SOLOPOS.COM - Dua bangunan Padmasana (besar) dan Panglurah (kecil) berdiri dengan ukiran detail selesai dibangun di Pura Puspitaraga Musuk, Sambirejo, Sragen, Senin (28/2/2022). (Solopos.com/ Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Sebuah pohon beringin Philipina berdiri dengan batang-batang yang besar-besar.

Pohon berumur lebih dari 50 tahun itu berada di pelataran Pura Puspitaraga yang terletak di Dukuh Sidoharjo Kidul RT 008, Desa Musuk, Kecamatan Sambirejo, Sragen.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Saat perayaan Nyepi pada tahun ini, Pura yang berdiri sejak 1986 itu untuk sementara belum digunakan karena masih proses rehab.

Pembangunan pura itu menghabiskan dana sampai Rp176 juta yang dominan berasal dari swadaya umat Hindu.

Baca Juga: Mitos Air Terjun Mandakaripura, Tempat Bertapa Terakhir Gajah Mada

Dana seratusan juta rupiah itu digunakan untuk membangun Padmasana, Panglurah, dan dua balai di kompleks pura seluas 700 meter persegi itu. Bangunan Padmasana dan Panglurah berbentuk sebuah tugu dengan ukiran detail yang berfungsi sebagai tempat sembahyang umat Hindu.

Bangunan Padmasana lebih besar dengan ukuran dua naga yang melilit dan di bawahnya terdapat kura-kura yang besar.

“Material Padmasana dan Panglurah itu terbuat dari abu batu bara yang didatangkan dari Malang, Jawa Timur. Pada bangunan Padmasana ada dua naga. Mitosnya, dua naga itu berkaitan dengan proses perebutan tirta amerta dalam ajaran Ramayana. Saat pencarian tirta amerta itu, Gunung Mandara diputar dengan menggunaan dua ular naga itu sebagai talinya. Saat pemutaran gunung itu menimbulkan goncangan alam sehingga gunung itu disangga seekor kura-kura raksasa,” ujar seorang penganut Hindu asal Dukuh Secang RT 023, Desa Jetis, Sambirejo, Sragen, Purwoto, 56, saat berbincang dengan Solopos.com di Pura Puspitaraga Musuk, Sambirejo, Senin (28/2/2022).

Baca Juga: Umat Hindu Sragen Berjuang Sampai ke Bali demi Bangun Pura Ini

Purwoto menyampaikan pembangunan pura ini juga mendapatkan bantuan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen senilai Rp20 juta, yang lainnya murni dari donatur.

Dia menjelaskan sebenarnya pura ini masih belum lengkap karena masih membutuhkan candi bentar, kori agung, dan dua balai. “Kami belum memiliki pedande. Saat sembahyangan, kami mengundang pendande dari pura terdekat,” katanya.

Penganut Hidup asal Dukuh Jaten RT 009, Desa Musuk, Sambirejo, Suwarno, 69, menjelaskan dalam rangkaian perayaan Nyepi 2022, Pura Puspitaraga belum bisa dimanfaatkan karena menunggu peresmian.

Baca Juga: Pendopo Pura Mangkunegaran Solo Terbesar di Indonesia, Segini Ukurannya

Awalnya, peresmian pura direncanakan 17 Februari 2022 tetapi karena masih pandemi maka diundur sampai waktu yang belum dipastikan.

“Dulu Padmasana masih berupa batako sekarang sudah direnovasi. Dalam perayaan Nyepi itu dilaksanakan di rumah sendiri-sendiri yang namanya Brata Penyepian dengan cara berpuasa selama 24 jam. Selama puasa itu kami menjalankan amati geni atau tidak menyalakan api (termasuk lampu listrik), amati karya atau tidak bekerja, dan amati lelunganan atau tidak bepergian,” jelas Suwarno.

Dia menjelaskan biasanya umat Hindu menggelar upacara Tawur Agung sebelum melaksanakan Brata Nyepi, yakni H-1 sebelum Nyepi.

Tawur Agung ini biasanya dilakukan di Candi Prambanan atau di pura dengan tujuan untuk membersihkan buta-buta.

“Sebelumnya ada melasti atau bersuci di sumber air. Kalau di sini melasti dilakukan di sumber air di Ngargoyoyo, Karanganyar,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya