Soloraya
Rabu, 16 Februari 2022 - 17:32 WIB

Gendong Pengantin di Gemolong Sragen Berawal dari Tradisi Keraton Solo

Wahyu Prakoso  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Rena Sri Murniwarti, 21, digendong dua pemuda dari sendang menuju ke tempat resepsi di Dukuh Brumbung RT 013/RW 003, Desa Kalangan, Kecamatan Gemolong, Sragen, Rabu (16/2/2022). (Solopos.com/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SRAGEN — Warga sejumlah dukuh di Desa Kalangan serta Desa Nganti, Kecamatan Gemolong, Sragen masih melestarikan tradisi unik yakni gendong manten alias pengantin ke sendang. Pulangnya pun pengantin itu digendong.

Tradisi ini dijalankan jika pengantin perempuan dari Desa Kalangan, tepatnya Dukuh Brumbung, Sendang, Nglebak, Sentanan, dan sebagian Dukuh Semi. Satu dukuh lain yang menjalankan tradisi ini yakni Dukuh Nglebak, Desa Nganti.

Advertisement

Tradisi unik itu dipimpin oleh seorang wanita sepuh yang bernama Tanem. Wanita yang sudah berusia 80 tahun namun masih terlihat segar itu satu-satunya orang yang “memiliki ototritas” untuk memimpin ritual. Ia disebut juga juru kethur. Otoritas yang diperoleh Tanem merupakan warisan dari juru kethur sebelumnya.

Baca Juga: Menengok Keunikan Tradisi Gendong Pengantin di Gemolong Sragen

Advertisement

Baca Juga: Menengok Keunikan Tradisi Gendong Pengantin di Gemolong Sragen

Tanem menyebut tradisi gendong manten itu warisan leluhur di sana. Ritual tersebut sebagai bentuk permohonan doa keselamatan bagi pasangan yang tengah membangun rumah tangga.

Warga setempat, Yoto Teguh Pambudi, 37, menjelaskan tradisi gendong manten tersebut bermula ketika sesepuh zaman dulu yang bernama Eyang Natar Nyawa alias Tumenggung Natar Nyawa mantu anak perempuannya. Eyang Natar Nyawa merupakan abdi dalem dari Keraton Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo.

Advertisement

Baca Juga: Tradisi Rodat Bukuran Sragen, Warisan Budaya Penuh Nuansa Mistis

Sedangkan Indra Nitis tinggal di tempat yang sekarang jadi Dusun Karangmojo, Desa Kalangan. Setelah anak-anak mereka dewasa, Wisa Kusuma besanan dengan Natar Nyawa.

“Biasanya nikah di keraton pakai tandu atau joli jempana untuk menuju ke sendang. Namun karena joli jempana enggak ada maka pakai tangan sebagai kearifan lokal yang diuri-uri sampai sekarang,” ungkap Yoto.

Advertisement

Menurut dia, prosesi ke sendang, yakni Sendang Lanang dan Sendang Wadon yang berada di Dukuh Sendang, Desa Kalangan, bukan bermaksud untuk menyembah pohon besar atau patung. Namun untuk menunjukkan kepada pengantin tentang sumber kehidupan dan filosofinya. Pasangan pengantin diajak senantiasa bersyukur kepada Tuhan dan bekal membina rumah tangga.

Baca Juga: Mati Suri 12 Tahun, Pemdes Bukuran Sragen Akan Hidupkan Lagi Rodat

“Air adalah salah satu rezeki dari Allah yang harus disyukuri. Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, tanaman pangan akan mati. Padahal, manusia tidak bisa hidup tanpa makanan yang dihasilkan dari tanaman. Itulah sebabnya pasangan pengantin itu diajarkan bagaimana bersyukur atas nikmat Ilahi,” jelasnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif