, Bambang Tri mendapatkan buku dari penjual barang rongsokan. Waktu itu harganya belum terlalu mahal, satu kilogram buku bekas bisa didapat dengan harga Rp2.000. “Sekarang harganya naik, bisa Rp6.000 sampai Rp7.000,” ujarnya.

Buku-Buku Langka

Mayoritas buku di kiosnya di pusat buku bekas Alut Keraton Solo memang ia dapatkan dari pengepul rosok. Kemudian ia menjualnya satuan. Harga per buku yang ia tawarkan pun beragam

“Lihat kualitas bukunya, ada yang Rp15.000, ada yang Rp10.000, ada yang Rp50.000,” imbuhnya. Kualitas buku tidak hanya ditentukan kondisi fisik buku yang masih bagus. Namun juga dilihat dari kelangkaan dan ketersediaan di pasaran. 

Pusat buku bekas itu memang seperti surganya buku-buku langka. Misal buku berjudul Bumi Manusia karya sastrawan asal Blora, Pramoedya Ananta Toer atau Pram, yang diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980.

Buku Pram yang ditulis di dalam penjara itu memang menjadi langka karena pada tahun 1980-an dianggap berbahaya oleh pemerintah Orde Baru. Bumi Manusia dianggap memuat ajaran Marxisme, Sosialisme, atau Komunisme. 

Pelarangan itu didasarkan pada TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang penyebaran paham komunisme/marxisme/leninisme. Maka wajar saja jika buku Bumi Manusia khusus edisi Hasta Mitra menjadi langka dan harganya bisa menembus Rp300.000 sampai Rp500.000 di pasaran.

“Sayangnya waktu itu tahun 2010 saya masih jual murah, cuma Rp50.000,” katanya. Buku langka lain yang ada di kiosnya di pusat buku bekas Alut Keraton Solo adalah buku berjudul Dibawah Bendera Revolusi atau DBR yang ditulis oleh Soekarno.

Buku itu kali pertama terbit pada 1956. “Yang mahal cetakan pertama. Wah itu sebelum Bu Mega naik [2000-an awal] rata-rata harganya Rp10 juta itu,” katanya.

Namun sekarang khusus buku DBR Jilid I cetakan pertama hanya dihargai sekitar Rp600.000, tergantung penawaran. “Itu masih terlalu murah. Saya belum mau lepas,” katanya. 

Dia masih memiliki buku cetakan pertama yang ditulis presiden pertama Indonesia itu. Namun sayangnya hanya yang jilid I. “Jilid II itu langka. Coba cari sampai tuwek ora bakal ketemu,” ujarnya. 

Sepi Pembeli

Hal itu karena buku DBR jilid II cetakan kedua hanya dicetak sedikit, tidak sebanyak yang jilid I. “Jilid II kan dicetak saat situasi [politik] tidak terlalu menguntungkan bagi Bung Karno. Di samping itu setelah selesai [cetak] kan diberedel oleh Pak Harto. Semua yang punya itu bakal ditarik,” katanya. 

Buku itu memang senasib dengan buku karya Pram yang ditarik dari pasaran dan dianggap berbahaya. “Itu kan bahasanya bahasa kiri. Isinya kan tidak jauh dari masionalisme sama marxisme,” imbuhnya.

Meski geliat bisnis di pusat buku bekas Alut Keraton Solo masih menjanjikan, Pasar Buku Gladak semakin sepi. Dari pengamatan Solopos.com, Selasa siang sekitar pukul 13.00 WIB tak banyak pengunjung yang datang. 

Terlebih kios-kios bagian dalam, hanya ada penjual buku yang duduk-duduk sambil bercengkerama satu sama lain. Padahal suasana di sekitar kios sangat ramai dipenuhi orang yang beraktivitas di sekitar Alut, Pasar Klewer, dan Masjid Agung Solo. 

Bambang mengatakan Pasar Buku Gladak memang sehari-hari sudah sepi, sekalipun itu akhir pekan. “Ya lihat sendiri, apa ada pembeli. Udah berbulan-bulan dari dulu [selalu sepi],” katanya. 

Dia mengatakan semakin jarang pembeli datang ke kiosnya. Apalagi mendapatkan pelanggan baru. “Itu yang beli cuma orang-orang itu saja [pelanggan lama]. Dalam sebulan cuma ada satu sampai dua pembeli tok,” katanya sambil tertawa pelan.

Meski begitu, dia sudah mengusahakan berjualan secara daring. Namun hasilnya juga tidak terlalu laku. “Kalau jual online itu bukunya harus bagus. Nek buku biasa-biasa gitu enggak lalu-laku. Itu bukunya Soekarno kan langka, itu aja tidak laku di marketplace,” katanya.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya