Solopos.com, SOLO–Sebanyak 1.000 takir jenang suran dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Tradisi turun temurun di Dinasti Mataram Islam itu sebagai simbol rasa syukur serta pengharapan atas keselamatan dan kemudahan hidup yang diberikan Allah SWT kepada manusia.
Pantauan Solopos.com di halaman Masjid Agung Solo, Jumat (28/7/2023), sebanyak delapan tampah bambu dilapisi daun pisang. Jenang suran yang terbuat dari bubur beras yang dicampur santan langsung dituangkan ke tampah bambu. Sementara itu, ratusan warga tampak mengantre untuk mendapatkan satu takir jenang suran.
Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima
Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Gatot Sutanto, mengapresiasi kegiatan pembuatan dan pembagian jenang suran kepada masyarakat. Tradisi itu sangat identik dengan budaya Jawa yang dilestarikan secara turun temurun.
“Ini tradisi turun temurun sejak zaman Raja Kesultanan Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Dulu, namanya jenang panggul. Dari beras juga tidak ada bedanya,” ujar dia, Jumat.
Gatot mengatakan tradisi jenang suran itu menjadi salah satu budaya Jawa yang harus diuri-uri dan dilestarikan. Terutama, bagi generasi muda agar memahami perjalanan sejarah sehingga mau melestarikan dan menjaganya.
Dia berharap tradisi itu digelar setiap tahun Tahun Baru Islam. “Jenang Suran ini simbol atau lambang rasa syukur kepada Allah SWT. Harus dijaga dan dilestarikan kemudian hari,” papar dia.
Sementara itu, Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, K.G.P.H. Dipokusumo mengatakan tradisi jenang suran bagian dari menghormati leluhur Dinasti Mataram Islam. Sebelum dibagikan kepada masyarakat, jenang suran didoakan terlebih dahulu.
Doa tersebut berisi rasa syukur dan berbagai pengharapan manusia agar selalu diberi keselamatan dan kemudahan dalam menjalani hidup. “Tradisi ini sudah turun menurun sehingga harus dijaga,” ujar dia.