SOLOPOS.COM - Suasana acara Nguri-Nguri Punden Mbah Anti Gelar Wayang Purba Ngebung Ngremboko di Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe, pada Sabtu-Minggu (26-27/11/2022). (Istimewa/Wakimin)

Solopos.com, SRAGEN — Tinggal di Situs Sangiran merupakan salah satu kebanggaan tersendiri bagi warga lokal di sana. Ditetapkannya Situs Sangiran sebagai warisan budaya dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) membuat sejumlah warga di sana aktif menjaga kearifan lokal dengan berbagai cara.

Salah satunya, Wakimin, 33, penggiat budaya di Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Ia bersama dua temannya menciptakan kesenian wayang purba sebagai salah satu upaya meningkatkan daya tarik Situs Sangiran.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Wayang ini bercerita tentang kehidupan di zaman purba. Selain sebagai wujud pelestarian budaya, pergelaran wayang purba juga merupakan salah satu bentuk edukasi kepada masyarakat tentang sejarah Situs Sangiran di masa lampau, terutama di Desa Ngebung.

Paling baru, kesenian wayang purba kembali digelar pada Sabtu (26/11/2022) lalu. Pentas wayang purba tersebut dikemas dalam acara Nguri-Nguri Punden Mbah Anti Gelar Wayang Purba Ngebung Ngremboko. Selain itu, ada pula pertunjukkan seni karawitan, musik akustik, dan tari pang pung asli Desa Ngebung.

Wakimin dan kawan-kawan menyuguhkan kesenian tradisi ini dalam rangka menggali potensi dengan menghadirkan kesenian lokal yang sudah mulai pudar.

“Acara kemarin alhamdulillah ramai, antusiasme masyarakat senang. Bahkan banyak juga pengunjung dari luar wilayah Sangiran, karena area yang paling sejuk dan adem di wilayah Sangiran, satu-satunya hanya di area Punde Mbah Anti Ngebung,” terang Wakimin, saat dihubungi Solopos.com, pada Kamis (12/1/2023).

Ia mengaku akan rutin mengadakan event semacam ini rutin. Terbaru, pihaknya tengah merintis Kafe Budaya yang menjadi ruang pamer kesenian, kerajinan, dan kuliner. Kafe ini menjadi salah ikhtiar untuk nguri-nguri budaya setempat.

“Dengan Kafe Budaya tersebut, bisa juga untuk memberdayakan anak muda untuk menyalurkan bakat bermain musik, serta di Kafe Budaya nanti akan membantu mempromosikan produk lokal kerajinan serta kuliner,” terang Wakimin.

Ia menguraikan saat ini para pemuda di wilayah Situs Sangiran sudah membentuk perkumpulan Kita Muda Kreatif (KMK) Budi Karsa Bum’s. Anggota perkumpulan tersebut telah memiliki usaha kuliner dan kerajinan tangan. Jadi pihaknya berupaya untuk mewadahi dengan memberikan fasilitas tempat.

Wakimin mengaku saat ini yang sudah tergabung di grup Whatsapp sebanyak 16 orang, namun ia akan mengadakan pertemuan dengan 50-an orang lain yang berada di wilayah Sangiran.

Balung Buta

Perkumpulan pemuda lain ada di Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, yang masih masuk dalam wilayah Situs Sangiran. Namanya Perkumpulan Brayat Krajan Sangiran. Anggotanya sementara ini ada lima. Perkumpulan ini didirikan untuk melesartarikan seni budaya tradisional lokal yang mulai punah.

Penggiat budaya Desa Manyarejo, Tri Handoko menguraikan pihaknya berupaya menjaga kesenian musik bambu yang bernama gambus. Nama gambus memiliki kepanjangan yakni gayenge yen diembus. Kesenian ini sempat vakum selama 32 tahun sebelum dihidupkan lagi.

Selain itu Brayat Krajan Sangiran juga mengembangkan tari Balung Buta. Tarian tersebut justru tercipta saat aktivitas masyarakat dibatasi karena pandemi Covid-19.

tarian baru Seniman Desa Manyarejo Plupuh sragen
Penampilan Tari Rempeg Balung Buta pada Hari Tari Sedunia 2022 dari Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. (istimewa/Brayat Krajan)

Terciptanya tarian ini terinspirasi dari cerita rakyat yang eksis di Desa Manyarejo sejak 1889. Cerita rakyat itu tentang Raden Bandung dan raja buta yang bernama Tegopati. Munculnya cerita rakyat ini tak lepas dari kebiasaan warga sekitar yang selalu berteriak “balung buta” setiap menemukan tulang dalam ukuran besar.

Selain itu, sebagai penyumbang penemuan fosil terbesar di Bumi Sangiran, para pemuda Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Sragen ingin mengembangkan potensi desa wisata.

Tidak hanya kesenian, fosil asal desa setempat juga salah satu faktor pendorongnya. Ketua Perkumpulan Brayat Krajan Sangiran, Heri Irawan, mengatakan di Desa Manyarejo menyumbang lebih dari separuh penemuan fosil di Sangiran, yaitu sebanyak 65% fosil-fosil ditemukan di desanya.

“Beberapa fosil yang ditemukan memang sengaja tidak diambil, seperti fosil gading gajah, kami berharap bisa menjadi daya tarik wisata di Desa Manyarejo,” tambah Heri.

Kemudian di tempat berkumpulnya pemuda desa tersebut yaitu di Rumah Joglo Mbah Tugi yang terletak di depan Klater Museum Manyarejo, terdapat fosil kepala banteng. Adanya Klaster Museum Manyarejo merupakan potensi yang besar, bagi pengembangan wisata di desa tersebut.

Fosil-fosil yang ditemukan tersebut dilaporkan kepada Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran. Namun para pemuda tersebut berpandangan pengelolaan fosil bisa dilakukan secara mandiri sebagai daya tarik wisata.

Nantinya para pemuda tersebut ingin mengembangkan potensi wisata di Rumah Joglo Mbah Tugi karena letaknya yanh strategis yaitu tepat di depan Klaster Museum Manyarejo. Kemudian juga bisa dikembangkan sektor agraris sebagai daya tarik lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya