Solopos.com, KARANGANYAR – Pada 2021, dua kebudayaan lokal Kabupaten Karanganyar ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Dua kebudayaan lokal tersebut adalah tradisi Dukutan dan Mondosiyo.
Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius
Seperti tradisi lokal pada umumnya, Dukutan dan Mondosiyo memiliki sejarah dan keunikan tersendiri. Sejarah dan keunikan inilah yang kemudian menjadi hal yang membuat keduanya ditetapkan sebagai WBTB.
Dukutan
Dukutan merupakan ritual turun temurun yang diadakan oleh sebagian masyarakat Nglurah Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, pada setiap Selasa Kliwon yang berupa bersih desa.
Mengutip berbagai sumber, upacara ini dilaksanakan pada wuku Dukut (kalender Jawa), yang mana merupakan hari pernikahan Kyai Menggung dengan Nyi Rasa Putih.
Baca Juga: Tradisi Mondosiyo dan Legenda Prabu Boko Peminta Tumbal Manusia
Dikisahkan, waktu dulu di Desa Nglurah, terdapat dua desa, yakni Nglurah Kidul (Selatan) dan Nglurah Lor (Utara). Warga keduanya sering berselisih hingga terjadi tawuran.
Pada masing-masing desa, terdapat dua tokoh, yakni Nyai Rasa Putih (Nglurah Kidul), dan Kyai Menggung (Nglurah Lor). Kisah bermula dari pengembaraan Kyai Menggung yang kemudian tinggal di Nglurah Lor.
Dalam pengembaraannya, ia bertemu dengan Nyai Rasa Putih dari Nglurah Kidul yang sakti. Pertemuan tersebut rupanya berlanjut dalam kekacauan dan adu kekuatan, sehingga melibatkan warga dari dua wilayah.
Akhirnya, pertempuran kedua tokoh itu berakhir bahagia karena mereka saling mencintai. Keduanya menikah dan hidup bahagia bersama para warga dari kedua desa.
Baca Juga: Memaknai Acara Bur-Buran Ayam Nadaran Pada Tradisi Mondosiyo
Keunikan dari tradisi ini adalah ketika pelaksanaan tawur sesaji, yaitu ritual “tawuran” dengan saling melempar sesaji, yang justru dinikmati oleh warga. Mereka tidak marah terkena lemparan, karena lemparan sesaji tersebut dianggap akan mendatangkan keberkahan.
Mondosiyo
Mondosiyo merupakan tradisi khas yang hanya ada di Dusun Pancot, Desa Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu. Mondosiyo diambil dari wuku kelahiran Dusun Pancot yang lahir pada hari Selasa Kliwon wuku Mondosiyo.
Tradisi ini berawal dari kisah rakyat mengenai Pangeran Putut Tetuko yang bertarung melawan raja kanibal Prabu Boko.
Kepala Prabu Boko diinjak (pancat atau pencot) oleh Putut Tetuko, kemudian dilempar ke batu gilang yang kini dikeramatkan.
Baca Juga: Ini Wujud Sendang di Pertapaan Bancolono yang Dipakai Brawijaya V Mandi
Mondosiyo juga dikenal sebagai tradisi lempar ayam. Ayam akan dilempar ke atap pendapa dusun saat puncak acara.
Yang menjadi keunikan tradisi ini adalah ayam dibawa warga yang bernazar. Jumlahnya bisa lebih dari satu, dan ayam tersebut nantinya akan diperebutkan oleh warga lain.
Sebagai wujud rasa syukur warga desa, tradisi Mondosiyo juga dimeriahkan dengan pentas seni berupa gamelan dan reog.
Tradisi Mondosiyo menjadi akulturasi budaya Jawa dan ajaran Islam, yang mana terdapat sesaji, sedekah, dan doa.