SOLOPOS.COM - Ilustrasi kehidupan di desa yang belum lepas dari jerat kemiskinan. (kemendesa.go.id)

Solopos.com, WONOGIRI — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri sudah memverifikasi dan memvalidasi data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dari pemerintah pusat yang sebelumnya dinilai tidak valid.

Hasil verifikasi itu menjadi basis data Pemkab dalam melakukan intervensi program yang sudah mulai berjalan dengan mengandalkan sumber anggaran dari pemerintah dan corporate social responsibility (CSR). Tujuannya agar tidak ada lagi kemiskinan ekstrem di Kota Sukses.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Seperti diinformasikan, berdasarkan data P3KE yang diterima Pemkab dari Pemerintah Provinsi Jateng, ada 71 desa yang memiliki warga kategori miskin ekstrem. Sebanyak 71 desa itu tersebar 23 kecamatan.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Wonogiri, Heru Utomo, mengatakan berdasarkan data P3KE, persentase penduduk miskin ekstrem di Wonogiri sebesar 1,69%. 

Sebagai informasi, data P3KE adalah kumpulan informasi dan data keluarga serta individu anggota keluarga hasil pemutakhiran Pendataan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (PK-BKKBN) pada 2021. 

Heru menyampaikan data P3KE itu sempat tidak sinkron dengan kondisi rill di lapangan. Pemkab Wonogiri kemudian melakukan verifikasi dan validasi (verval) data tersebut di 71 desa yang masuk kategori miskin ekstrem berdasarkan data itu pada 2023 ini.

Ada delapan indikator data yang dilakukan verval. Indikator yang menjadi dasar verifikasi data kemiskinan ekstrem di Wonogiri antara lain rumah tidak layak huni (RTLH), anak tidak sekolah, dan dan tidak memiliki listrik.

“Kami sudah lakukan verval data P3KE. Hasil verval itu ada perubahan dari data awal P3KE. Data hasil verval itu yang kami gunakan sebagai dasar intervensi penghapusan kemiskinan ekstrem di 71 desa di Wonogiri,” kata Heru kepada Solopos.com, Jumat (28/7/2023).

Jumlah Anak Tidak Sekolah Berkurang

Dia mencontohkan perubahan data kemiskinan ekstrem di Wonogiri pada P3KE itu antara lain jumlah RTLH yang semula berjumlah 38 rumah bertambah menjadi 516 rumah berdasar data per 14 Juli 2023. Di sisi lain, anak tidak sekolah yang semula tercatat berjumlah 6.289 anak berkurang menjadi 1.294 anak.

Sedangkan rumah belum memiliki jaringan listrik mandiri yang semula hanya enam rumah, setelah diverval menjadi 927 rumah di 71 desa tersebut. Heru menjelaskan indikator-Indikator kemiskinan ekstrem itu bakal diintervensi mulai 2023-2024.

Pada 2023 ini Pemkab sudah menentukan berapa jumlah sasaran yang akan diintervensi pada masing-masing indikator. Sumber pendanaan dari intervensi kemiskinan ekstrem itu berasal dari APBN, APBD, APB Desa, dan corporate social responsibility (CSR).

Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, menyampaikan basis data P3KE itu sangat tidak akurat dengan kondisi di lapangan karena data itu diambil pada 2021. Dia menilai selama dua tahun terakhir pasti ada perubahan data kemiskinan ekstrem di Wonogiri.

Di sisi lain, ada indikator penghitungan kemiskinan ekstrem yang menurutnya tidak tepat, salah satunya penghitungan garis bawah kemiskinan ekstrem yang  senilai USD1,9 Purchasing Power Parity (PPP) atau setara Rp10.739/orang/bulan. 

Dia menganggap pendapatan per kapita senilai itu tidak bisa dijadikan ukuran kemiskinan ekstrem. Apalagi mereka yang sudah lansia juga turut dihitung dalam perhitungan miskin ekstrem.

“Kalau sudah lansia, sudah tidak bekerja, mana mungkin dia punya pendapatan. Ini tidak fair,” kata Joko Sutopo kepada Solopos.com di ruang kerjanya, Kamis (27/7/2023).

Sementara itu, dilansir laman resmi p3ke.kemenkopmk.go.id, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada di bawah garis kemiskinan ekstrem setara dengan USD1.9 PPP. 

Pengeluaran Individu Jadi Dasar Penentuan Kemiskinan

Dengan kata lain, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp10.739/orang/hari atau Rp322.170/orang/bulan (BPS,2021). Sehingga misalnya dalam satu keluarga terdiri dari atas empat orang (ayah, ibu, dan dua anak), memiliki kemampuan untuk memenuhi pengeluarannya setara atau di bawah Rp1,288 juta per keluarga per bulan. 

Berdasarkan definisi itu, berarti penghitungan individu miskin ekstrem bukan berdasarkan pendapatan individu, melainkan pengeluaran individu untuk memenuhi dasar. 

“Ya kan kalau mau tahu pengeluaran, harus tahu dulu pendapatannya. Tidak mungkin ada pengeluaran tanpa pendapatan. Tetapi bagaimanapun intervensi penghapusan kemiskinan ekstrem itu tetap berjalan,” imbuh pria yang akrab disapa Jekek.

Terpisah, Kepala BPS Wonogiri, Rahmat Iswanto, menyampaikan pengeluaran dijadikan sebagai acuan pengukuran garis kemiskinan ekstrem karena berdasarkan penelitian  hal itu dinilai lebih mendekati valid dibandingkan jika menggunakan pemasukan atau income.

Responden survei lebih jujur mengungkapkan pengeluaran daripada pemasukan. “Pengeluaran itu representasi dari pendapatan,” ucap dia.

Kepala Desa Semagar, Girimarto, Tiyo, menyebut desanya masuk dalam ketegori miskin ekstrem. Dia mengakui masih ada beberapa RTLH di Desa Semagar. Selain itu sejumlah keluarga belum memiliki jamban di rumah.

Penduduk yang masuk dalam miskin ekstrem bekerja sebagai petani. Ditambah lagi dalam keluarga itu ada anggota yang mengalami sakit menahun. 

“Data kemiskinan ekstrem itu memang kami yang mendata pada 2021. Desa sendiri yang mendata, kami tidak menambah atau mengurangi data yang ada. Kami sesuaikan dengan apa yang ada di desa,” kata Tiyo.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya