SOLOPOS.COM - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sekaligus Ketua Komisi Yudisial Indonesia periode 2016-2018, Aidul Fitriciada Azhari. (Istimewa/UMS).

Solopos.com, SUKOHARJO — Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sekaligus Ketua Komisi Yudisial Indonesia periode 2016-2018, Aidul Fitriciada Azhari menyampaikan dua kritik utama yang muncul di tengah publik terhadap penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja (Ciptaker).

Keputusan itu dinilai sebagai bentuk kebijakan otoriter pemerintah dan nihil pelibatan masyarakat dalam pembentukan Perppu.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Hal itu disampaikan menanggapi adanya putusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai menandatangani Perppu Cipta Kerja menggantikan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022). Langkah itu ditempuh karena kebutuhan mendesak sesuai dengan putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.

“Pertama, tindakan Pemerintah tersebut merupakan bentuk kebijakan otoriter dan pembangkangan terhadap konstitusi. Ke dua, penerbitan Perpu Ciptaker bertentangan dengan perintah MK untuk memperbaiki proses pembentukan UU Ciptaker berdasarkan asas partisipasi yang bermakna,” kata Prof Aidul yang juga Kaprodi Magister Ilmu Hukum UMS itu, Selasa (3/1/2023).

Menurutnya langkah drastis dilakukan Pemerintah dalam menerbitkan Perppu Ciptaker tanpa melalui prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah diatur oleh DPR.

Presiden memang memiliki hak untuk menetapkan Perppu dalam hal kegentingan yang memaksa, hal itu diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.

Namun, harus tetap berdasarkan izin dari DPR. DPR dapat menyetujui atau menolak Perpu jika berpedoman pada Putusan MK Putusan Nomor 198/PUU-VII/2009.

Dia menilai tidak terlibatnya DPR dalam pembentukan Perppu Ciptaker menjadi lubang dalam prosedur pembentukan perpu sehingga perpu hanya menjadi parameter subjektif dari pemerintah saat ini.

“Dengan adanya parameter objektif yang ditafsirkan MK dan harus menjadi pedoman bagi DPR untuk menyetujui atau menolaknya. Maka penetapan Perppu bukan lagi tindakan otoriter karena terdapat pembatasan yang ditetapkan oleh Konstitusi, lewat wakil rakyat,” kata Aidul.
Selain menjadi salah satu bentuk kebijakan otoriter, menurutnya tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia juga tidak mengindahkan asas partisipasi bermakna dalam pembentukan Perppu.

Guru Besar Ilmu Hukum UMS itu mengatakan partisipasi yang bermakna dapat dilakukan pada tahap pembahasan RUU tentang penetapan Perppu. Serta partisipasi bermakna dapat pula dilakukan pada tahap persetujuan antara DPR dan Presiden.

“Maka partisipasi yang bermakna sedikitnya pada tahap pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu Ciptaker, pembahasannya di DPR, dan persetujuan antara DPR dan Presiden mengenai UU tentang Penetapan Perppu Ciptaker. Pada tahap-tahap itulah masyarakat dapat berpartisipasi secara bermakna untuk menguji secara objektif atas penilaian subjektif Presiden tentang kegentingan yang memaksa,” jelas Aidul Fitriciada.

Sebelumnya, Solopos.com pada Selasa (3/1/2023) menuliskan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud Md menanggapi tudingan yang menyebut penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2/2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai bentuk kudeta konstitusi.

Dia menyebut banyak orang tak paham putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai MK No. 91/PUU-XVIII/2020 mengenai judicial review UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Dia menjelaskan pada 25 Juni 2021, MK memutus pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan”.

“Maksud bersyaratnya apa? Berlaku dulu, tetapi selama dua tahun diperbaiki. Diperbaiki berdasar apa? Berdasar hukum acara di mana di situ harus ada cantelan bahwa omnibus law itu masuk di dalam tata hukum kita,” ungkap Mahfud.

Pemerintah, menurut dia, telah menerbitkan UU No. 13/2022 perubahan kedua atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada 16 Juni 2022. Regulasi itu mengatur soal pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus.

“Maka kita perbaiki Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di mana di situ disebut bahwa omnibus law itu bagian dari proses pembentukan undang-undang. Nah sesudah itu diselesaikan, Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan itu sudah diubah dijadikan undang-undang dan diuji ke MK sudah sah. Lalu, Perppu dibuat berdasar itu, sedangkan materi nya [UU Ciptaker] tidak pernah dibatalkan oleh MK,” tutur Mahfud.

Dengan sudah terbitnya peraturan mengenai pembentukan undang-undang menggunakan metode omnibus maka pemerintah, kata Mahfud, tinggal menerbitkan Perppu.

“Kita perbaiki dengan Perppu, karena perbaikan dengan perppu sama derajatnya dengan perbaikan melalui undang-undang. Jadi begitu di dalam tata hukum kita,” ujar Mahfud.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya