Soloraya
Kamis, 25 November 2021 - 06:35 WIB

Inspiratif, Desa Jarum Klaten Bikin Batik Pewarna Alam dari Tanah Liat

Taufiq Sidik Prakoso  /  Haryono Wahyudiyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Perajin batik menunjukkan hasil kain batik menggunakan pewarna alam dari tanah liat dan dikolaborasikan dengan pewarna dari bahan tanaman di SMKN 1 Rota Bayat, Rabu (24/11/2021). (Solopos.com/ Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN—Batik dengan zat pewarna alam memiliki nilai jual tinggi. Selain memiliki nilai seni dan warna yang khas, batik pewarna alam ramah lingkungan.

Selama ini, batik pewarna alam menggunakan zat yang bersumber dari tanaman seperti batang, kulit, biji-bijian, maupun daun. Tak hanya itu, tanah liat juga bisa menjadi bahan baku pewarna alami. Hal itu yang sudah dibuktikan para perajin di wilayah Kecamatan Bayat.

Advertisement

Salah satu perajin batik asal Dukuh Pendemi, Desa Jarum, Kecamatan Bayat, Klaten, Sularto Jeprik, mengatakan pewarna alam menggunakan tanah liat sebenarnya bukan hal baru. Hanya saja, selama ini pewarnaan alam menggunakan tanah liat pada batik belum membuahkan hasil. Warna yang dihasilkan kerap luntur.

Baca Juga: Anggaran Turun, PKK Klaten Harus Tetap Dukung Ketahanan Pangan Keluarga

Advertisement

Baca Juga: Anggaran Turun, PKK Klaten Harus Tetap Dukung Ketahanan Pangan Keluarga

“Kemarin ada request dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diminta membuat warna dari tanah. Kami konsep betul dan cari tanah di wilayah Bayat [Klaten] serta Gedangsari [Gunungkidul]. Alhamdulillah bisa berhasil memunculkan warna tanah,” kata Jeprik saat ditemui di sela bimbingan teknis bidang tradisi pewarna alam di SMKN 1 Rota Bayat, Rabu (24/11/2021).

Tak hanya Jeprik yang masuk dalam tim untuk membuat batik pewarna alam menggunakan tanah liat. Ada penggerak UKM, kelompok pemuda, serta akademisi dengan jumlah total enam orang yang masuk dalam tim untuk membikin pewarna alam menggunakan tanah liat tersebut.

Advertisement

Baca Juga: Dukung Operasi Zebra Candi 2021, Kommpol Klaten Tolak Knalpot Brong

Dari hasil pengembangan itu, ada beberapa istilah warna yang dimunculkan Jeprik dan teman-temannya. Seperti batik lemah abrit, lemah selo, lemah soga, lemah injet, serta lemah teles. Nama-nama itu diambil salah satunya berdasarkan warna yang dihasilkan.

Soal potensi pasar, Jeprik mengatakan batik pewarna alam dari tanah liat tak kalah jika dibandingkan dengan batik pewarna alam berbahan dari tanaman.

Advertisement

“Dari pewarnaan tanah ini bisa menghasilkan warna kalem. Kalau warna kalem itu pasarnya masuk menengah ke atas. Sudah diuji coba di Gedangsari itu dan ditampilkan di sana, sudah ada penawaran satu lembar kain dari pewarna tanah liat ditawar Rp1 juta. Sementara, dari pewarna kayu rata-rata kisaran Rp500.000-Rp600.000 per lembar,” kata dia.

Baca Juga: Anak Gugat Ibu Kandung, Penggugat Tolak Uang Damai Ratusan Juta Rupiah

 

Advertisement

Proses Panjang

Jeprik mengatakan batik pewarna alam masih sangat luas untuk dikembangkan. Dia juga memastikan pewaranaan kain batik menggunakan tanah liat tak membutuhkan bahan baku terlampau banyak.

Soal proses pengolahan tanah liat untuk pewarna, Jeprik mengakui cukup panjang. Dia mencontohkan untuk menjadikan corak batik lemah abrit, tim mengambil tanah liat pada kedalaman minimal 2 meter.

“Ciri-ciri tanah itu memang istilahnya yang lengket. Kemudian kami uleni dan saring. Kemudian direndam minimal selama lima hari bisa muncul warnanya,” kata Jeprik.

Baca Juga: Mie Pelangi, Mi Unik dari Buah dan Sayuran

Penggunaan pewarna alam dari tanah liat itu menarik minat sejumlah perajin batik di wilayah Kecamatan Bayat. Seperti para perajin batik dari Kelompok Batik Tulis Kebon Indah, Desa Kebon, Kecamatan Bayat.

“Saya kira tanah tidak bisa menghasilkan warna. Ternyata tanah di sekitar kami bisa menghasilkan berbagai macam warna. Insya Allah akan kami aplikasikan di kelompok batik Kebon Indah,” kata salah satu perajin Rejeki, 48.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif