Soloraya
Sabtu, 14 Oktober 2023 - 21:00 WIB

Gertak Sambal Tambang Pasir Merapi Ilegal

Taufiq Sidik Prakoso  /  Mariyana Ricky P.d  /  Mariyana Ricky P.D  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aktivitas tambang pasir manual di Kali Woro, Kecamatan Kemalang, Klaten, Minggu (30/7/2023). (Solopos.com/Mariyana Ricky P.D.)

Solopos.com, KLATEN — Jalanan bergelombang tak rata, berlubang, dan penuh debu pasir menjadi pemandangan harian warga yang melintas di jalur evakuasi Gunung Merapi, tepatnya di Kecamatan Kemalang, Klaten.

Pada Minggu (30/7/2023), setengah dari jalan itu tengah dibeton. Pembetonan merupakan jawaban warga setelah jalan tersebut rusak bertahun-tahun. Jalur itu tak hanya menjadi jalur evakuasi, tapi juga akses ekonomi warga dan jalur wisata.

Advertisement

Jalur evakuasi itu termasuk dalam kategori jalan kelas III dengan kapasitas beban maksimal 8 ton. Namun, satu truk pembawa material galian C yang melintas di jalur tersebut bisa membawa muatan mencapai 9 ton hingga 20 ton. 

Kerusakan jalur evakuasi diperparah banyaknya jumlah truk yang melintas, yakni mencapai ratusan truk per hari.

Sayangnya, meski tengah diperbaiki dan menyisakan separuh badan jalan, pengguna yang melintas tetap harus berbagi ruang dengan hilir mudik truk pengangkut pasir yang ditambang dari lereng Gunung Merapi.

Kecamatan Kemalang merupakan salah satu daerah penambangan pasir dan batu hasil erupsi Gunung Merapi di sepanjang Kali Woro. 

Keberadaan tambang pasir itu sudah berlangsung puluhan tahun. Pada satu sisi, aktivitas itu menguntungkan warga setempat yang bermata pencarian sebagai penambang pasir tradisional. 

Di sisi lain, eksistensi penambang tradisional terus tergerus dengan keberadaan tambang ilegal menggunakan alat modern untuk mengeruk pasir Gunung Merapi.

Jalur evakuasi Gunung Merapi yang berdebu dan sebagian tampak rusak di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, Minggu (30/7/2023). Pengendara motor harus berbagi dengan truk pasir bertonase berat. (Solopos.com/Mariyana Ricky P.D.)

Maraknya tambang ilegal di Kabupaten Bersinar itu pun pernah dikeluhkan kepada Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, melalui media sosial X atau Twitter, Minggu (27/11/2022). 

Advertisement

Semula, akun twitter @amr715882 dengan nama pemilik Mr. Agus mengungkapkan keluhannya tentang tambang ilegal di Klaten.

Selain ke Gibran, akun tersebut juga mencolek akun Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo.

“Mas..sampekan ke pak @jokowi untuk menindak tambang pasir ilegal yg ada di kab.klaten, lebih dari 20 titik lokasi..tp dibiarkan,” tulis akun @amr715882.

Menyikapi hal itu, Gibran angkat bicara di akun Twitternya. Ternyata, Gibran sudah tahu informasi itu dari bupati. “Ya pak. Ini bupati juga beberapa kali mengeluh ke saya. Backingan nya ngeri,” tulis @gibran_tweet.

Cuitan Gibran itu sontak membuat geger publik, utamanya Klaten. Betapa tidak, cuitan tersebut langsung disambut oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

Di dalam video rapat koordinasi (rakor) yang diunggah melalui akun Twitter @ganjarpranowo, pihaknya sepakat membuat desk pelaporan sebagai penerimaan laporan masyarakat atas adanya tambang ilegal di wilayahnya itu.

Dari laporan itu, Ganjar mengaku tak segan menggerebek guna memberantas tambang ilegal. “Saya usul konkret saja, kita kasih nomor handphone untuk melaporkan, setelah itu kita gerebek bareng-bareng,” ungkapnya mengutip dari tayangan video tersebut, Selasa (29/11/2022).

Advertisement

Awalnya, Ganjar menanyakan kepada para anggota rapat yang terdiri dari para bupati dan wali kota se-Jawa Tengah, 

“Apakah Bapak Ibu, di mana daerahnya punya galian C, hidup Anda tertekan atau tidak? yang merasa tertekan, angkat tangan! lho ra usah wedi (lho tidak usah takut), nanti kalau tidak, saya laporkan ke KPK lho ini.”

Lalu, direspons dengan adanya angkat tangan dari anggota rapat. “Yang merasa di daerahnya ada galian C itu menyenangkan dan tidak masalah, angkat tangan!” ujar Ganjar lagi. Namun, direspons dengan tak ada satu pun orang yang berani angkat tangan. 

“Nah Anda gak berani kan?” lanjutnya. “Ini tidak bisa, mata air hilang, jalan rusak karena jalannya itu kalau nggak jalannya desa, ya jalannya kabupaten. Memang di belakang galian C itu isinya “Gali” (preman),” bebernya.

Lalu, dia pun menyinggung pernyataan Gibran yang sempat menyebut bahwa backing-an tambang ilegal itu mengerikan. 

“Maka kalau kemarin Wali Kota Solo teriak keras, ‘Wah ini ngeri back-up nya’, wah netizen kemudian berteriak, maka forum hari ini menurut saya menjadi penting,” lanjutnya.

Gertakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo

Gertakan Ganjar rupanya berbuah manis, aktivitas tambang pasir ilegal di lereng Gunung Merapi utamanya Kali Woro langsung tiarap. Ratusan truk dan penambang yang biasanya mengeruk pasir di sungai itu tak terlihat sama sekali.

Sepinya aktivitas pertambangan itu berlangsung sedikitnya dua pekan sampai satu bulan. Belakangan, gertakan itu bak sambal. Razia tambang pasir ilegal hanya berlangsung beberapa kali.

Aktivitas pertambangan kembali berlangsung. Sesekali, pelaku tambang pasir ilegal itu tiarap apabila informasi razia beredar. Artinya, razia bocor sebelum petugas datang ke Kali Woro.

Salah seorang warga Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Sukiman, bercerita kepada Solopos.com, mengenai aktivitas tambang di Kali Woro.

Advertisement

Menurut Sukiman, viralnya cuitan Gibran dan gertakan Ganjar sempat membuat aktivitas tambang pasir di Kali Woro berhenti sejenak. 

“Ya, sempat berhenti tapi jalan lagi. Saya tidak anti tambang, tapi kalau pakai alat berat, bisa disaksikan jurang di Kali Woro saat ini sudah sedalam apa, lereng-lerang Kali Woro bagaimana. Kalau penambang pasir tradisional, dampaknya tidak separah alat berat,” tuturnya, diwawancara Rabu (26/7/2023).

Sukiman menyebut pihak yang berwajib tak perlu menggertak, mereka bisa langsung merazia dengan datang langsung ke Kali Woro. 

“Langsung sidak pasti dapat. Teriak-teriak mau razia, mau sidak, baru keluar kantor, sudah terlambat (informasi bocor). Alat (berat) sudah disembunyikan. Begitu razia selesai, mereka balik lagi (menambang),” tuturnya.

Hal senada juga disampaikan warga Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Suwoto (bukan nama sebenarnya). Menurutnya, aktivitas tambang pasir di Kali Woro tak akan pernah benar-benar berhenti, meski ancaman hukum menanti.

“Kalau boleh saya bilang, ya, tidak ada takut-takutnya. Kemudian kalau ada yang bilang punya backing-an, ya, memang ada backing-nya. Aktivitas melanggar hukum seperti itu, kalau tidak ada backing ya, enggak mungkin berani. Tapi saya enggak berani sebut siapa,” kata dia kepada Solopos.com, Kamis (28/8/2023).

Suwoto menyebut hampir semua aktivitas tambang pasir di Kali Woro adalah ilegal dan tak berwawasan lingkungan. Pelaku abai dan tak memikirkan dampak dari aktivitas itu.

Advertisement

“Warga bahkan bareng-bareng memakai bertuliskan baju dekengan pusat untuk menyindir bahwa aktivitas mereka itu meski salah tapi dianggap benar karena punya dekengan,” ungkapnya.

Saat Solopos.com singgah ke Kali Woro, sejumlah penambang langsung bersikap waspada. Mereka seolah antipati dengan setiap orang asing yang datang ke lokasi. Hal itu dibenarkan oleh Suwoto.

Menurutnya, perilaku tersebut menandakan bahwa aktivitas mereka benar-benar tak berizin. “Kalau yang datang bukan orang sekitar, mata mereka langsung mengarah ke situ. Mereka penuh curiga, waspada,” tuturnya.

Ihwal razia yang selalu bocor, hal itu juga dibenarkan oleh Suwoto. Tak jarang petugas pulang dengan tangan kosong karena tak mendapati aktivitas tambang di lokasi. 

“Ya, (penambang) sudah sembunyi karena informasi razia yang bocor. Sekarang malah mereka menambang di tebing sungai, bukan tengah sungai lagi. Kalau nanti hujan atau erupsi besar, lahar dingin bisa sampai merusak lingkungan rumah warga, karena aliran sungainya diperlebar aktivitas tambang,” ungkap Suwoto.

Kekhawatiran Suwoto tersebut juga dikeluhkan oleh puluhan warga lain yang tinggal di lereng Gunung Merapi, utamanya di sekitar Kali Woro. Mereka takut saat erupsi besar terjadi seperti pada 2010, rumah mereka bisa hanyut terbawa aliran lahar dingin. 

Tebing-tebing yang semula melindungi warga telah dikepras perlahan untuk ditambang. Tebing-tebing yang semula kuat itu tentu tak akan bisa menahan laju lahar dingin yang kemudian menimbulkan erosi hingga menyeret rumah warga.

Advertisement
Aktivitas tambang pasir menggunakan alat berat di Kali Woro, Kecamatan Kemalang, Klaten, Minggu (30/7/2023). (Solopos.com/Mariyana Ricky P.D.)

Dampak lain bahkan dirasakan oleh warga yang tinggal belasan kilometer dari lokasi tambang pasir. Petani di sejumlah desa wilayah Kecamatan Jogonalan, Klaten, dibikin resah dengan pendangkalan saluran air untuk irigasi pertanian mereka. 

Selama beberapa bulan terakhir, saluran mengalami sedimentasi berupa lumpur dan bertambah tinggi dalam waktu singkat. Air dari saluran tersebut selama ini dimanfaatkan petani di sejumlah desa di antaranya Gondangan, Bakung, serta Rejoso di Kecamatan Jogonalan. Endapan lumpur terjadi di sepanjang saluran.

Endapan lumpur salah satunya terlihat di saluran yang melintasi perkampungan Dukuh Lusah, Desa Bakung. Akibat endapan lumpur itu hanya tersisa ruang sekitar 20 sentimeter dari bibir saluran untuk air mengalir. Endapan lumpur juga mulai mengalir ke persawahan petani di wilayah Gondangan.

Ketua Kelompok Tani Gemah Ripah Desa Gondangan, Ahmad Wahono, mengatakan endapan lumpur di saluran irigasi Jogonalan, Klaten, itu mulai cepat naik sejak enam bulan lalu. Dalam rentang sebulan, endapan lumpur cepat bertambah.

“Setiap tiga bulan saluran dibersihkan oleh kelompok tani. Tetapi dalam waktu sebulan endapannya cepat bertambah,” kata Wahono saat ditemui Solopos.com di area persawahan Desa Gondangan, Sabtu (19/8/2023).

Wahono menjelaskan air tetap bisa mengalir, namun air membawa lumpur hingga masuk ke persawahan. Kondisi itu berdampak pada tanaman. Pertumbuhan padi jadi lambat lantaran pori-pori tanah tertutup lumpur.

Petani menduga endapan lumpur pada saluran irigasi di Jogonalan, Klaten, tersebut berasal dari limbah pencucian pasir di dekat saluran itu.

Menolak Tambang Pasir Alat Berat di Kali Trising

Ketakutan tersebut yang salah satunya menjadi dasar penolakan tambang pasir di lereng Gunung Merapi sisi barat, tepatnya di Kali Trising Magelang. Tiga desa di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sepakat menolak tambang.

Tiga desa itu adalah Sengi, Sewukan, dan Paten yang lantas membentuk Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) sebagai lembaga koordinasi mencegah penambangan di Kali Trising.

Perwakilan dari dua perusahaan tambang sempat menemui warga dan meminta izin untuk menambang di Kali Trising sejak 2003. Berulang kali ditolak, perusahaan itu tetap melakukan berbagai pendekatan kepada warga.

Kepala Desa Sewukan Yeyen Rifai mengatakan, penolakan itu dilatarbelakangi keinginan warga menjaga sungai. Mereka khawatir penambangan akan memengaruhi suplai air bersih dan irigasi. 

Di musim kemarau, air Kali Trising masih melimpah hingga bisa didistribusikan untuk mengatasi krisis air bersih di desa-desa di Kecamatan Borobudur dan Kecamatan Salaman,

Sementera, berdasarkan informasi di aplikasi Minerba One Map Indonesia (MOMI), ada tiga perusahaan yang mengajukan izin untuk menambang material galian C di Kali Trising.

Dua perusahaan mengajukan izin eksplorasi dan satu perusahaan berencana melakukan pencadangan material. “Mereka sempat membawa surat yang klaimnya sudah mendapat izin dari pusat, padahal izin itu tidak ada kelengkapan lain seperti izin dari warga dan provinsi atau kabupaten, ya, sekadar untuk menakuti warga,” ucap Yeyen, dijumpai Solopos.com, Minggu (20/8/2023).

Pemerintah Desa Sewukan, Sengi, dan Paten memiliki Peraturan Bersama Kepala Desa Sewukan, Sengi, dan Paten Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pelestarian Sungai Trising. 

Dalam beleid pasal 4 termuat bahwa kerja sama antardesa untuk “memelihara kelestarian Kali Trising agar tetap bisa digunakan oleh masyarakat untuk menunjang pertanian dan penyediaan air bersih di ketiga desa.”

Adapun bentuk kerja sama, salah satunya, merujuk pasal 6 ayat 3, “menolak penambangan dengan alat berat atau mekanik dengan dalih normalisasi maupun eksplorasi.”

Ketakutan warga akan hilangnya sumber air akibat tambang bukan tanpa alasan. Mereka menyaksikan sendiri tambang pasir dengan alat berat merusak sungai di desa sekitar. 

Menurut Yeyen, Kali Trising adalah satu-satunya sungai yang belum tersentuh alat berat di lereng Gunung Merapi. “Keinginan kami, Kali Trising dihapus dari peta zona tambang. Permintaan ini berdasarkan kesepakatan bersama warga. Tapi sampai saat ini kami belum tahu bagaimana tindak lanjutnya,” pungkas Yeyen.

Spanduk penolakan tambang pasir di Kali Trising, Kecamatan Dukun, Magelang, MInggu (20/7/2023). (Solopos.com/Mariyana Ricky P.D.)

Razia Tambang Pasir Ilegal Kerap Bocor

Dikonfirmasi terpisah, Dirkrimsus Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Dwi Soebagio mengklaim pihaknya sudah berkali-kali menangkap pengelola tambang pasir ilegal 

Gubernur Jawa Tengah, sambungnya, telah membentuk tim terpadu yang terdiri dari Pemprov Jateng, Polda Jateng, Kejaksaan serta pihak lain untuk menindak aktivitas tambang pasir ilegal di lereng Gunung Merapi. 

“Pak gubernur telah menetapkan dan memutuskan untuk membentuk tim terpadu. Tim ini terus bekerja, berkoordinasi, dan menggelar razia rutin. Di lereng Gunung Merapi, aktivitas tambang memang banyak yang ilegal, meski tetap ada yang legal,” terangnya, dihubungi Jumat (25/8/2023).

Menurut Dwi, razia tambang ilegal kerap menemui persoalan di lapangan, mengingat tak sedikit warga sekitar yang terlibat. Razia pun kerap bocor karena mereka melihat iring-iringan polisi dari kejauhan.

“Kami kan posisinya di bawah, begitu bergerak ke atas sudah terlihat warga, mereka kemudian saling mengingatkan kalau bakal ada razia, alhasil kami tidak menangkap pelaku sesuai harapan. Kami seolah petak umpet, mereka kucing-kucingan dengan kami,” ucap Dwi.

Ia mengakui razia hanyalah salah satu langkah mencegah maupun menindak tambang ilegal. Namun, pihaknya juga berupaya lain, salah satunya dengan meminta penambang melakukan reklamasi untuk meminimalisasi dampak lingkungan.

Ihwal backing yang kerap disebut masyarakat, hingga disebut Wali Kota Solo, Dwi mengaku sudah menerima laporan tersebut. “Laporan sudah ada, kami juga melakukan penyelidikan. Kami menjamin keamanan pelapor, termasuk identitasnya. Ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi kami berusaha,” tandasnya.

Plt Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Boedya Dharmawan, mengatakan pemerintah telah membagi zonasi kawasan tambang di kawasan Gunung Merapi berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. 

Kawasan yang diperbolehkan ditambang termasuk dalam Zona L3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c ditetapkan untuk:

a. melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas sungai serta untuk mengamankan aliran sungai dan meningkatkan konservasi sumber daya air, dan

b. mengamankan kawasan sekitar sempadan sungai sebagai area limpasan banjir lahar.

Sehingga, Zona L3 adalah berupa kawasan yang berpotensi terkena aliran lahar atau banjir, serta dapat berpotensi terkena perluasan awan panas dan material panas lainnya. Zona tersebut yang berada pada sempadan:

a. Kali Apu;

b. Kali Trising;

c. Kali Senowo;

d. Mali Pabelan;

e. Kali Lamat;

f. Kali Blongkeng;

g. Kali Putih;

h. Kali Batang;

i. Kali Bebeng;

j. Kali Krasak;

k. Kali Boyong;

l. Kali Kuning;

m. Kali Opak;

n. Kali Gendol;

o. Kali Woro; dan

p. Kali Gandul.

Sungai-sungai tersebut berada di perbatasan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, yakni di Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten. Aktivitas tambang pasir hampir seluruhnya terjadi di sungai-sungai itu, baik ilegal maupun legal.

“Persoalan yang terjadi di lapangan itu kompleks, karena banyak penambang legal, dan lebih banyak lagi yang ilegal, kemudian setengah ilegal. Kami katakan setengah ilegal karena sebenarnya mereka sudah mengurus persyaratan pratik menambang, namun izin belum juga turun karena pemerintah pusat sempat mengambil alih izin pertambangan pada 2020, kemudian didelegasikan kembali ke pemerintah daerah pada 2022,” terang Boedya, kepada Solopos.com, Rabu (30/8/2023).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Mineral dan Batubara (Minerba), setelah 6 bulan diundangkan, maka kewenangan perizinan pertambangan diambil alih dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

Kemudian berdasarkan amanat Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 yang mulai efektif sejak diundangkan pada 11 April 2022 lalu, pemerintah pusat mendelegasikan izin pertambangan ke daerah (provinsi). 

“Momentum tersebut memunculkan persoalan karena sejumlah pelaku tambang telah mengurus perizinan ke pusat namun izin belum turun ketika aturan pendelegasian ke pemerintah daerah berlaku, sehingga kami kebagian ratusan berkas izin tambang yang hingga saat ini masih terus diproses,” terangnya.

Pihaknya memproses ratusan berkas itu yang disinkronkan dengan tata ruang wilayah tambang di kabupaten/kota.

“Dalam proses administrasi perizinan, tata ruangnya memang sulit. Kami tetap harus meminta gambaran dari daerah. Misalnya, mereka mau izin eksplorasi di titik A, dan Pemkab tidak memberi izin atau daerah itu merupakan larangan, sehingga dilarang, maka izin tidak keluar. Atau boleh ditambang, dengan catatan, ya, tentu kami akan sampaikan pula,” ucap Boedya.

Ihwal banyaknya tambang pasir ilegal dan sulitnya razia, ia membenarkan pernyataan Dirkrimsus Polda Jateng. Stigma bekingan itu muncul lantaran pelaku tambang baik legal maupun ilegal itu seolah tak kenal takut.

“Selain itu, informasi razia juga kerap bocor sebelum dimulai, sehingga menguatkan stigma bahwa tambang pasir di kawasan Gunung Merapi itu punya bekingan. Kami memang mendapatkan laporan mengenai siapa-siapa saja, tapi sulit sekali pembuktiannya. Bagaimana membuktikan kalau dia ini adalah bekingan, sementara tak ada bukti,” tandas dia.

Boedya menyampaikan sejak awal tahun hingga Agustus ini, pihaknya telah menggelar razia terpadu bersama petugas gabungan sebanyak tiga kali. Dari tiga kali razia tersebut, hanya satu yang berhasil menangkap tangan pelaku tambang ilegal.

“Razia itupun hanya berhasil menyita dua ekskavator dan 10 unit truk pengangkut. Anehnya, setelah razia itu berlangsung di hari itu, keesokan harinya mereka kembali menambang. Itulah yang menguatkan stigma kalau mereka punya bekingan,” ujarnya.

Indikasi bekingan tersebut tampak dari kerapnya rencana razia yang bocor, selain keberanian para pelaku tambang yang taka da takut-takutnya kembali menambang selang sehari setelah razia dilakukan.

Bekingan itu bisa saja dari kalangan aparat pemerintahan karena rapat menjelang razia dilakukan oleh mereka. Sumber Solopos.com menyebut bekingan pelaku tambang pasir illegal itu adalah pengusaha besar yang memiliki kedekatan dengan politisi kawak.

Selain razia tim gabungan, Dinas ESDM juga kerap menyambangi lokasi untuk menghentikan aktivitas tambang ilegal. Namun, untuk diproses ke arah pidana, hal itu tak bisa dilakukan karena razia tak melibatkan aparat penegak hukum.

Boedya mengatakan pemerintah memang tak bisa melarang tambang sepenuhnya mengingat material tersebut dibutuhkan untuk pembangunan konstruksi. Hanya, ia meminta pelaku tambang mengurus perizinan, mematuhi aturan yang berlaku, dan tak merusak lingkungan.

“Tambang ini juga kaitannya dengan hajat hidup orang banyak. Tapi, kalau tambangnya sampai merusak lingkungan, misalnya menyasar tebing sungai, tentu berbahaya apabila banjir lahar dingin menerjang pasca-erupsi Gunung Merapi. Dampaknya bisa merusak rumah warga. Nah, yang berhak menindak pelaku tambang yang menegur tebing sungai ini adalah balai besar wilayah sungai,” jelas Boedya.

Polresta Magelang kembali menindak tegas para pelaku penambangan pasir secara ilegal di kawasan lereng gunung Merapi, Jumat (7/4/2023) siang. (Istimewa/Polresta Magelang).

Kawasan Radius Bahaya Erupsi Gunung Merapi

Mengacu data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), ada beberapa sungai yang masuk daerah potensi bahaya. Di sisi selatan-barat daya, daerah bahaya mencakup Sungai Boyong sejauh maksimal 5 km dari puncak Merapi serta Sungai Bedog, Krasak, dan Bebeng sejauh maksimal 7 km.

Di sisi tenggara, radius bahaya meliputi Sungai Woro sejauh maksimal 3 km dan Sungai Gendol 5 km. 

Meski demikian, BPPTKG juga menyebut adanya potensi bahaya berupa lontaran material vulkanik apabila terjadi letusan eksplosif dapat menjangkau radius 3 km dari puncak.

Dinas ESDM Provinsi Jateng telah mengeluarkan surat yang meminta penghentian sementara aktivitas penambangan pasir dan batu dengan radius 7 km dari puncak Gunung Merapi.

Surat bernomor 543/2095 tertanggal 12 Maret 2023 itu ditujukan kepada para pemegang izin usaha pertambangan di sekitar lereng Gunung Merapi di Kabupaten Boyolali, Klaten, dan Magelang. 

Dalam surat itu dinyatakan, penghentian aktivitas penambangan harus dilakukan hingga situasi dinyatakan aman.

“Aturan tersebut masih berlaku hingga saat ini karena status Gunung Merapi yang belum juga turun dari Level III Siaga. Tapi, pelaku tambang ini sepertinya masih akan masuk area bahaya kalau banjir lahar dingin belum menerjang. Saat ini masih musim kemarau, mereka tetap bandel. Kalau musim penghujan dan mulai banjir lahar dingin, mereka baru merasakan dampaknya,” pungkas Boedya.

Terkait aturan dan pelanggaran tersebut, Pakar Hukum Lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo AL Sentot Sudarwanto mengatakan kewajiban usaha tambang, salah satunya tambang pasir, perizinannya harus mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

Pada Pasal 35 UU Nomor 3 Tahun 2020, usaha tambang menjadi kewenangan pusat yang perizinannya didelegasikan ke pemerintah daerah. 

Pendelegasian kewenangan perizinan itu merupakan upaya efektivitas dan efisiensi pemerintah. Izin yang harus dikantongi itu antara lain izin pendahuluan membangun (IPM) dan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB).

“Setiap usaha tambang harus memiliki izin, tapi bagaimana kalau tidak ada izin, maka illegal, kalau illegal ranahnya bukan lagi eksektiuf tapi aparat penegak hukum. Nah, yang diacu UU Nomor 3 Tahun 2020 pasal 158 tentang pelaku usaha dengan hukuman pidana maksimal 5 tahun, dan denda maksimal Rp100 miliar,” kata dia, dihubungi Jumat (7/10/2023).

Selain peraturan tersebut, ada pula Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pelaksanaan Usaha Pertambangan yang juga membahas soal perizinan. Ihwal pengawasan usaha tambang, ada tiga hal yang diawasi yakni izin, pengawasan, dan penegakan hukum. 

Untuk pengawasan, sambungnya, Menteri bisa mendelegasikan kepada pemerintah daerah yang dapat dilihat pada Pasal 140 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

“Di beleid itu ada yang bunyinya dalam hal pengawasan, Dinas ESDM dan Lingkungan Hidup mestinya pejabat pengawas pertambangan dan pejabat pengawas lingkungan daerah. Kenapa DLH terlibat di situ? Karena DLH terkait perizinan dan pengelolaan lingkungan hidup. Keduanya harus bekerja,” ungkap Sentot.

Kemudian tahap ketiga, saat pengawasan sudah dilakukan maka harus ada penegakan hukum. Penegakan hukum untuk usaha tambang yang memiliki izin kewenangannya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil).

Namun, apabila usaha tambang tak berizin maka yang bertindak adalah aparat penegak hukum. “Polisi bergerak karena itu sudah masuk Tindakan pengrusakan lingkungan,” tandasnya.

Apabila usaha tambang itu memiliki izin tapi tak melakoni reklamasi maka penegakannya ada pada PPNS, sementara usaha tambang yang tak berizin ditangani aparat penegak hukum.

“Karena terus terang terkait dengan perusakan lingkungan merupakan tindak pidana biasa atau delik biasa. Artinya apabila apparat penegak hukum mengetahui adanya Tindakan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, maka kewenangannya untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan.

Warga tampak menambang pasir manual di pertemuan Kali Trising (kanan) dan Kali Pabelan (kiri), Kecamatan Dukun, Magelang, Minggu (20/8/2023). (Solopos.com/Mariyana Ricky P.D.)

Berdasarkan Pasal 96 huruf (c) UU Minerba serta Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, reklamasi dan pascatambang merupakan kewajiban bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Pertanggungjawaban kerusakan lingkungan akibat dari penggunaan alat berat dalam kegiatan pertambangan pasir di kawasan Kendalsari menjadi kewajiban bagi pelaku usaha tambang pasir tersebut. 

Dalam kenyataannya, pelaku usaha tambang yang mempunyai Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak mematuhi ketentuan Pasal 96 huruf (c) UU Minerba serta Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 mengenai Reklamasi dan Pascatambang dan hingga kini masih terdapat kerusakan akibat penggunaan alat berat yang memperburuk kerusakan lingkungan di sekitar kawasan tersebut.

Pelaku usaha tambang sering kali meninggalkan bekas galian berlubang tanpa melakukan upaya reklamasi. Pemandangan hijau di kawasan Kemalang yang merupakan daerah resapan air saat ini semakin habis dikeruk alat-alat berat penambang.

Tingginya tingkat erosi di daerah penambangan pasir dan juga didaerah sekitarnya; adanya tebing-tebing bukit yang rawan longsor karena penambangan yang tidak memakai sistem berteras sehingga sudut lereng menjadi terjal dan mudah longsor; berkurangnya debit air permukaan/mata air; tingginya lalu lintas kendaraan di jalan desa membuat mudah rusaknya jalan; dan terjadinya polusi udara.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif