SOLOPOS.COM - Mahasiswa dan warga melakukan konservasi terhadap fosil-fosil yang disimpan warga di wilayah Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Sragen, belum lama ini. (Istimewa)

Solopos.com, SRAGEN — Warga Desa Manyarejo, khususnya di Dukuh Grogolan dan Dukuh Bojong, ternyata menyimpan seribuan fosil yang mereka temukan di wilayah setempat. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat desa mereka yang masuk wilayah Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen lama diketahui sebagai kawasan Situs Prasejarah Sangiran.

Semua fosil-fosil yang di simpan warga sudah teregistrasi di Museum Sangiran. Tidak ada yang ilegal. Sayangnya, temuan ribuan fosil tersebut belum bisa dikelola dengan baik sehingga belum bisa memberi dampak ekonomi bagi warga setempat. Kondisi ini menjadi keprihatinan sejumlah pihak, termasuk Ketua Komunitas Brayat Krajan Manyarejo, Heri Irawan.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Saat berbincang dengan Solopos.com, Selasa (8/8/2023), ia melihat keberadaan fosil purba itu seharusnya menjadi potensi yang bisa dimonetisasi untuk meningkatkan kesejahteraan warga setempat. Heri lantas berinisiatif membuat museum alam di tiga RT, yakni di RT 010 Dukuh Grogolan, RT 011 dan RT 012 Dukuh Bojong. Sejauh ini museum alam itu belum bisa berbicara banyak.

Heri dan teman-temannya juga sudah berkreasi dengan menampilkan potensi fosil lewat kirab saat penyerahkan tulang belulang berusia ratusan ribu tahun itu ke Museum Sangiran. Tujuannya untuk menarik pengunjung. Para pemuda Manyarejo juga sudah membuat Pasar Kali Purba untuk mendorong ekonomi warga. Tapi upaya-upaya tersebut belum sesuai harapan.

Menurut Heri, warga membutuhkan pakar yang bisa diajak sharing dan memberi masukan untuk pengembangan desa lewat potensi fosil purba.

Temukan Fosil Lewat Mimpi

Subkoordinator Museum Sangiran, Iskandar Mulia Siregar, mengungkapkan keberadaan fosil-fosil di tangan warga Desa Manyarejo memang atas sepengetahuan Museum dan Cagar Budaya. Di sisi lain sulit bagi museum menyimpan semua fosil temuan warga yang jumlahnya ribuan.

Warga biasanya menemukan fosil saat mengolah sawah. Ada juga yang mendapat petunjuk keberadaan fosil lewat mimpi. “Banyak banget fosil di Manyarejo ini, terutama fosil keluarga banteng dan gajah,” lanjut Iskandar.

Sejauh ini, komunikasi antara warga dan pihak museum terjalin bagus sehingga fosil yang dipegang warga masih tetap terpelihara dengan baik. “Keberadaan fosil-fosil itu dalam pengawasan Museum Sangiran dan sudah teregistrasi. Kalau dulu diam-diam. Setelah ada sosialisasi dan didukung aturan, warga sadar karena kalau tidak melaporkan temuan bisa terkena denda sesuai dalam UU No. 11/2010,” ujar Iskandar.

Ia mendorong agar museum alam yang dikelola warga bisa menjadi destinasi wisata baru karena secara aturan memungkinkan. Peran Komunitas Brayat Krajan Manyarejo juga dianggap signifikan karena menjadi pioner untuk meningkatkan kepedulian masyarakat pada fosil dan memeliharanya. Komunitas ini juga merangkul kelompok kesenian gejuk lesung dan gambus.

Ada fosil yang karena ukurannya yang besar dikenal dengan sebutan balung buta. Nama balung buta itu dijadikan brand museum alam. Fosil-fosil tersebut terancam rusak bila tak di konservasi. Berkaitan dengan itu, saat ini ada puluhan mahasiswa, dosen, dan arkeolog dari enam universitas di Indonesia yang tengah melakukan penelitian di Desa Manyarejo.

Enam universitas itu terdiri atas Universitas Jambi, Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Udayana Bali, Universitas Hasanudin Makassar, dan Universita Haluoelo Kendari.

Edukasi Konservasi

Salah satu kegiatan dalam penelitian itu adalah mengedukasi warga cara mengonservasi fosil purba. Edukasi konservasi fosil dilakukan tim yang tergabung dalam Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) V. Penilitian ini berlangsung sejak 1-8 Agustus 2023 lalu.

Selain konservasi, tim PATI V juga melakukan aktivitas ekskavasi dan pengelolaan sumber daya budaya di kawasan situs prasejarah tersebut. Para mahasiswa dan dosen melibatkan warga dalam penelitian tersebut, terutama yang tergabung dalam Komunitas Brayat Krajan.

Masyarakat di Manyarejo dinilai jujur dan memiliki kemauan sendiri untuk menyimpan dan memfungsikan fosil sebagai bahan edukasi bukan komoditas untuk diperjualbelikan.

“Kami mendata ada 1.076 spesimen fosil yang disimpan di lima empu balung buta di Manyarejo yakni Mbah Sinyo, Mbah Siswanto, Mbah Mintorejo, Mbah Parmin, dan Mbah Setu. Ada juga fosil yang ditaruh di joglo,” ujar Dewan Pakar Bidang Prasejarah PATI V, Agus Tri Hascaryo, kepada wartawan, Selasa.

Agus yang juga seorang arkeolog itu memilah fosil-fosil itu dan menemukan ada 497 spesimen fosil yang layak untuk dipamerkan kepada publik. Spesimen fosil itu menjadi objek konservasi para mahasiswa.

Selama sepekan melakukan PATI V para mahasiswa berhasil mengonservasi 73 spesimen fosil. Proses konservasi fosil berusia ribuan tahun membutuhkan kehati-hatian dan tekniknya bisa disaksikan warga, terutama anak empu sebagai sarana edukasi.

“Koservasi itu tidak sekadar membersihkan, tetapi ada larutan-larutan tertentu yang digunakan. Edukasi itu dilakukan para anak-anak empu yang nantinya menjadi empu muda sebagai upaya regenerasi. Empu muda inilah nantinya yang menyampaikan ke masyarakat sekitarnya,” ujar Agus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya