SOLOPOS.COM - Kegiatan Komunitas Tuli Boyolali (Komtuboy) mengaji di salah satu rumah di Dusun Plosokerep, Desa Winong, Kecamatan Boyolali, pada September lalu. Kegiatan Komtuboy mengaji diadakan setiap dua pekan sekali. (Solopos.com/Ni’matul Faizah).

Solopos.com, BOYOLALI – Belasan orang dewasa berkumpul melingkar di ruang tengah salah satu rumah di Plosokerep, Winong, Boyolali pada Minggu (18/9/2022) siang. Mereka saling berbicara dengan tangan atau bahasa isyarat. Suasana hening, tapi mereka bisa tertawa.

Sesekali terlihat seorang perempuan tertawa sampai memukul ringan bahu kawan di sebelahnya. Beberapa di antara lain sibuk dengan panggilan video WhatsApp. Mereka juga masih berkomunikasi dengan tangan mereka, itu adalah Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Mereka adalah anggota Komunitas Tuli Boyolali (Komtuboy) yang menghadiri kelas mengaji di salah satu rumah sukarelawan teman dengar.

Lingkaran itu kemudian pecah ketika melihat perempuan datang membawa sekarung sayur yang berisi tomat, cabai, dan sawi. Sama seperti belasan orang lainnya, dia juga tuli. Orang memanggilnya Sumarti.

Sayur tersebut kemudian dibagi ke beberapa plastik kecil. Siapa pun yang mengambil dipersilakan. Sudah menjadi kebiasaannya sering membawa sayuran dari rumah ataupun makanan untuk dibagikan kepada teman-teman seperjuangannya mengaji.

Baca juga: Penumpang Difabel Ditolak Naik KRL di Solo, PT KCI: Segera Kami Temui

“Ambil saja,” ucap Sumarti dengan gerakan tangan menunjuk sayur yang ia bawa.

Tak berselang lama, guru mengaji Komtuboy, Faqih Annisa, datang. Mereka kembali duduk melingkar dan memulai pembelajaran yaitu belajar membaca iqro’ dengan bahasa isyarat sekaligus mencoba melafalkan dengan benar.

Terlihat beberapa teman tuli merasa kesulitan melafalkan, kemudian, dibantu tuli lain untuk melafalkan dengan cara memegang tenggorokan yang bergetar.

Setelah usai belajar mengaji, sang guru mengaji yang juga sekaligus dosen dari universitas di Solo tersebut mengajarkan makna tentang islam. “Islam itu artinya menyelamatkan,” ucapnya kepada teman tuli menggunakan Bisindo.

Baca juga: Anindya Batik Art Semarang Tak Hanya Cari Laba, Pemberdayaan Difabel Juga Utama

Tiada Akses Tuli Belajar Mengaji

Seusai kelas, Solopos.com berkesempatan berbincang dengan Sumarti. Seluruh proses penjurubahasaan dari Bisindo ke Bahasa Indonesia dibantu oleh Faqih Annisa.

“Nama saya Sumarti, umur 38 tahun, saya warga Sukabumi, Cepogo, Boyolali. Hari ini adalah kegiatan kajian Islam, ternyata Islam berarti menyelamatkan. Tadi juga diajar membaca Iqro dan macam-macam,” jelasnya.

Sumarti menjelaskan kegiatan mengaji Komtuboy tersebut dilaksanakan tiap dua pekan sekali. Ia merasa senang karena dapat belajar mengaji bersama Faqih yang seorang Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang juga seorang pengajar islam di salah satu universitas di Solo.

Ia merasa dapat lebih menyerap pembelajaran tentang Islam jika diajarkan di kelas mengaji karena pengajar fasih berbahasa isyarat dan ringkas dalam menjelaskan. Ia juga merasa lebih leluasa belajar dan bertanya kepada Faqih.

Baca juga: 30 Penyandang Disabilitas Ikuti Pelatihan Servis Kursi Roda

“Sebelumnya belum ada akses [untuk belajar] mengaji. Sekarang bisa belajar Al-Qur’an lebih detail, misal belajar menghafal Al-Fatihah ayat 1 – 7. Kami diajari ayat per ayat, ternyata kalau mau menghafal harus per ayat,” cerita dia.

Ibu dua anak tersebut mengaku selama belajar berinteraksi dengan Alquran lewat menghafal Al-Fatihah, dirinya merasa terkoneksi dengan Allah SWT hingga menangis

Ia mengaku memang sebelumnya telah diajarkan pembelajaran agama semasa sekolah di SLB YPALB Cepogo, Boyolali. Namun, ia merasa kurang mengerti karena gurunya semasa SDLB mengajar menggunakan oral.

Baru mulai dia masuk SMP, dirinya bertemu dengan seorang guru agama yang ia panggil Bu Etik. Ia mengaku lebih jelas saat diajar Bu Etik walau ia merasa guru agama islamnya tersebut masih dominan mengajar dengan verbal.

Akan tetapi, yang diajarkan oleh gurunya sewaktu menempuh SMPLB juga tidak bisa dicerna semuanya. Kadang, ia mengandalkan teman yang memiliki sisa pendengaran untuk kembali menjelaskan kepadanya.

Baca juga: Pemdes Gatak Klaten Peduli Disabilitas, Cairkan Belasan Juta Tiap Tahun

“Dulu belum sampai Al-Qur’an, dulu mengajar waktu salat, terus mengajar a ba ta [hijaiah] tapi enggak full, hanya beberapa huruf. Al Fatihah dulu belum diajari tapi diajar bunyi basmalah begitu, ditulis dengan huruf latin, besar,” cerita Sumarti.

Sementara, untuk belajar mengaji di lingkungan rumahnya, pengajian tidak tersedia akses JBI untuknya. Ia pun kesulitan memahami isi pengajian.

Apabila ada musibah kematian di sekitar rumahnya, ia juga merasa tidak bisa membantu apa-apa seperti memandikan dan mengkafani jenazah. Sebab, ia tidak tahu ilmunya.

“Kalau saya coba tanya [mengurus jenazah], kadang mereka enggak merespons atau seperti isyarat enggak usah. Jadi saya hanya diam, sempat menangis dan sakit hati, dikira saya tidak bisa mengobrol,” jelasnya.

Setelah belasan tahun, lanjut Sumarti, dirinya bisa belajar tentang pemulasaran jenazah saat diadakan kelas di Komtuboy pada Ramadan tahun lalu. Ia baru tahu terkait cara memandikan jenazah, perbedaan bentuk kain kafan untuk laki-laki serta perempuan, dan lainnya.

Baca juga: Pelatihan Membatik Bagi Difabel

Dari kelas itulah, ia berkenalan dengan Faqih hingga sekarang ini. Sejak kelas mengaji Komtuboy, ia memiliki impian untuk mendirikan masjid yang bisa digunakan untuk menjadi pusat tempat pembelajaran agama untuk tuli.

“Jadi nanti bisa belajar beraneka macam tema, misal salat. Jadi, misal teman-teman belum bisa salat, tuli bisa belajar salat di situ,” harap dia.

Sumarti di Rumah dan Sekolah

Ketika di rumah, Sumarti mengaku memang tidak diajar tentang agama oleh orang tuanya. Ia mengatakan kedua orang tuanya  memiliki kesibukan sehingga tidak mengajarinya tentang agama. Walaupun begitu, ia menceritakan orang tuanya selalu menekankan untuk salat lima waktu.

“Tapi menyuruh dengan ekspresi marah, dulu sempat saya nangis, akhirnya saya salat. Jadi salat karena terpaksa, cuma disuruh salat tapi saya enggak tahu mengapa saya harus salat,” cerita dia.

Baca juga: Penyandang Disabilitas Magelang Didorong Lebih Mandiri



Namun, Sumarti mengerti hal tersebut untuk kebaikannya. Maka dari itu, ia bercita-cita dalam mempelajari agama islam di kelas Mengaji Komtuboy agar dapat menjadi anak berbakti untuk kedua orang tuanya.

“Pengen banget bisa menjadi anak solehah, bisa mendoakan orang tua agar bisa masuk surga dan selamat dunia-akhirat,” harapnya.

Sementara itu, ibu Sumarti, Ngatiyem, membenarkan dirinya memang sangat ketat dalam mengingatkan salat Sumarti. Perempuan 73 tahun itu mengatakan hanya itu yang bisa ia tanamkan untuk anaknya.

“Dia enggak bisa ngomong Jawa, jadi pakai Bahasa Indonesia. Kalau sekarang komunikasinya saya getak [teriak] gitu, bersuara keras,” jelasnya saat dijumpai di rumahnya, Minggu (25/9/2022).

Baca juga: Kursi Roda Elektrik Scewo Bro Bikin Naik-Turun Tangga Tak Lagi Masalah

Saat disinggung apakah Sumarti mendapatkan pembelajaran agama selain di sekolah, ia membetulkan. Di lingkungan tempat tinggalnya, Sumarti memang tidak memiliki akses belajar agama karena perbedaan bahasa.

Lebih lanjut, Ngatiyem menceritakan sejak kecil Sumarti diasuh oleh sang paman. Dirinya dan suami sibuk berjualan sayur di Pasar Sayur Cepogo.

Hingga pada suatu hari saat Sumarti berumur dua tahun, ia menyadari sang anak tidak bisa berbicara seperti anak pada umumnya. Ia pun berinisiatif mengurangi pekerjaannya di pasar untuk berfokus untuk mengobati Sumarti.

Pengobatan yang dijalani Sumarti, tutur Ngatiyem, bukanlah pengobatan medis. Namun, dia datang dari dukun satu ke dukun yang lain.



“Mungkin sudah 57 dukun itu ada, sampai saya taubat. Jadi dulu itu saya dukunke biar bisa omongan. Saya kira itu gangguan jin, bocah kok plengah-plengeh itu kenapa,” terang dia.

Untuk pendidikan Sumarti, Ngatiyem menceritakan awalnya Sumarti juga telah menjajal sekolah biasa. Namun, akhirnya Sumarti bersekolah di SLB YPALB Cepogo Boyolali karena keterbatasannya.

Baca juga: Difabel dan Arsitektur Ruang Kota

Selang beberapa hari, Solopos.com pun menemui guru agama Islam Sumarti sewaktu SMP di SLB YPALB Cepogo, Etik Masfufah.

Etik menceritakan ia mengingat sewaktu mengajar Sumarti masih awal-awal ia menjadi guru. Pada waktu itu, ia menceritakan telah mengajar dengan bahasa isyarat sekaligus verbal.

Walaupun begitu, ia mengakui pada saat itu ia masih belajar tentang bahasa isyarat. Etik mengatakan dirinya memang lulusan D II Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa, akan tetapi pendidikan konsentransinya adalah untuk tuna daksa, bukan tuli. Sehingga, dia merasa harus belajar lagi untuk mengajar Sumarti dan murid-murid tuli.

Terlebih, ia juga mengatakan bahasa isyarat yang digunakan adalah metode sistem bahasa isyarat Indonesia (SIBI). Sedangkan, banyak tuli yang lebih mudah berkomunikasi menggunakan Bisindo.

Etik tidak menampik jika dalam pembelajaran memang tetap ada siswa yang tidak mengerti. Sehingga, terkadang ia juga harus menuliskan di papan tulis. “Kadang juga ada murid yang mengerti, terus nanti dijelaskan kepada teman yang lain. Modelnya begitu,” jelasnya saat dijumpai di sekolahnya, Selasa (27/9/2022).

Baca juga: GAGASAN : Infrastruktur Haji dan Hak Difabel



Lebih lanjut, dalam pembelajaran agama, Etik lebih menekankan pada pembelajaran praktik Islam dasar seperti wudu, salat, dan mengaji iqra. “Kalau mengaji sama salat begitu ya bersuara, jadi wawawawa begitu. Cuma mungkin orang umum enggak begitu paham, tapi kalau kami tahu, yang penting niatnya,” jelasnya.

Sejarah Kelas Mengaji Komtuboy

Faqih teringat kali pertama ia berinteraksi dengan Komunitas Tuli Boyolali pada Ramadan 2021.

Waktu itu, ia menceritakan Komtuboy menyelenggarakan kelas mengaji dan salah seorang pendamping Komtuboy memintanya untuk mengisi acara pemulasaran jenazah untuk Tuli.

Pertemuan demi pertemuan dia lewati bersama Komtuboy, dari mulai kelas kajian islam hingga kelas biasa seperti kerajinan, Bahasa Indonesia, dan kelas-kelas lainnya. Hingga akhirnya pada Ramadan 2022, ia kembali diminta untuk mengajar mengaji iqra bagi tuli Boyolali.

Baca juga: Keren! Difabel Rembang Ini Jadi Bos Makanan Ringan, Omzet Puluhan Juta

“Nah, aku melihat antusiasme teman-teman Tuli belajar agama islam saat pemulasaran jenazah, semenjak itu aku jadi tergerak untuk mengusulkan ke beberapa koordinator Komtuboy untuk membuat kelas mengaji sekalian. Mumpung aku juga aktif mengajar di kelas Deaf Muslimah Solo,” kata dia.

Akhirnya, kelas mengaji Komtuboy diselenggarakan dan dia menjadi gurunya. Dalam mengajar, Faqih membawa pengalamannya mengajar baca tulis Al Quran dari kelas Deaf Muslimah Solo ke kelas mengaji Komtuboy.

Faqih mengatakan dalam mengajar, ia dibantu oleh satu hingga dua teman dengar (Tender) Komtuboy. Beberapa Tender Komtuboy akan menjadi asistennya saat mengajar, membantu jika ada tuli yang kesulitan.

Tak hanya Tender Komtuboy, tuli pun juga aktif membantunya untuk meringkas pembelajaran agar dapat dimengerti teman tuli lainnya.



“Kalau aku lebih fokus ke pengkaderan Tuli. Jadi misal aku mengajar ngaji Tuli sampai bisa Al-Qur’an. Jadi mengajar dari nol sampai bisa. Jadi Tuli nanti bisa mengajar temannya dan tidak ketergantungan dengan teman dengar,” tegasnya.

Baca juga: Diskriminasi dan Stigmatisasi Masih Menghambat Difabel di Dunia Kerja

Senada dengan Faqih, Ketua Komtuboy, Aryanto, mengatakan kelas mengaji Komtuboy telah ada sejak 2021. Namun, pada 2022 kelas tersebut menjadi kelas reguler.

Aryanto mengatakan dirinya dan beberapa relawan Tender Komtuboy membuat kelas mengaji untuk tuli karena ia ingin memberikan pemahaman dalam belajar agama islam. Ia mengatakan pemahaman tentang agama islam itu penting untuk memenuhi hak pendidikan dan mendapatkan informasi.

“Aku belajar Al-Qur’an belum pernah, dulu enggak reti maksudnya Al-Qur’an itu apa, oralnya bagaimana tidak tahu. Aku tahu bahasa isyarat Al Quran, tapi tidak tahu isinya,” cerita lelaki 28 tahun tersebut.

Ia mengaku sewaktu SLB sempat mendapatkan pembelajaran terkait agama, akan tetapi, dirinya merasa kurang. Ia menceritakan pada saat itu guru memiliki kesibukan lain, sehingga beberapa kelas untuk pembelajaran agama kosong.

“Mungkin dulu guru sibuk rapat. Kalau sekarang, saya sudah mengerti tentang salat dari kelas mengaji Komtuboy, sudah mengerti pelan-pelan tentang Iqra. Mbak Faqih mengajarnya bagus, diajar sampai kami [tuli] paham,” jelas dia.

Baca juga: Terima Bantuan Bus dari Bank Mandiri, Ketua NPC: Ini Sangat Nyaman

Lelaki asal Cabean Kunti, Cepogo tersebut menilai Faqih adalah guru yang telaten untuk mengajar tuli. Tuli dan Faqih juga sering berkomunikasi di kelas ketika ada sesuatu yang membuat dirinya dan tuli lain tidak paham.

“Semoga dengan ilmu membaca Al-Qur’an dan komunikasi yang terjalin baik semakin meningkatkan pengetahuan untuk memahami Al-Qur’an,” harap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya