SOLOPOS.COM - Belasan anak korban kekerasan sepanjang 2022 mengikuti sesi pemulihan psikis di Griya Kencana Eling Sedulur Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKB P3A) Wonogiri, Selasa (21/2/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Belasan anak korban kekerasan sepanjang 2022 di Wonogiri mendapatkan pemulihan psikis di Griya Kencana Eling Sedulur Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKB P3A) Wonogiri, Selasa (21/2/2023).

Pemulihan psikis diharapkan mampu mengembalikan semangat dan kepercayaan diri anak-anak korban kekerasan baik seksual maupun psikis. Dinas mendatangkan motivator profesional dari Yogyakarta, Bebet Darmawan.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas PPKB P3A Wonogiri, Indah Kuswati, mengatakan pada 2022 Dinas PPKB P3A mendapatkan laporan kasus kekerasan pada anak sebanyak 20 kasus.

Dinas sudah mendampingi para anak Wonogiri tersebut sejak menjadi korban kekerasan. Pendampingan itu mulai dari mendatangi korban, asesmen, pemulihan pascatrauma oleh psikolog klinis, hingga advokasi korban untuk menuntut keadilan.

“Terakhir, kami adakan pemulihan psikis atau kejiwaan korban. Kami datangkan motivator dari Yogyakarta yang sudah berpengalaman dalam pemulihan psikis,” kata Indah saat ditemui Solopos.com, Selasa.

Dinas PPKB P3A mengundang 20 anak korban kekerasan beserta orang tua pendamping, tetapi pada kesempatan itu hanya sekitar 18 anak yang hadir. Menurut Indah, dari 20 anak korban kekerasan anak pada 2022, sebanyak 18 kasus di antarnya adalah kekerasan seksual dan dua lainnya kekerasan psikis.

Anak-anak korban kekerasan pada umumnya mengalami trauma dan menjadi pribadi yang mengurung diri. Mereka perlu mendapatkan pendampingan untuk pemulihan. Setiap anak korban kekerasan membutuhkan waktu yang berbeda sampai anak tersebut benar-benar pulih secara psikis pascatrauma.

Orang tua sangat berperan dalam masa pemulihan anak korban kekerasan di Wonogiri. Keluarga mempunyai andil besar dalam menentukan apakah anak korban kekerasan tersebut bisa kembali bangkit setelah mengalami kekerasan atau tidak.

“Makanya selain anak korban kekerasan, kami juga undang orang tua pendamping untuk ikut dalam pelatihan pemulihan ini. Tujuannya agar mereka paham, mendukung anak mereka pulih dari trauma,” ujar dia.

Perubahan Pola Kasus Kekerasan Anak

Indah menjelaskan anak-anak korban kekerasan ini mayoritas masih bersekolah SD-SMP. Mereka justru menjadi korban kekerasan dari orang terdekat, seperti tetangga, paman, atau saudara. Pola asuh yang salah ditambah penggunaan media sosial oleh anak maupun pelaku menjadi salah dua faktor penyebab kekerasan anak terjadi.

Menurut dia, ada pola yang berubah dalam kasus kekerasan anak di Wonogiri selama kurang lebih satu dasawarsa terakhir ini. Dulu penyebab kasus kekerasan anak didominasi karena anak ditinggal merantau sehingga mereka tidak mendapatkan pengawasan atau pola asuh baik dari orang tua.

“Sekarang media sosial turut menjadi salah satu faktor penyebab terbesar kasus kekerasan anak,” kata dia. Anak korban kekerasan di Wonogiri selama beberapa tahun terakhir ini bermula karena bermain media sosial. Mereka berkenalan dengan pelaku melalui aplikasi medsos.

Kemudian bertemu dan akhirnya menjadi korban kekerasan. Kondisi itu diperparah dengan kondisi orang tua yang tidak melek teknologi. Akibatnya mereka memiliki keterbatas untuk mengawasi atau mengontrol penggunaan gawai anaknya. Orang tua tidak tahu aktivitas apa yang dilakukan anaknya di dunia maya.

“Mereka tahunya kalau itu cuma handphone, buat komunikasi,” ucap Indah. Trainer atau motivator Bebet Darmawan menyampaikan anak-anak korban kekerasan memiliki memori trauma yang butuh dipulihkan.

Masa pemulihan trauma anak-anak korban kekerasan itu bergantung pada kondisi anak. Selain pendapingan dari psikolog klinis, korban juga harus terus diberi stimulus semangat dan kepercayaan diri dari orang tua.

Bebet menjelaskan salah satu tindakan yang dapat mencegah kekerasan, terutama kekerasan seksual yaitu dengan memberikan pendidikan seksual kepada anak sesuai dengan usianya. Orang tua jangan sampai berpikir bahwa pendidikan seksual adalah hal yang tabu.

“Misalnya, anak diajari bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain. Itu penting,” ujar Bebet.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya