SOLOPOS.COM - Pondok Pesantren Ta'mirul Islam yang berada di Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen. Foto diambil Rabu (23/11/2022). (Solopos/Galih Aprilia Wibowo)

Solopos.com, SRAGEN — Kasus Penganiayaan santri Pondok Pesantren Ta’mirul Islam, Masaran, Sragen, akhirnya menemui ujungnya. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sragen telah memvonis MH, 17, dengan hukuman 6 Tahun penjara dan denda Rp50 juta pada sidang yang digelar Jumat (5/5/2023).

Ia terbukti bersalah menganiaya juniornya, Daffa Washif Waluyo, 14, pada Sabtu (19/11/2022) yang berujung kematian korban. Seperti apa perjalanan kasus penganiayaan ini? Berikut Solopos.com menyajikan kilas balik peristiwa yang sempat bikin geger dunia pendidikan di Sragen ini.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Menjelang akhir tahun 2022 lalu, dunia pendidikan di Sragen dibuat heboh. Seorang santri Pondok Pesantren Takmirul Islam, Masaran, Sragen, bernama Daffa Washif Waluyo, 14, meninggal dunia tak wajar. Kabarnya anak tunggal itu meregang nyawa pada Minggu (20/11/2022) setelah dianiaya seniornya sehari sebelumnya.

Dalam wawancara yang dilakukan tak lama setelah kejadian, Kasi Humas Polres Sragen, Iptu Ari Pujiantoro, menjelaskan bahwa penganiayaan tersebut tersebut dilakukan dari senior ke juniornya yang indisipliner, namun caranya kurang pas.

Daffa yang merupakan warga Desa Katikan, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi dianiaya pelaku karena tidak menjalankan piket. Kejadian ini terungkap setelah pihak keluarga korban kaget saat mendapat kabar dari pihak ponpes bahwa Daffa meninggal.

Setahu mereka, Daffa yang duduk di bangku kelas IX SMP itu tidak memiliki riwayat penyakit serius. Apalagi dua hari sebelumnya, yakni Jumat (18/11/2022), orang tua korban sempat menemuinya di ponpes dalam keadaan sehat.

Paman korban, Nurhuda, mengatakan pada Minggu sekitar pukul 04.30 WIB, pihak Ponpes yang diwakili oleh salah satu ustaz, mendatangi rumah korban di Ngawi dan memberitahukan bahwa Daffa telah meninggal dunia. Saat itu pihak ponpes mengatakan korban meninggal dunia setelah dipukul oleh senior yang berusia 16 tahun.

“Padahal korban diduga meninggal dunia pada hari sebelumnya, Sabtu (19/11/2022) sekitar pukul 23.00 WIB. Awal mula kejadian penganiayaan, pada Sabtu malam pukul 21.45 WIB, santri dikumpulkan di aula. Karena korban tidak mengerjakan piket, maka diberikan sanksi untuk bersih-bersih selama sepekan,” terang Nurhuda saat dihubungi Solopos.com melalui telepon pada Selasa (22/11/2022) malam.

Berdasarkan keterangan ustaz itu, korban diminta dihukum secepatnya karena tidak mengerjakan piket. Dia kemudian disuruh untuk push up, namun korban menolak. Setelah itu, korban langsung ditendang beberapa kali di bagian dada. “Korban kemudian sudah terkapar, mau ditolong tapi enggak boleh dari senior,” tambahnya.

Nurhuda menambahkan setelah orang tua korban mengetahui tentang kejadian tersebut dari ustaz yang datang ke rumah, mereka buru-buru datang ke Ponpes. Setelah itu mereka datang untuk memberi keterangan ke Polsek Masaran, kemudian berlanjut di RS Moewardi.

“Laporan telah ditandatangani waktu di RS Moewardi, kemudian waktu saya cek bersama polisi waktu autopsi, memang di dada korban terlihat merah-merah,” tambah Nurhuda.

Ponpes Minta Maaf

Ia mengatakan pihak Ponpes sudah meminta maaf, namun keluarga pelaku belum ada iktikad baik. Padahal pihak Ponpes sudah memberikan nomor telepon keluarga korban ke pihak pelaku, namun hingga saat ini belum dihubungi.

Pihak ponpes sendiri sempat memberitahukan bahwa pukulan yang dilayangkan tidak cukup keras, namun ia meragukan keterangan itu. “Kalau enggak keras ya enggak mungkin [korban] meninggal. Pada Jumat orang tua sempat menjenguk korban, masih sehat dan baik-baik saja,” tambahnya.

Terpisah pihak Ponpes Ta’mirul Islam meminta maaf atas kasus penganiayaan yang mengakibatkan salah satu santri mereka meninggal dunia. Permintaan maaf itu disampaikan melalui Maklumat Pimpinan Ponpes Ta’mirul Islam Terkait Wafatnya Almarhum Ananda Daffa Washif Waluyo yang ditandatangani oleh pimpinan ponpes, Mohammad Halim, pada Selasa (22/11/2022).

Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sragen, Ihsan Muhadi, pada Rabu (23/11/2022) membenarkan maklumat tersebut. Melalui maklumat tersebut pengasuh dan pengajar Ponpes Ta’mirul Islam mengaku kasus meninggalnya Daffa akibat penganiayaan yang dilakukan oleh seniornya menjadi pelajaran berharga. Pihak Ponpes berharap agar peristiwa kekerasan serupa tidak terulang.

Seperti diberitakan, terdakwa kasus penganiayaan tersebut, MH, 17, sudah divonis bersalah oleh majelis hakim PN Sragen, Jumat ini. Vonis itu lebih tinggi dibandingkan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU). Dalam sidang sebelumnya, Kamis (4/5/2023) malam, JPU menuntut terdakwa dengan hukuman lima tahun penjara dengan denda Rp50 juta atau subsider pelatihan di lembaga pemasyarakatan (LP) khusus anak selama enam bulan.

Vonis terhadap warga Kabupaten Karanganyar itu dibacakan ketua majelis hakim Nova Laura didampingi dua hakim anggota Vivi Meike dan Aditya Danur. Dalam sidang itu dihadiri Lusy Prihariyanti selaku JPU dan Saryoko sebagai penasihat hukum terdakwa.

“Tuntutannya kan lima tahun dan denda Rp50 juta subsider enam bulan. Kemudian dalam putusan, majelis hakim memiliki pertimbangan lain sehingga memutuskan vonis di atas tuntutan, yakni enam tahun dan denda Rp50 juta subsider enam bulan penjara,” ujar Pejabat Humas PN Sragen, Iwan Harri Winarto, saat ditemui wartawan seusai sidang, Jumat siang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya