Soloraya
Jumat, 13 Januari 2023 - 11:52 WIB

Harga Pelat Tembaga Naik, Perajin di Tumang Boyolali Kurangi Keuntungan

Nimatul Faizah  /  Ika Yuniati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Perajin saat memproses kerajinan logam Tumang Gunungsari, Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Selasa (10/1/2023). Penamaan nama Tumang berasal dari tempat pembakaran mayat, patumangan, dan hantu kemamang. (Solopos.com/Ni’matul Faizah).

Solopos.com, BOYOLALI – Imbas naiknya harga bahan dasar pembuatan kerajinan logam di Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali atau perajin Tumang membuat para perajin berlomba-lomba menyunat keuntungan agar mendapatkan pelanggan.

Salah satu pengrajin logam asal Dukuh Tumang Gunungsari, Mashuri, 38, mengungkapkan harga bahan baku berupa pelat logam telah naik berkisar 30 – 40 persen per lembarnya.

Advertisement

“Untuk yang tembaga dari Cina ukuran 0,8 milimeter harganya Rp2,55 juta per lembar. Ukurannya sama, dua meter kali satu meter. Kemudian yang dari Eropa lebih mahal lagi, ukuran o,8 milimeter jadi Rp2,8 juta. Kalau dulu sebelum pandemi ya dikurangi 40 persen dari itu,” jelasnya saat dihubungi Solopos.com, Kamis (12/1/2023).

Ia mengungkapkan kenaikan harga pelat tembaga tersebut berlangsung pelan-pelan dimulai setelah pandemi melanda.

Dengan kenaikan harga bahan baku yang tidak sedikit, Mashuri dan perajin logam lainnya di Tumang memutar otak agar tetap laku.

Advertisement

Tak hanya itu, Mashuri juga berpikir agar bisa memberikan gaji untuk perajin lain yang bekerja sama membuat kerajinan.

Lelaki yang memiliki usaha pembuatan kubah, replika pintu masjid Nabawi, dan aksesoris masjid lainnya ini mengaku sebelum pandemi ia bisa menggarap lima pesanan dalam sebulan. Kemudian sewaktu pandemi, mendapat satu pesanan pun sudah bagus.

Selanjutnya, di era kebijakan melawan pandemi telah melonggar, pesanananya kembali lima dalam sebulan. Akan tetapi, kini ia dihadapkan dengan tingginya harga bahan baku, sehingga harga kerajinan pun naik.

“Yang jelas, kalau harganya tinggi itu konsumen bisa lari. Semenjak era online ini bisa kebalikan, dulu gitu bisa keuntungan tinggi. Sekarang itu bisa dibilang berlomba-lomba menurunkan keuntungan supaya dapat pesanan,” jelasnya.

Advertisement

Walaupun menyunat keuntungan, Mashuri menjamin tak ada kualitas yang diturunkan. Ia mengatakan para perajin berlomba-lomba untuk mencari teknik pengerjaan kerajinan yang efektif dan efisien agar menghemat biaya produksi dan mendapatkan keuntungan.

“Misal perajin sana bisa membuat produk yang sama dengan budget sekian, katakanlah lebih murah, masa kami di sini enggak bisa? Ya harus bisa dong,” ujar dia.

Era Pandemi

Mashuri menceritakan semasa virus Covid-19 melanda dan kondisi ekonomi masyarakat tidak stabil, orderannya pun turun drastis.

Advertisement

Akan tetapi, ia tak bisa meminta 20-an karyawan perajinnya yang juga tetangganya untuk libur sementara. Sehingga, ia pun memiliki ide untuk menjual rongsokan atau sampah tembaga dan kuningan sisa kerajinan.

Sisa-sisa tembaga dan logam tersebut dijual sebagai rosokan dan dijual ke pabrik untuk dilebur kembali. Ia menceritakan laku Rp75 juta dan uang tersebut untuk tambahan gaji karyawannya.

“Semasa pandemi itu kami kan tetap menyelesaikan pesanan yang dibuat jauh sebelumnya, harga bahan sudah naik, biarlah. Yang penting kami tetap profesional, yang penting tetap bisa jalan, karyawan juga tetap dapat gaji,” ujar dia.

Ia berharap kondisi benar-benar pulih, dan harga baku kembali normal sehingga ia tak harus mengencangkan ikat pinggang dalam mencari untung.

Advertisement

Sebelumnya, salah satu pemasok pelat logam di Tumang, Fathul Mahally, 41, mengungkapkan harga pelat tembaga naik sekitar 50 persen dibandingkan sebelum pandemi. Untuk pelat tembaga import dari Cina dengan ketebalan 0,6 milimeter (mm) dengan ukuran panjang dua meter dan lebar satu meter pada Selasa (10/1/2023) ini dihargai Rp1,85 juta per lembarnya.

Ia mengungkapkan harga tembaga ketebalan 0,6 milimeter pada awal 2020 masih seharga Rp1,25 juta.

“Kenaikannya sekitar 50 persen lah. Selain itu, ada tembaga Cina ketebalan 0,7 mm dipatok harga Rp2,25 juta per lembar, dulu Rp1,6 juta. Terus yang tembaga Eropa ketebalan 0,5 sekarang Rp1,75 juta, dulu Rp1,2 juta,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com di tokonya, Selasa (10/1/2023).

Selanjutnya, Fathul mengungkapkan patokan harga tembaga berasal dari bursa London Metal Exchange (LME) di Inggris. Semenjak pandemi, ungkap dia, harga cenderung naik.

Ia mengungkapkan kenaikan angka LME dipengaruhi beberapa hal seperti faktor sosial, ekonomi, dan keamanan. Fathul menyebut, salah satu yang mempengaruhi tingginya harga logam adalah perang Rusia – Ukraina.

Fathul menceritakan semasa pandemi ia bisa menjual pelat logam senilai Rp100 juta per bulan. Jika dirata-rata harga pelat logam Rp1,25 juta, ia bisa menjual sekitar 80 pelat logam. Kemudian seusai pandemi mereda ini, ia hanya bisa menjual pelat logam senilai Rp50 juta per bulan dengan harga rata-rata pelat Rp1,85 juta atau sekitar 27 pelat logam.

Advertisement

“Waktu zaman pandemi dulu, sebulan jual sepuluh saja sudah bagus,” ujarnya.

Turunnya pembelian pelat dari perajin logam Tumang, sebutnya, karena memang harganya yang tinggi. Sehingga pemesan kerajinan logam akan berpikir dua kali ketika akan membeli.

“Kalau zaman sekaran gini masih bertahan. Dibandingkan pandemi memang penjualan lebih bagus, tapi dibanding sebelum pandemi, jauh. Kalau jualan seperti ini kan enggak setiap hari laku karena pemakai terbatas, beda sama kebutuhan pokok,” ungkapnya.

Tak hanya itu, ia menilai masyarakat yang akan membeli kerajinan tembaga dan kuningan mencoba mengerem. Di tengah situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, jelas Fathul, masyarakat tentu lebih memilih memenuhi kebutuhan pokoknya.

“Waktu pandemi kami hanya bisa mengencangkan ikat pinggang, istilahnya pengeluaran agak ditekan karena ketika perajin enggak ada kerjaan kan imbasnya ke kami, jadi enggak laku,” ujar dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif