SOLOPOS.COM - Petani tengah memanen kopi di Semagar, Girimarto, Wonogiri. Kopi menjadi komoditas unggulan di Semagar. (Istimewa/Sularti)

Solopos.com, WONOGIRI — Kenaikan harga biji kopi yang mencetak rekor tertinggi dalam sejarah di Wonogiri membuat sejumlah pemilik kedai kopi atau coffee shop ketir-ketir. Kekhawatian itu terutama terkait ketersediaan biji kopi kualitas unggul yang diprediksi minim.

Harga tinggi cenderung membuat banyak petani kopi di Wonogiri tergiur menjual biji kopi dengan kualitas rendah. Pemilik kedai kopi Wonogirich, Yosep Bagus Adi Santoso, mengatakan harga jual biji kopi yang melambung tinggi berpotensi tinggi mengakibatkan petani kopi menjual dengan kualitas rendah.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Mereka tergoda untuk menjual kopi yang dipetik dan diproses secara asal karena biji kopi kualitas asalan (rendah) saja harganya sudah tinggi, yaitu mencapai Rp32.000/kg dari yang biasanya tidak lebih dari Rp25.000/kg.

Harga biji kopi setinggi di Wonogiri itu sudah hampir setara dengan harga kopi kualitas unggul pada keadaan normal yaitu sekitar Rp35.000/kg. Hal itu menyebabkan banyak petani tergiur menjual kopi asalan karena tidak membutuhkan waktu lama dalam untuk menunggu biji kopi matang.

Selain itu tidak memerlukan proses dalam perlakuan pascapanen. “Ini akan mengakibatkan kualitas produk mereka tidak terjaga. Di sisi lain, kami para pemilik kedai yang benar-benar ingin menjaga kualitas rasa, akhirnya menjadi kesulitan mendapatkan biji kopi yang berkualitas,” ujar Bagus saat ditemui Solopos.com di Kedai Kopi Wonogirich, Kamis (22/6/2023).

Bagus enggan menyerah untuk membeli kopi asalan Wonogiri meski harga kopi kualitas unggul sudah lebih dari Rp40.000/kg dari yang semula kurang dari Rp35.000/kg. Dia tidak ingin kualitas rasa kopi yang disajikan Wonogirich berubah menjadi lebih buruk hanya demi menekan biaya produksi dengan membeli kopi asalan.

Di sisi lain, kopi asalan tidak sehat untuk dikonsumsi. Bagus mengaku dalam sebulan rata-rata bisa menjual 100 kg kopi. Sebanyak 90% di antaranya merupakan produk kopi lokal Wonogiri. Produk kopi yang dikeluarkan Bagus memang hampir semuanya menggunakan kopi lokal Wonogiri.

“Jujur saja, dengan harga biji kopi naik segitu, saya masih bisa untung meski tidak menaikkan harga produk olahan kopi di kedai. Yang saya khawatirkan justru ketersediaan kopi kualitas unggul Wonogiri menjadi sedikit,” ujar dia.

Kedai Kopi di Wonogiri harga
Kopi Robusta di Wonogiri terpajang di rak kopi di Kedai Kopi Wonogirich, Kelurahan Wonokarto, Kecamatan/Kabuapten Wonogiri, Selasa (25/10/2022). Sebanyak 95 persen produk kopi di Wonogirich merupakan kopi Wonogiri. (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia)

Tidak hanya, menurut Bagus, ketika petani menjual kopi beramai-ramai menjual kopi asalan dengan kuantitas yang cukup banyak saat harga tinggi seperti sekarang ini, bisa saja persediaan kopi Wonogiri untuk satu tahun ke depan tidak tercukupi.

Kondisi seperti itu, kata Bagus, memang menguntungkan petani, tetapi bisa juga merugikan petani di masa mendatang ketika harga biji kopi tidak lagi melambung tinggi. Konsumen sudah terlanjur bisa menilai bahwa kualitas kopi asal Wonogiri tidak baik karena melalui proses asalan.

Tergiur Jual Kopi Asalan

“Akibatnya, ketika harga turun lagi, konsumen pasti beralih ke kopi dari dari daerah lain yang kualitasnya terjaga,” katanya. Dia menilai petani petani kopi di Wonogiri belum cukup dewasa dalam melihat situasi seperti sekarang ini.

Mereka belum memiliki kesadaran efek jangka panjang. Hal itu sebenarnya bisa dimaklumi karena para petani kopi di Wonogiri belum lama berkecimpung dalam ekosistem kopi. Di sisi lain, kelompok tani kopi juga masih pembinaan, terutama dari dinas terkait.

Salah satu petani kopi asal Puhpelem, Wonogiri, Mulyono, mengakui banyak petani yang tergiur menjual kopi asalan saat harga tinggi seperti sekarang. Para petani ingin cepat mendapatkan uang tanpa perlu memproses secara panjang hasil panen kopi.

Hal itu dipicu juga oleh permintaan kopi yang juga melonjak saat ini. Mulyono mengaku telah menjual 50 ton kopi selama sebulan terakhir hasil dari panen kopi di Nguneng, Puhpelem. Padahal biasanya kopi sebanyak itu baru bisa terjual lebih dari sebulan.

Pemilik kedai kopi Toejoe-Toejoe Wonogiri, Feri Setyo Caroko, menyampaikan kenaikan harga biji kopi itu sudah mulai terasa sejak akhir 2022. Dia menyebut pada Desember 2022 harga kopi robusta masih sekitar Rp33.000/kg. Kemudian Mei 2023 naik Rp40.000/kg dan sekarang sudah di atas Rp45.000/kg.

Dia juga mengatakan banyak petani yang menjual kopi asalan. Hal itu merusak kualitas kopi yang beredar di pasaran. Dengan kondisi seperti itu, Feri terpaksa menaikkan harga hampir semua menu berbasis kopi di kedai miliknya.

Hal itu dilakukan agar tetap laba. Feri rata-rata menaikkan harga beberapa menu sekitar Rp2.000/menu. Harga produk berbahan kopi di kedai Toejoe-Toejoe saat ini mulai Rp14.000-Rp20.000 per cup.

“Sudah tiga pekan ini harganya saya naikkan. Ini untuk mengikuti harga biji kopi yang sudah ganti harga [melambung tinggi]. Kalau enggak begitu, susah,” kata Feri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya