SOLOPOS.COM - Erwin Nurdiyanto,37, saat menyungging wayang Arjuna di Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri, Jumat (10/6/2022). Ia belajar menyungging selama dua tahun sejak 2014. Jumat (10/6/2022) (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Jumat (10/6/2022), Sutar, 57, sibuk menatah wayang kulit tokoh Krisna di rumahnya di Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Sutar sudah menjalani pekerjaan menatah wayang kulit sejak berusia 10 tahun.

Tangan kanan Sutar memegang palu kayu. Sedangkan tangan kirinya memegang tatah atau pemahat wayang yang diklaim berumur puluhan tahun. Ada atau tidak ada pesanan, Sutar tetap menatah setiap hari. Dia beranggapan, setiap wayang sudah punya jalannya sendiri-sendiri.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Sutar mengatakan sudah menatah wayang kulit sejak usia 10 tahun atau kelas III SD. Sutar belajar membuat wayang pada pamannya. Dahulu, anak-anak di Desa Kepuhsari seumuran Sutar banyak belajar membuat wayang. Mulai dari menatah, menyungging (mewarnai), hingga membuat gapit atau gagang wayang.

“Dulu enggak ada ceritanya anak-anak terus main-main sepulang sekolah. Semua belajar membuat wayang sampai pukul 16.00 WIB. Selepas itu baru boleh main. Orang tua kami menyuruh kami membuat wayang. Kalau sekarang, lebih sedikit anak muda yang mau belajar wayang. Mungkin karena enggak menjanjikan [secara ekonomi],” kata dia.

Dia khawatir, 20-25 tahun ke depan, tidak ada lagi generasi yang meneruskan tradisi menatah wayang kulit sejak abad ke-17 itu. Jumlah anak muda di bawah usia 20 yang menjadi perajin wayang sangat sedikit. Anak muda sekarang lebih memilih bekerja di industri lain, seperti bekerja di pabrik.

Baca Juga: Begini Nasib Perajin Wayang Kulit Kepuhsari Wonogiri saat Pandemi

Menurutnya, keterampilan membuat wayang harus tetap dilestarikan meski anak muda di desanya sudah tak mau menjadi perajin wayang kulit. Keterampilan membuat wayang tidak akan hilang meski sudah 25 tahun tidak digunakan. Berbekal kemampuan membuat wayang, setidaknya bisa untuk pegangan hidup.

“Buat jaga-jaga saja. Kalau sudah punya keterampilan kan kalau terjadi apa-apa [secara finansial], bisa digunakan sewaktu-waktu. Keterampilan itu enggak akan pernah hilang,” ujar dia.

Saat ini jumlah perajin wayang di Desa Kepuhsari berjumlah sekitar 50 orang. Kebanyakan sudah berumur lebih dari 30 tahun. Dalam membuat satu wayang, dibutuhkan beberapa tangan perajin.

Setiap tahap pembuatan wayang sudah ada ahlinya. Total waktu mengerjakan satu wayang yang siap digunakan biasanya memakan waktu kurang dari satu bulan.

Baca Juga: Pasang Surut Sentra Pembuatan Wayang Kulit di Kepuhsari Wonogiri

Penyungging wayang, Erwin, mengaku baru menggeluti usahanya sejak tahun 2014. Erwin butuh waktu dua tahun untuk belajar menjadi penyungging wayang.

“Sulit. Menyungging wayang itu sulit. Butuh kesabaran dan ketekunan. Makanya jarang sekali orang yang mau jadi penyungging. Yang saya tahu, hanya berjumlah lima orang di Desa Kepuhsari ini,” ucap dia.

Banyak orang lebih memilih menjadi penatah daripada penyungging. Sebab menyungging membutuhkan kesabaran ekstra. Setiap bagian-bagian kecil wayang harus diwarnai dengan warna yang berbeda.

“Itu yang membuat sulit karena harus benar-benar sabar,” imbuh dia.

Baca Juga: Wisata Unik di Kampung Wayang Kepuhsari

Sebenarnya banyak orang yang mencoba menyungging wayang. Tapi dalam perjalanannya, banyak juga yang menyerah.

“Mereka belajar satu-dua minggu, tetapi setelah itu berhenti,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya