SOLOPOS.COM - Buruh tani memanen padi di Desa Pule, Selogiri, Wonogiri, awal Juli 2023. (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Meski harga gabah dan beras meroket, sejumlah petani di Wonogiri mengaku tetap tidak bisa mendapatkan untung banyak. Musababnya, hasil panen mereka juga tidak optimal karena hama penyakit dan kekurangan air selama masa tanam. 

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Wonogiri, Dwi Sartono, mengatakan harga gabah basah di Wonogiri saat ini lebih dari Rp6.000/kg. Harga senilai itu karena produksi gabah dan beras secara umum baik di Wonogiri maupun di daerah lain menurun.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Penurunan produksi itu diakibatkan beberapa faktor antara lain hama dan kekurangan air. “Misalnya di Klaten, banyak petani yang hasil panennya berkurang karena hama tikus. Sedangkan di Wonogiri banyak yang panennya tidak optimal karena kekurangan air. Di sini banyak pertanian padi tanah hujan. Kemaraunya terjadi lebih awal,” kata Dwi kepada Solopos.com, Selasa (5/9/2023).

Dwi menerangkan dengan kondisi itu, petani Wonogiri tetap tidak diuntungkan dengan kenaikan harga gabah. Di sisi lain, banyak pula petani yang sudah panen dan menjual gabahnya lebih dulu sebelum harga gabah melonjak.

Dia menyebut para petani di Wonogiri yang panen akhir-akhir ini, meski hasil panennya tidak optimal pun langsung menjual kepada para tengkulak. Padahal, menurutnya, harga gabah akan semakin naik setidaknya sampai Desember 2023.

Alasannya, fenomena El Nino yang terjadi sekarang ini akan menyebabkan kemarau lebih lama, sehingga produksi padi semakin berkurang. Sedangkan permintaan semakin banyak. Dengan demikian harga juga akan semakin terkerek naik.

Dia memaklumi petani di Wonogiri yang lebih memilih menjual gabah segera mungkin sebelum harga naik. Hal itu karena mereka sudah mengeluarkan biaya produksi banyak dan ingin segera balik modal atau membayar utang yang saat itu digunakan untuk modal produksi. 

“Kenyataanya memang begitu. Bahkan, sekarang petani sudah ada yang menjual padi mereka dengan sistem ijon. Padi yang belum merunduk pun sudah dijual. Ini menurut saya justru rugi,” katanya.

Banyak Petani Tak Mau Ambil Risiko

Dwi juga menyayangkan petani yang tidak memaksakan untuk menanam padi atau tanaman pangan lain saat kemarau seperti ini. Menurut dia, seharusnya saat-saat seperti ini justru momentum terbaik untuk menanam. Lahan atau sawah jangan sampai dibiarkan tidak produktif. 

“Maksud saya, ayolah tanam tanaman yang enggak harus padi. Coba dalam masa seperti ini menanam tanaman yang relatif sedikit membutuhkan air. Soalnya, dengan kenaikan harga pangan, saya meyakini harga komoditas pertanian lain juga akan turut terkerek, setidaknya sampai kemarau ini selesai,” ujar Dwi.

Salah satu petani di Nambangan, Selogiri, Sardi, menyampaikan pekan ini dia panen padi di lahan seluas 2 hektare. Hasil panen di lahan seluas itu seharusnya bisa mencapai 12 ton, tetapi kemarin hanya panen 6,7 ton.

Hasil panen yang tidak optimal itu dipengaruhi serangan hama dan penyakit. “Kena penyakit, mangsa-nya memang lagi enggak baik ini kalau cara Jawanya,” ucapnya.

Begitu panen, Sardi langsung menjual gabah basah senilai Rp6.100/kg kepada tengkulak. Dengan harga itu, dia masih bisa untung meski sedikit. Biaya produksi untuk menanam padi di sawah seluas itu bisa mencapai Rp30 juta. Sedangkan omzet dari hasil panen pada pekan ini hanya sekitar Rp40 juta. 

“Dikurangi dengan biaya tenaga panen, sewa tleser [mesin perontok padi] paling-paling bisa untung bersih sekitar Rp5 juta. Itu saya harus menunggu selama empat bulan. Jadi walaupun harga gabah lagi tinggi, sebenarnya enggak terlalu berdampak signifikan terhadap penghasilan petani,” kata Sardi.

Petani lain di Jatisrono, Maryono, mengungkapkan banyak petani di wilayahnya yang memilih membiarkan lahannya tidak digarap pada kemarau ini. Mereka tidak mau ambil risiko rugi jika tanaman kekurangan air sehingga gagal panen. 

Maryono juga mengatakan harga gabah yang saat ini melonjak pun tidak berpengaruh banyak terhadap pemasukan petani. Menurutnya, harga itu seharusnya merupakan harga normal. Hal itu mengingat biaya produksi yang tinggi. Apalagi setelah alokasi pupuk bersubsidi dikurangi banyak. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya