SOLOPOS.COM - Kegiatan Srawung Sinema di Rusunawa Begalon, Solo, belum lama ini. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Suara pisau besar penjual daging ayam yang memukul-mukul meja memecah gelap malam di pasar darurat Pasar Legi, Solo, 2019 lalu. Suaranyanya yang repetitif menetap di ingatan Direktur Rumah Banjasari, Solo, Zen Zulkarnaen.

Suara itu menjadi penanda para penari yang merupakan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo keluar dari balik gang-gang sempit menuju Jl. Syamsurizal, tempat para bakul Pasar Legi membuka dhasaran dengan penerangan seadanya.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Mereka menari di tengah jalan diiringi musik Prodigy yang diaransemen DJ Karak, lagu Meraih Bintang Nella Kharisma, serta perkusi etnik elektronik. Tak perlu menunggu lama, para bakul segera bergabung, menari bersama.

Orang-orang kampung menyusul, anak-anak kecil nimbrung, orang tua tak mau ketinggalan. Semua menari dan tertawa. Bagi Zen, Greget Seta 2019 adalah kenangan teramat indah. Dia ingin mengulangi lagi pesta rakyat itu.

Padahal, Zen bercerita, Greget Seta 2019 lahir dari pesimisme banyak orang. Awalnya peringatan ulang tahun Kelurahan Setabelan, Banjarsari, itu hendak dirayakan dengan acara kirab seperti yang biasa dilakukan kelurahan-kelurahan lain.

“Tapi bukankah di kota ini sudah terlalu banyak kirab? Jadi apa manfaatnya?” kata dia di Rumah Banjarsari, Rabu (12/4/2023) pagi.

Zen Zulkarnaen
Direktur Rumah Banjarsari, Zen Zulkarnaen. (Solopos.com/Ayu Prawitasari)

Mengutip laman rumahbanjarsari.org, Rumah Banjarsari, Solo, adalah sebuah kantong kebudayaan di Solo yang menggabungkan ruang publik dan seni sebagai laboratorium sosial budaya berbasis prinsip gotong royong dan kekuatan komunitas.

Pemilik rumah tua peninggalan Belanda milik kerabat keluarga Mangkunegaran itu menghibahkan fungsi ruang-ruang di tempat tersebut sebagai ruang publik dan ruang seni (kecuali rumah induk yang masih digunakan keluarga) kepada komunitas seniman. Orientasi utama kegiatan dan program di Rumah Banjarsari adalah memberikan kemanfaatan kepada masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar Rumah Banjarsari.

Zen melanjutkan ceritanya. Dengan keresahan akan rencana kirab yang terasa sia-sia, para seniman yang aktif di Rumah Banjarsari, bertekad menggelar Greget Seta, sebuah festival kampung gotong royong yang berlangsung selama tiga hari di Setabelan.

Pembukaan acara berlangsung di Kampung Pringgading, hari kedua di Kampung Jogobayan, lalu penutupan berlangsung di sekitar pasar darurat dan Taman Monumen ’45 Banjarsari. Festival ini berhasil mengajak warga secara aktif menggalang dan menghadirkan semua potensi di kampung masing-masing: mulai dari kesenian, kuliner, kekhasan kampung, dan masih banyak lagi yang lain. Pesimisme itu pun patah.

“Orang-orang menangis setelah acara selesai. Perasaan ‘ternyata kita bisa bikin sendiri ya’ begitu kental. Kepercayaan diri masyarakat pun meningkat. Saya sangat terharu melihatnya,” sambung dia.

“Deep Purple.”

Zen tiba-tiba menyebut grub musik yang baru saja pentas di Kota Solo itu. “Seberapa jauh manfaatnya untuk orang kampung? Orang-orang hanya jadi penonton, dan itu pun orang-orang kaya saja. Yang di kampung sama sekali tidak berbuat-apa. Warung hik tetap sepi. Rumah warga sepi. Penonton Deep Purple kebanyakan orang luar kota.”

“Dan bukannya saya tidak setuju dengan Deep Purple karena jelas event itu menyumbang banyak untuk bisnis hotel dan resto serta pemasukan daerah. Yang seperti Deep Purple itu biar tetap jalan. Tapi, event yang basisnya akar, dari masing-masing kampung dengan kekhasan mereka, juga harus ada. Tradisi terawat, sementara angkringan, toko kelontong, dan pedagang keliling juga kecipratan rezeki,” tambah dia.

Sebuah Impian

Impian Zen tak sederhana. Dia ingin Greget Seta ada di semua kampung sehingga tradisi kota tetap terpelihara seperti juga saat Rumah Banjarsari berhasil menyelenggarakan Festival Habar Matan Banjar dengan dukungan dana Program Fasilitasi Bidang Kebudayaan pada awal 2020 lalu.

Meski alokasi dana itu berkurang akibat pandemi Covid-19, namun Festival Habar Matan Banjar tetap berhasil terselenggara dengan dukungan banyak seniman dan masyarakat sekitar. Kohesi sosial pun makin erat dengan perayaan keberagaman di Kota Bengawan.

Barikin, sebuah desa di Kecamatan Haruyan, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan yang menjadi kiblat kesenian tradisional, menjadi subjek dalam festival tersebut. Dengan dukungan dana abadi kebudayaan, Rumah Banjarsari berhasil menyelenggarakan Baayun Maulid, sebuah tradisi menyambut kelahiran bayi dengan mengayun si bayi sambil membaca syair maulid, di Solo. Kegiatan ini berlangsung meriah dengan diikuti warga Solo, pemerhati budaya, serta masyarakat sekitar.

“Di Solo ada banyak warga Banjar dan mereka adalah bagian dari kami. Sementara tradisi itu sudah jarang dijalankan di sana [Banjar], para perantau di sini justru berusaha menghidupkannya bersama kami lewat festival. Secara umum warga Solo pun akhirnya memahami bagaimana adat Banjar melalui sebuah keterlibatan,” kata dia.

Habar Matan
Festival Habar Matan Banjar yang digelar Rumah Banjarsari, Solo, pada 2020 lalu. (Istimewa)

Perjalanan Zen belum juga sampai terminal. Seusai Festival Habar Matan Banjar, dia bersama rekan-rekannya berlanjut ke proyek yang lain, yaitu membuat film dokumenter tentang Mbah No atau Ronggojati Sugiyatno. Mbah No adalah pemerhati budaya Jawa, empu keris, pengalih aksara ratusan naskah kuno, dan pemilik toko busana tradisional Jawa tertua di Kota Bengawan bernama Suratman. Toko ini didirikan kakek buyutnya pada 1921 silam dengan nama awal Hamung Seneng.

“Saya pikir, eksistensi Mbah No harus tercatat, harus. Itulah yang kemudian saya dan teman-teman lakukan, mendokumentasikannya. Masyarakat harus tahu tentang sebuah toko busana Jawa tertua di kota ini, tentang budaya Jawa, tentang naskah-naskah kuno, apa pun yang menjadi akar kita. Begitu film tercipta, kami tak menyangka BRIN mengakuisisinya karena dinilai sebagai sumber pengetahuan berharga.”

Zen menganggap akuisisi itu sebagai bonus. Dia pun bersyukur.

“Nah, kalau yang Habar Matan Banjar dan Mbah No lancar, cita-cita saya soal festival kampung juga harus jalan. Perayaan dan pelibatan masyatakat harus terlaksana bagaimana pun caranya. Sumber dana bisa dari crowd funding, donasi, atau mungkin juga dari pemerintah pusat. Tapi, prinsipnya gotong-royong untuk kepentingan bersama,” kata dia.

Zen dan kawan-kawannya pun mulai membahas rencana itu.

Layar Tancap

Di tempat terpisah, sutradara film You and I, Fanny Chotimah, yang berhasil menerima The Asian Perspective Award – penghargaan tertinggi dalam Kompetisi Asia Festival Film Dokumenter Internasional DMZ ke-12; penerima piala di Festival Film Indonesia 2020; Piala Maya 2020; Jogja-Netpac Asian Film Festival 2020; dan International Film Festival 2020, merasakan kegelisahan sama.

Awalnya, kegelisahan Direktur Yayasan Kembang Gula ini terkait dengan banyaknya pemberitaan mengenai terorisme. Begitu mudahnya masyarakat dihasut dan betapa masyarakat kemudian menjadi terpecah-pecah.

“Dan Solo sebelum ini kan dikenal sebagai sumbu pendek. Kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan. Saya dan teman-teman berpikir apa yang bisa kami perbuat agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Bagaimana kami bisa memberikan masyarakat hiburan alternatif sekaligus mengedukasi mereka,” kata Fanny, Rabu.

Sinetron, salah satu hiburan utama warga kampung, dalam keyakinan Fanny tak memberikan apa pun kecuali mimpi. “Jadi bagaimana warga bisa berpikir jernih dan peduli terhadap kehidupan sekitar kalau mereka terus dibiarkan bermimpi?” Dari situlah kemudian lahir komunitas Kembang Gula dengan program pertama festival film dokumenter yang digelar pada 2017 lalu.

Respons warga yang sangat positif membuat Fanny senang sekaligus lega. Namun, tuntutan warga supaya event serupa digelar lebih sering, membuat dia mulai memutar otak. Fanny sadar permintaan itu wajar karena penanaman pemahaman memang tidak cukup sekali, melainkan harus berkali-kali dan konsisten.

Dengan dana seadanya, Fanny dan teman-temannya pun mulai menggelar pemutaran film di kelurahan-kelurahan di Kota Solo. Warga bisa menonton film-film karya sineas lokal dengan gratis. Teknisnya, Kembang Gula menyediakan film, sementara pemerintah kelurahan menyediakan proyektor.

Pada 2022 lalu tepatnya, Fanny mulai bisa bernapas lega. Sebab, kegiatan Komunitas Kembang Gula berhasil mendapat perhatian pemerintah pusat.
Pada tahun itu, Kembang Gula mendapat dana bantuan lewat Program Sinema Mikro Dana Indonesiana dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek. Program layar tancap keliling Kembang Gula yang diberi nama Srawung Sinema diganjar dana bantuan sebesar Rp250 juta.

Sejak saat itulah Komunitas Kembang Gula tak lagi meminjam peralatan memutar film di kantor kelurahan. Mereka bisa membeli alat sendiri sehingga jadwal keliling pun bertambah padat. Film-film yang diproduksi pun bertambah banyak.

Mengutip laman kemdikbud.go.id, Srawung Sinema merupakan program pemutaran reguler Kembang Gula yang mempertemukan film maker dengan warga sekitar melalui pemutaran film (layar tancap) dan diskusi. Srawung yang berarti berinteraksi merupakan upaya membuka ruang menonton dan membahas film-film alternatif dengan cara-cara kreatif berbasis pendekatan wacana atau narasi yang dekat dengan persoalan warga sekitar.

“Jadi film yang kami putar memang selalu kami sesuaikan dengan audiensnya. Di Rusunawa Mojosongo pada Februari [2023] lalu, misalnya, kami putar sebuah film tentang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo yang overload. Melalui film itu kami berharap warga Mojosongo yang tempat tinggalnya dekat TPA bisa lebih mengenal lingkungan sekitar dan berbuat lebih banyak sebagai bentuk kepedulian. Untuk pertemuan dengan audiens ibu PKK, misalnya, kami putarkan film Tilik, lalu di Pondok Pesantren Jamsaren kami putarkan film tentang keberagaman. Film bisa menjadi sarana dakwah yang bagus,” jelas dia.



Ekspresi audiens saat sesi dialog seusai pemutaran film selalu menarik perhatian Fanny. Film-film lokal itu berhasil menjadi jembatan warga untuk mengungkapkan apa yang menjadi kegembiraan sekaligus kegelisahan mereka. Ini terjadi karena film yang diputar merefleksikan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kegiatan itu pun memberikan warga inspirasi untuk membuat film sendiri.

“Kebersamaan masyarakat saat tertawa bersama melihat adegan yang akrab dengan mereka, dialog ibu-ibu kampung dengan tukang sayur, misalnya, selalu membuat saya terharu,” kata Fanny. Rasa haru lain terbit ketika dia melihat para keluarga datang bersama ke lokasi layar tancap. Saat itulah, wajah kota terasa lebih ramah karena kohesi sosial itu menebal lagi.

“Saya juga ingat ketika anak-anak dengan gembira mengekspresikan kasih sayang mereka lewat kata dan gambar. Itu terjadi ketika Srawung Sinema digelar pada Februari lalu, bersamaan dengan Valentine. Ruang-ruang seperti itu, menurut saya, sangat bermanfaat. Jadi, Kembang Gula berencana memperbanyak lokasi pemutaran film menjadi 10-15 titik per bulan ke depannya agar kami bisa menjangkau lebih banyak warga. Tidak hanya di Solo, melainkan di Soloraya.”

Selain memperbanyak lokasi penyelenggaraan layar tancap, PR lain Kembang Gula adalah perihal keberlanjutan. Setelah layar tancap usai, Fanny berharap warga bisa memutar sendiri film-film yang lain karena Kembang Gula siap menyediakan. Namun, Fanny mengakui membentuk kemandirian itu sulit meski sebenarnya warga mampu.

“Jadi tugas kami terus mendorong mereka supaya ada keberlanjutan. Saya bayangkan tiap kelurahan nantinya bisa memutar film sendiri,” kata dia.

Film You and I
Sutradara Fanny Chotimah (istimewa)

Mengutip lagi laman kemdikbud.go.id, Program Fasilitasi Bidang Kebudayaan kategori Sinema Mikro merupakan bagian dari Program Merdeka Belajar episode ke-18 yaitu Merdeka Berbudaya dengan Dana Indonesiana. Dana ini merupakan kolaborasi antara Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Program tersebut bertujuan meningkatkan literasi film di Indonesia. Sebanyak 39 komunitas film telah mendapatkan bantuan ini pada 2022 lalu.

“Program Sinema Mikro tidak hanya menciptakan ruang bioskop alternatif, melainkan juga mendukung upaya komunitas dalam meningkatkan jumlah ruang-ruang pertemuan kebudayaan yang berbasis audio-visual,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, di Jakarta, 22 Februari 2023.

Ekspresi Budaya

Dana Indonesiana sebagai dana abadi kebudayaan merupakan upaya pemerintah hadir dan bergerak bersama masyarakat dalam rangka menyediakan ruang keragaman ekspresi. Pemerintah terus mendorong interaksi budaya serta inisiatif-inisiatif baru untuk pemajuan kebudayaan Indonesia. “Upaya ini sesuai dengan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,” tambah Hilmar.

Sebelumnya, Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, dalam peluncuran Dana Abadi Kebudayaan yang disiarkan di Youtube Kemendikbud RI pada 2022 lalu mengatakan ada persoalan dalam satu aspek indeks pemajuan budaya Indonesia, yaitu minimnya ekspresi budaya. Soal warisan budaya, menurut Nadiem, Indonesia tak perlu diragukan lagi.



“Jadi masalahnya ada pada ekspresi budaya Indonesia yang masih sangat rendah, skornya 37,14 dari rentang 0-100. Ini yang kemudian menjadi perhatian pemerintah. Bagaimana caranya supaya para seniman bisa lebih produktif dan karya kita diakui di tingkat global,” kata dia.

Dengan lebih dari 17.000 pulau, 1.300 suku, dan 718 bahasa, Indonesia adalah negara tangguh yang tumbuh dalam keberagaman. Untuk menjaga kekayaan itu, Nadiem mengatakan dokumentasi tradisi serta praktik-praktik budaya perlu dilakukan. Persoalan yang Indonesia hadapi saat ini adalah banyak pemuda yang tak lagi tertarik melestarikan tradisi sehingga ancaman punah menjadi konsekuensi.

“Lalu kita juga tahu bagaimana ekspresi para seniman terkadang spontan dan itu seringkali tidak sesuai dengan siklus penganggaran. Harus ada sistem pendanaan yang lebih fleksibel untuk mendukung seniman berkarya. Dengan latar belakang itulah pemerintah menyediakan dana abadi ini supaya seniman bisa terus berkarya tanpa harus menyesuaikan siklus anggaran pemerintah,” kata dia.

Dana abadi, menurut Nadiem, tidak akan pernah berkurang, melainkan selalu bertambah. Dia berharap makin banyak seniman yang memanfaatkan dana itu untuk berproduksi. Sebuah harapan yang telah direalisasikan Fanny dan Zen lewat Kembang Gula dan Rumah Banjarsari. Dokumentasi tradisi terus berjalan, sementara layar tancap juga terus terkembang.

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya