SOLOPOS.COM - Buruh tani memanen hasil tanam padi Rajalele Srinuk di lahan pertanian Desa Glagahwangi, Kecamatan Polanharjo yang mulai dilakukan dengan konversi organik, Minggu (19/2/2023). (Solopos.com/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN — Sejumlah petani dari Kelompok Tani Gemah Ripah 3 Desa Glagahwangi, Kecamatan Polanharjo melakukan panen perdana padi Rajalele Srinuk konversi organik, Minggu (19/2/2023). Uji coba yang dilakukan pada lahan seluas 3 hektare (ha) itu disebut-sebut bisa menghemat pengeluaran biaya produksi pertanian.

Uji coba itu dilakukan petani didampingi mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Sebelas Maret (UNS) bersama CV Kans Indonesia. Uji coba dilakukan pada lahan petani dari kelompok tani tersebut yang kemudian membentuk kelompok padi organik.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Ketua Kelompok Tani Gemah Ripah 3 Glagahwangi, Jumadi, mengatakan uji coba dilakukan dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia dan memperbanyak penggunaan pupuk organik. Varietas padi yang ditanam yakni padi Rajalele Srinuk, varietas padi unggulan Klaten.

Jumadi menjelaskan pengurangan dilakukan pada penggunaan pupuk kimia jenis urea hingga 50 persen dari dosis biasanya. Jika dalam sepatok sawah atau sekitar 2.000 meter persegi biasanya menggunakan urea minimal 150 kg untuk satu musim tanam, selama proses uji coba hanya menggunakan 75 kg.

Pada pemupukan dasar menggunakan pupuk organik padat. Sementara, pemupukan selanjutnya menggunakan pupuk organik cair yang disemprotkan sekali dalam sepekan. Para petani membikin sendiri pupuk organik cair didampingi mahasiswa.

“Alhamdulillah, jika dibandingkan dengan pupuk kimia murni [full pupuk kimia] tidak kalah. Pada panen ini satu patok mendapatkan 1.250 kg [gabah kering panen]. Hasilnya sebesar itu karena ini musim penghujan. Kalau kemarau bisa sampai 1.500 kg hingga 1.700 kg,” kata Jumadi saat ditemui seusai panen perdana, Minggu.

Dengan konversi ke organik itu, Jumadi menjelaskan biaya produksi bisa ditekan, terutama pada pembelian pupuk kimia. Jika pemupukan full menggunakan jenis pupuk kimia, biaya produksi bisa mencapai Rp3 juta.

“Sementara pada tanam ini biaya produksinya berkisar Rp2,2 juta per patok. Tetapi ini harus mengeluarkan tenaga karena sekali dalam sepekan harus menyemprot,” kata dia.

Salah satu petani, Wardono, 68, mengatakan uji coba itu dilakukan menindaklanjuti keluhan petani terkait mahalnya pupuk kimia.

“Kemudian dari mahasiswa membantu pembibitan dan bersama-sama membuat pupuk cair. Kami urunan untuk membuat pupuk organik. Setiap lima hari sekali menyemprot,” kata Wardono.

Meski harus mengeluarkan tenaga lebih untuk penyemprotan, Wardono mengatakan hasil panen yang diperoleh tak kalah dibandingkan dengan pemupukan seluruhnya menggunakan kimia. Wardono puas dengan hasil uji coba kali ini.

Konsultan sekaligus Pendamping petani dari CV Kans Indonesia, Nugroho Hasan, mengatakan para petani diajari cara membuat pupuk cair secara mandiri. Pupuk cair dibikin menggunakan bahan organik yang ada di wilayah itu seperti ampas teh, tanaman toga, pepaya, kulit pisang, hingga air cucian beras.

Untuk starter pupuk organik cair, Hasan menjelaskan menggunakan bakteri dari kerja sama dengan Balai Pelatihan Pertanian Jawa Tengah. Dia menjelaskan dari kegiatan itu bisa menghemat biaya produksi pertanian antara Rp500.000 hingga Rp1 juta untuk satu musim tanam.

Dengan menggunakan bahan olahan sendiri, petani tidak lagi beli obat-obatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya