SOLOPOS.COM - Penari membawakan tari Roro Ngangsu yang terinspirasi banyaknya umbul dan berbagai potensi lain di Klaten. (kemenparekraf.go.id)

Solopos.com, KLATEN — Tari Roro Ngangsu menjadi salah satu kekayaan budaya yang lahir karena terinspirasi banyaknya umbul atau sumber air di Kabupaten Klaten. Tarian ini termasuk jenis tari kreasi baru yang memperkaya khazanah seni budaya Kabupaten Bersinar.

Dilansir kemenparekraf.go.id, Tari Roro Ngangsu menggambarkan orang mencari air dengan menggunakan klenthing. Tarian ini kerap ditampilkan pada acara yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Klaten, termasuk sebagai atraksi di Desa Wisata Sidowarno, Wonosari, Klaten.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Seperti diketahui, Sidowarno yang terkenal dengan kerajinan wayangnya berhasil masuk 75 besar desa wisata terbaik dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada 2023.

Tari Roro Ngangsu diciptakan Tejo Sulistyo pada 2013 sebagai bentuk partisipasinya dalam perlombaan tari unggulan daerah Kabupaten Klaten yang diadakan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora).

Dilansir tulisan ilmiah berjudul Bentuk Sajian Tari Rara Ngangsu Karya Tejo Sulistyo karya Nur Hana Tri Handayani dari ISI Solo, tarian ini bercerita mengenai semangat dan kegembiraan perempuan yang sedang ngangsu atau mengambil air bersama teman-temannya.

Beberapa faktor kekhasan Klaten yang terkandung dalam tarian karya Tejo Sulistyo tersebut. Di antaranya banyaknya lokasi umbul sehingga sering ditemui aktivitas orang mengangsu (mengambil air). Faktor kekhasan lainnya yakni keberadaan pusat pembuatan gerabah di Desa Melikan, Kecamatan Wedo.

Salah satu produksi gerabah Melikan berupa klenthing yang dipakai untuk mengangsu air. Kemudian juga keberadaan pusat pembuatan kain batik tulis dengan motif alami di Desa Jarum, Kecamatan Bayat.

Gaya Surakarta Putri

Keberadaan klenthing dan kain batik produksi Klaten tersebut diadopsi ke dalam karya tarian Roro Ngangsu. Klenthing dijadikan sebagai properti tarian sedangkan kain batik digunakan sebagai busana para penari.

Tari Roro Ngangsu ditampilkan penari perempuan karena kegiatan ngangsu biasanya dilakukan perempuan secara bersama-sama. Oleh karena itu tarian ini dibawakan secara berkelompok.

Para penari tidak dibatasi usia, mulai dari anak kecil hingga wanita dewasa dapat membawakan tarian ini. Tari Roro Ngangsu ini memiliki gerakan-gerakan yang berpijak pada tari yang sudah ada sebelumnya, dalam hal ini gerakannya berpijak pada tari gaya Surakarta putri.

Gerakan tarian ini pada akhirnya secara keseluruhan serta secara garis besarnya merupakan gerakan representasi dari kegiatan yang dilakukan sehari-hari, seperti gerakan orang yang sedang mengambil air, orang yang sedang bermain air, mandi, dan mencuci baju.

Sedangkan mengenai sosok dan latar belakang Tejo Sulistyo yang menciptakan tari Roro Ngangsu yang memperkaya khazanah budaya Klaten itu juga bukan sembarang seniman. Tejo merupakan ikon Ramayana Ballet Prambanan.

Berdasarkan karya ilmiah yang sama disebutkan Tejo lahir di Solo pada 24 Oktober 1956. Kedua orang tuanya disebut masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat namun memilih tidak memakai gelar kebangsawanan tersebut.

Tejo yang menikah dengan partner menarinya, Indah Nuraini, mengenal dunia tari sejak masih belia, tepatnya saat masih kelas II SMPN 1 Salatiga. Kala itu ia belajar tari Jawa klasik di kegiatan ekstrakurikuler.

Ikon Ramayana Ballet Prambanan

Ia kemudian melanjutkan ke SMAN 1 Salatiga namun kemudian mengundurkan diri dan pindah ke SMKI Surakarta (sekarang SMKN 8 Solo).

Setelah itu Tejo melanjutkan studi di ASTI Yogyakarta (ISI Yogyakarta hingga lulus sarjana muda pada 1984.Semasa kuliah Tejo menjadi asisten dosen di ASTI Yogyakarta, mengajar di IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) serta Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

Setelah lulus sarjana muda Tejo memutuskan berhenti mengajar di ketiga instansi perguruan tinggi itu dan memilih menjadi pegawai di Dinas Pariwisata Kabupaten Magelang pada 1985.

Kemudian tahun 1987, KGPAA Pakualam VIII memberikan surat rekomendasi mutasi kerja dari Kabupaten Magelang ke Daerah Istimewa Yogyakarta agar Tejo dapat ikut mengurus sendra tari Ramayana Yayasan Roro Jonggrang di Prambanan.

Tejo memulai perannya sebagai penari massal dalam Ramayana Ballet Prambanan seperti raksasa massal, burung massal maupun sesaji. Dua tahun kemudian, Tejo memerankan tokoh Rama Wijaya yaitu Lesmana.

Tejo untuk kali pertama berperan sebagai Rama pada 1980 hingga 2016. Hal itu menjadikan Tejo sebagai ikon Ramayana Ballet Prambanan. Pamflet dan baliho Ramayana Ballet hingga 2018 masih menggunakan foto Tejo Sulistyo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya