SOLOPOS.COM - Ngadiyo, 91, (tengah memegang tongkat) berjalan perlahan di sela-sela deretan jemaah calon haji di Pendapa Sumonegaran Sragen, Selasa (25/7/2017). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Di antara para calon haji asal Sragen ada seorang tukang reparasi sepeda dan seorang pria 91 tahun.

Solopos.com, SRAGEN — Seribuan calon haji (calhaj) memadati Pendapa Sumonegaran Sragen, Selasa (25/7/2017). Mereka memenuhi pendapa itu sampai membeludak ke halaman Rumah Dinas Bupati Sragen.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Dalam situasi yang ramai tiba-tiba terdengar suara protokol yang memanggil nama Ibroni, calon haji asal Sumberlawang. Nama Ibroni itu dipanggil beberapa kali tetapi tak terlihat batang hidungnya.

Panggilan itu memang tak terdengar oleh empunya nama karena Ibroni duduk pada deretan kursi bari ketiga dari belakang. Laki-laki berumur 58 tahun itu dengan santainya mengobrol dengan calon haji lainnya.

Ia tak merasa mendapat panggilan dari protokol. Ibroni tinggal di daerah pinggir Waduk Kedung Ombo (WKO). Ia bekerja sebagai tukang reparasi sepeda onthel atau sepeda angin di rumahnya di Dukuh Barong RT 006/RW 002, Desa Pendem, Sumberlawang, Sragen.

Selain mereparasi sepeda, Ibroni memiliki pekerjaan sampingan daur ulang sepeda rongsokan, yakni membeli sepeda onthel rongsokan dan diperbaiki kemudian dijual kembali. Pada hari tertentu, Ibroni menerima pekerjaan tambahan sebagai tukang pijat terapi dengan upah seikhlasnya.

Dengan penghasilan yang pas-pasan, Ibroni berniat ke Tanah Suci bersama istrinya, Siti Rofiah, 58. Ketiga anaknya sudah berkeluarga. Ia mengumpulkan uang dari hasil kerjanya itu selama tujuh tahun.

Ia mendaftar pergi haji pada 28 Februari 2011. “Menabungnya tidak pasti, sesuai dengan hasilnya. Kadang hanya Rp10.000-Rp15.000 per hari. Kalau pas ramai ya bisa menyisihkan uang Rp50.000/hari. Semua uang itu ditabung sendiri di rumah,” ujar Roni, sapaan akrabnya, saat ditemui Solopos.com, Selasa.

Kini, Roni mendapat panggilan Ilahi untuk datang ke Tanah Suci. Ia berangkat dengan istrinya pada 2017 ini dengan Kloter 80. Ibadah haji tahun ini ternyata merupakan ibadah haji kali kedua bagi Roni tetapi baru kali pertama bagi istrinya.

Haji pertama dilakoni Roni pada 27 November 2006 dan kembali ke Tanah Air pada 3 Januari 2007. “Saat haji yang pertama, saya mengumpulkan uang selama 20 tahun. Kala itu biayanya baru Rp26,6 juta. Sekarang biayanya menjadi Rp36,7 juta per orang. Saat haji kali pertama itu, saya berdoa kepada Allah agar bisa berangkat haji lagi bersama istri. Alhamdulillah pada tahun ini bisa terlaksana berangkat bersama istri,” kata laki-laki kelahiran 6 Januari 1959 itu.

Tak jauh dari tempat duduk Roni, terlihat sosok kakek-kakek tua yang duduk di antara rombongan calon haji lainnya asal Gemolong dan Kalijambe. Kakek tua itu bernama Ngadiyo.

Keriput kulit wajah dan tangannya menunjukkan usianya yang sudah uzur. Orang tua asal Kelurahan/Kecamatan Gemolong RT 005/RW 002 Sragen itu merupakan calon haji tertua yang berangkat tahun ini.

Umurnya sudah 91 tahun. Ia memiliki 25 cucu dan sembilan buyut dari delapan anaknya. Kendati sudah usia lanjut, Ngadiyo masih kuat berjalan kaki dari Masjid Al Falah Sragen di Sragen Kulon hingga ke Gedung Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Nglorog, Sragen, yang berjarak lebih dari 5 km.

“Saya bisa naik haji itu yang membiayai anak-anak. Saya berdoa semoga diberi kesehatan lahir batin dan kekuatan untuk menyelesaikan ibadah haji. Bekal saya hanya niat dan takwa. Saya nanti berangkat bersama Kloter 32,” ujar dia saat berbincang dengan wartawan, Selasa siang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya