SOLOPOS.COM - Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, bersalaman dengan warga di Joglo Juang, Desa Pule, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Sabtu (22/4/2023). Joko Sutopo menggelar open house di Joglo Juang dari pagi hingga malam. (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia).

Solopos.com, WONOGIRIIdulfitri memiliki makna tersendiri bagi Bupati Wonogiri Joko Sutopo.

Setiap Idulfitri, termasuk Idulfiti hari ini, Sabtu (22/4/2023), membuatnya terkenang masa saat menjalani hidup miskin ekstrem bersama simbah dan orang tuanya.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Mengenakan baju takwa berwarna putih, bersarung merah tua, dan kopiah hitam, Joko Sutopo tak buru-buru pulang ke rumah selepas menunaikan Salat Idulfitri di Lapangan Desa Pule, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, bersama ribuan warga,  Sabtu pagi.

Sembari berjalan pelan bersama istri dan anak laki-laki semata wayangnya, lelaki yang akrab disapa Jekek itu menyalami warga dengan senyum mengembang lebar. “Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir batin, Pak, Bu,” kata Joko Sutopo alias Jekek kepada warga.

Sepanjang jalan pulang dari tempat Salat Idulfitri hingga rumahnya di Desa Jaten, Kecamatan Selogiri yang berjarak sekitar 500 meter, tidak ada warga yang luput dari salam lelaki 49 tahun itu. Sampai di rumah, sudah ada sejumlah warga yang menunggu Bupati untuk bersilaturahmi.

“Beginilah rumah kami, mewah alias mepet sawah,” kata dia kepada Solopos.com sembari menunjukkan sisi luar rumahnya. Rumah itu berbentuk limasan, khas rumah Jawa di desa. Bercat putih dengan lantai tegel.

Tampak salah satu genting pecah hingga membuat atap rumah itu bolong atau berlubang. Dari celah lubang itu, sinar matahari pagi masuk membentuk segi empat, menyinari kayu jati yang berfungsi menjadi sekat antara ruang tamu dengan ruang keluarga.

“Kaget enggak rumah Bupati seperti ini? Beginilah keadaannya. Tidak bertingkat,” ujar dia.

Di depan rumah yang tampak sederhana itu, ada meja dari kayu jati dengan panjang sekitar tiga meter, lebar setengah meter, dan tebal sekitar 30 cm. Selain itu, ada dua kursi panjang yang juga berbahan kayu jati dengan panjang sekitar 3 meter.

Di dalam rumah bagian belakang, terdapat ruang cukup panjang. Pagi itu, ruang tersebut disiapkan untuk menerima tamu. Hal itu tampak dari tikar yang sudah digelar serta aneka hidangan Lebaran yang telah disediakan.

“Saya dulu, waktu kecil, keluarga saya itu enggak punya rumah. Bisa dikatakan kami ini miskin ekstrem. Saya beli rumah ini sekitar tahun 2000-an,” kenang Jekek.

Ada alasan mendasar mengapa dia tidak ingin membangun rumah yang megah atau mewah di desa. “Kalau mau bangun rumah yang benar mewah, misalnya berlantai tiga, sebenarnya bisa. Tapi saya enggak mau. Kalau rumahnya mewah, di desa, nanti orang-orang desa enggak mau datang. Semacam ada jarak di situ, ada sekat,” jelas Jekek.

Tidak lama di rumah itu, pukul 07.30 WIB, Bupati bergegas menuju Joglo Juang, di Desa Pule. Joglo yang ia dirikan pada 2018 lalu itu berjarak sekitar 2 km dari rumahnya.

Di sana ia bakal menggelar open house untuk warga. Joglo berbahan kayu jati dari Blora yang dibangun secara bertahap itu berdiri di tengah sawah.

Belum ada seorangpun ketika ia sampai di Joglo Juang. Satu pintu belakang, dua pintu di kanan-kiri, dan dua pintu di depan ia buka sendiri.

“Kalau dikalkulasi, untuk bangun joglonya saja, ya sekitar Rp2 miliar. Ini joglonya masih sesuai pakem [Jawa]. Biasa untuk acara partai [PDIP Wonogiri],” ucapnya.

Di sisi belakang Joglo, terdapat kolam ikan koi, dapur, dan ruang rapat. Joglo itu dikelilingi sawah, di sisi selatan tampak Bukit Gajah Mungkur.

Selain alasan budaya, ada alasan khusus ia mendirikan Joglo di tengah sawah itu. Kala masih anak-anak, Joko Sutopo termasuk dalam keluarga miskin. Ia tinggal bersama simbah di rumah yang terbuat dari kayu johar. Sementara ibunya bekerja di Jakarta sebagai penjual jamu.

“Kayu johar itu kayu kelas rendah. Tidak layak untuk jadi rumah” kata dia.

Atas dasar itu, dia ingin memiliki bangunan yang terbuat dari kayu dengan kualitas unggul, yaitu kayu jati. Hal itu mengobati rasa sakit atas apa yang ia alami semasa kecil.

“Hari ini ada halalbihalal, bahasa kerennya open house di sini. Sehari ini saja,” ungkap Bupati sembari berseloroh.

Pada kesempatan itu, sejumlah warga silih berganti mendatangi Bupati di Joglo itu. Mereka bersilaturahmi, bersalaman, saling memaafkan. Joko Sutopo memberikan sejumlah uang kepada anak-anak dari warga yang datang. Warga menutup pertemuan itu dengan berfoto dengan Bupati.

“Jujur saja, saya ini kalau ketemu anak-anak, reflek ingin memberi. Apa karena dulu waktu anak-anak saya susah ya? Anak-anak itu kan kalau diberi pasti senang sekali,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com.

Joko Sutopo mengisahkan saat masih kecil diasuh simbahnya, dia tidak pernah merasakan dan merayakan Lebaran atau Idul Fitri yang sering dianggap sebagai hari kemenangan itu.



Saat anak-anak lain mempunyai baju dan celana baru, dia hanya mengenakan sarung saat Lebaran. Bahkan saking inginnya punya celana baru, Jekek kecil sampai rela meminjam celana orang lain.

“Waktu Lebaran begini, dulu, waktu kecil, saya cuma mainan kapal-kapalan. Kapal dari kertas. Main di sungai kecil, saya ikuti sampai tenggelam. Terus buat lagi. Saya main sendiri,” kisahnya.

Menurut Joko Sutopo, makna Idulfitri ialah saling berbagi. Idulfitri bukan sebuah kemenangan jika masih ada orang di kanan-kiri merasa kelaparan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya